Menggugat Thaghut Demokrasi (Bagian 1)

http://anatomidakwah.blogspot.com/2014/04/menggugat-thaghut-demokrasi-bagian-1.html
Demokrasi
lahir dari rahim sekulerisme, ia adalah bentuk pemerintahan yang
memisahkan agama dari kehidupan bernegara. Hal ini terjadi karena bangsa
Eropa marah terhadap perlakuan para raja yang menjadikan gereja sebagai
alat untuk menindas rakyatnya. Doktrin gereja sesuai atau tidak dengan
fitrah manusia adalah mutlak. Para intelektual tidak boleh untuk berfikir
ilmiah. Maka muncul dua kelompok pertentangan, kelompok pertama menolak
sama sekali agama hingga muncul Sosialisme termasuk Komunisme, kelompok
kedua berkompromi dan menghasilkan sekulerisme termasuk kapitalisme.
Sekulerisme ada paham fasludiin anil hayah atau memisahkan agama dari
kehidupan, dalam masalah pernikahan, pengurusan jenazah, ibadah ritual
diserahkan pada individu sedangkan dalam tataran negara ditentukan oleh
rakyat melalui dewan rakyat.
Islam menjadikan kepemimpinan hanya pada satu orang, sedang kekuasaan berada pada umat atau as sulthanil ummah, sedangkan kedaulatan milik Allah as-syiadah lil syara’. Maka pemimpin yang tunggal atau imam ini diangkat berdasarkan mandat(bai’at) rakyat untuk menjalankan syariat Islam. Imam atau khalifah mutlak berjumlah satu, maka jika diangkat dua imam bunuh yang terakhir. Namun akad dalam kepemimpinan ini bukan akad kerja sehingga imam tidak menerimana gaji namun menerima tunjangan, mereka dianggat untuk menjalankan syariat bukan membuat syariat. Maka amat jauh perbedaan antara demokrasi dan sistem Islam.
Al-Ikhwan al Muslimin dalam pada tahun 1941 Maktabul-Irsyad mengeluarkan ketetapan yang memperbolehkan orang-orang kredibel dari Al-Ikhwan untuk maju sebagai wakil di dewan legislatif, agar mereka bisa mengangkat suara dakwah dan menyampaikan pernyataan-pernyataan jama'ah. Tiga tahun kemudian juga dikeluarkan ketetapan lain yang memperbolehkan Al-Ikhwan mencalonkan diri dalam kapasitasnya sebagai pribadi dan bukan atas nama Al-Ikhwan. Bahkan Al-Ustadz Al-Banna sendiri pernah mencalonkan dirinya dua kali, yaitu pada tahun 1942 dan pada tahun 1944, hal ini dilakukan berdasarkan dua ketetapan Maktabul-Irsyad di atas.
Namun ini dimaknai oleh sesuatu yang telah dibolehkan seakan tanpa syarat. Padahal syeikh Hasan al Banna sendiri sebagai Mursyid menegaskan, “Karena itu Al-Ikhawanul-Muslimun berkeyakinan bahwa sistem perundang-undangan merupakan sistem hukum yang paling layak diterapkan di dunia Islam seluruhnya dan paling dekat dengan Islam. Dengan begitu mereka tidak lebih condong kepada sistem lain.” Beliau melanjutkan, “Kita menerima prinsip hukum perundang-undangan, karena menganggapnya sejalan dan bahkan bersumber dari sistem Islam.” Lalu beliau berkata tentang sistem perwakilan di Mesir, “Dalam aqidah sistem perwakilan ini tidak ada sesuatu yang menafikan kaidah-kaidah yang diletakkan Islam tentang sistem hukum.“

Kita hidup dijaman ini dan jauh dari Mesir tidak mampu mengungkapkan apakah yang dimaksud oleh syeikh Hasan al Banna. Karena menurut sebuah sumber saat FIS Aljazair maju dalam pemilihan umum saat itu diketuai oleh syeikh Ali Benhaj penulis buku Kewajiban mendirikan Khilafah dikatakan dalam perundang-undangan Aljazair bahwa pemimpin terpilih berhak membuat perundang-undangannya, artinya tidak ada undang-undang baku dinegara. FIS sejak awal telah menyerukan syariat Islam dan Khilafah, atas izin Allah FIS memenangkan 80% suara. Namun saat syariat Islam diterapkan terjadi kudeta militer. Kudeta ini tidak hanya terjadi di Aljazair terjadi pula di Palestina dan Mesir. Dan semua fakta ini akan berbeda jika kita menilik negeri kita.
Maka kita harus benar-benar memahami syariat, apakah kemudian masuk dalam parlemen itu menjadi sesuatu yang membawa maslahat atau mudharat. Apakah alasan yang dibuat untuk dalih berdakwah lewat parlemen itu shahih atau bathil. Karena kita menyaksikan tidak pernah ada perubahan kehidupan negara satu saja yang tegak lewat parlemen, yang ada justru rakyat mengira parlemen boleh secara mutlak. Misalnya dibuat UU pornigrasi dan pornoaksi, tapi aurat di TV masih banyak, dibuat undang-undang miras, buktinya masih banyak beredar. Yang menjadi masalah bahwa ‘akidah’ negara itu bukan Islam maka tidak akan muncul standar-standar agama, yang ada adalah standar pasar. Maka sudah cukup kita dibohongi, ditipu, dikhianati dengan janji-janji mereka.
Yogyakarta, 28 Jumadil Ula 1435 H
Muhammad Isnan
Islam menjadikan kepemimpinan hanya pada satu orang, sedang kekuasaan berada pada umat atau as sulthanil ummah, sedangkan kedaulatan milik Allah as-syiadah lil syara’. Maka pemimpin yang tunggal atau imam ini diangkat berdasarkan mandat(bai’at) rakyat untuk menjalankan syariat Islam. Imam atau khalifah mutlak berjumlah satu, maka jika diangkat dua imam bunuh yang terakhir. Namun akad dalam kepemimpinan ini bukan akad kerja sehingga imam tidak menerimana gaji namun menerima tunjangan, mereka dianggat untuk menjalankan syariat bukan membuat syariat. Maka amat jauh perbedaan antara demokrasi dan sistem Islam.
Al-Ikhwan al Muslimin dalam pada tahun 1941 Maktabul-Irsyad mengeluarkan ketetapan yang memperbolehkan orang-orang kredibel dari Al-Ikhwan untuk maju sebagai wakil di dewan legislatif, agar mereka bisa mengangkat suara dakwah dan menyampaikan pernyataan-pernyataan jama'ah. Tiga tahun kemudian juga dikeluarkan ketetapan lain yang memperbolehkan Al-Ikhwan mencalonkan diri dalam kapasitasnya sebagai pribadi dan bukan atas nama Al-Ikhwan. Bahkan Al-Ustadz Al-Banna sendiri pernah mencalonkan dirinya dua kali, yaitu pada tahun 1942 dan pada tahun 1944, hal ini dilakukan berdasarkan dua ketetapan Maktabul-Irsyad di atas.
Namun ini dimaknai oleh sesuatu yang telah dibolehkan seakan tanpa syarat. Padahal syeikh Hasan al Banna sendiri sebagai Mursyid menegaskan, “Karena itu Al-Ikhawanul-Muslimun berkeyakinan bahwa sistem perundang-undangan merupakan sistem hukum yang paling layak diterapkan di dunia Islam seluruhnya dan paling dekat dengan Islam. Dengan begitu mereka tidak lebih condong kepada sistem lain.” Beliau melanjutkan, “Kita menerima prinsip hukum perundang-undangan, karena menganggapnya sejalan dan bahkan bersumber dari sistem Islam.” Lalu beliau berkata tentang sistem perwakilan di Mesir, “Dalam aqidah sistem perwakilan ini tidak ada sesuatu yang menafikan kaidah-kaidah yang diletakkan Islam tentang sistem hukum.“

Kita hidup dijaman ini dan jauh dari Mesir tidak mampu mengungkapkan apakah yang dimaksud oleh syeikh Hasan al Banna. Karena menurut sebuah sumber saat FIS Aljazair maju dalam pemilihan umum saat itu diketuai oleh syeikh Ali Benhaj penulis buku Kewajiban mendirikan Khilafah dikatakan dalam perundang-undangan Aljazair bahwa pemimpin terpilih berhak membuat perundang-undangannya, artinya tidak ada undang-undang baku dinegara. FIS sejak awal telah menyerukan syariat Islam dan Khilafah, atas izin Allah FIS memenangkan 80% suara. Namun saat syariat Islam diterapkan terjadi kudeta militer. Kudeta ini tidak hanya terjadi di Aljazair terjadi pula di Palestina dan Mesir. Dan semua fakta ini akan berbeda jika kita menilik negeri kita.
Maka kita harus benar-benar memahami syariat, apakah kemudian masuk dalam parlemen itu menjadi sesuatu yang membawa maslahat atau mudharat. Apakah alasan yang dibuat untuk dalih berdakwah lewat parlemen itu shahih atau bathil. Karena kita menyaksikan tidak pernah ada perubahan kehidupan negara satu saja yang tegak lewat parlemen, yang ada justru rakyat mengira parlemen boleh secara mutlak. Misalnya dibuat UU pornigrasi dan pornoaksi, tapi aurat di TV masih banyak, dibuat undang-undang miras, buktinya masih banyak beredar. Yang menjadi masalah bahwa ‘akidah’ negara itu bukan Islam maka tidak akan muncul standar-standar agama, yang ada adalah standar pasar. Maka sudah cukup kita dibohongi, ditipu, dikhianati dengan janji-janji mereka.
Yogyakarta, 28 Jumadil Ula 1435 H
Muhammad Isnan