Memenangkan Islam dengan Pemilu ?

http://anatomidakwah.blogspot.com/2014/03/memenangkan-islam-dengan-pemilu.html
Kita telah tahu bahwa pemilu secara asal hukumnya mubah/boleh. Pemilu dalam lembaga perwakilan hukumnya sesuai apa yang diwakilkan. Namun apakah pemilu sebuah jalan perubahan ?
Syeikh Sayyid Qutb telah membantas itu dalam kitabnya Ma'alim fi At Thariq,"Mungkin ada pula orang yang berpendapat bhawa Nabi Muhammad SAW itu lebih bijaksana, setelah seluruh bangsa Arab mengikutnya dan mengiktiraf beliau sebagai pemimpin kebangsaan, dan setelah dapat mengumpulkan kuasa di dalam tangannya, jika beliau pergunakan kesempatan itu untuk menegakkan kalimah tauhid, untuk membawa umat manusia tunduk kepada kekuasaan Ilahi setelah mereka tunduk di bawah kekuasaan duniawi beliau.
Tetapi Allah SWT - Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana telah tidak mengarahkan Rasulullah SAW berbuat demikian, malah diarahkannya supaya bertahan dengan ikrar dan syahadat LA ILAAHA ILLALLAH itu dan supaya sanggup menanggung derita akibatnya, bersama-sama dengan para sahabat beliau yang terlalu kecil jumlahnya itu."
Dan sebuah kebodohan bahwa seorang berjuang untuk pemilu tanpa mengemukakan alasannya untuk menegakan syariat Islam dengan terang malah menjadi partai terbuka karena itu sama saja meninggalkan misi akidah dan hanya berfokus merebut kekuasaan untuk menerapkan syariah, itupun jika ingin menerapkan syariah.
"Sungguh suatu kedangkalan berpikir apabila kita ingin mengganti sistem peraturan kita dengan peraturan lain. Adalah pemikiran bodoh apabila umat ini hanya menerapkan peraturan saja tanpa memperhatikan akidah, yang dapat menyelamatkannya. Yang harus dilakukan umat adalah memeluk akidah dahulu, baru kemudian menerapkan peraturan yang terpancar dari akidah ini."(Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani-Nidzam al Islam)
"YANG juga patut kita beri perhatian dalam usaha perbaikan masyarakat ialah mendahulukan segala hal yang berkaitan dengan pelurusan pemikiran, cara pandang, dan cara bertindak mereka.(Syeikh Yusuf Qardhawi-fiqh al-awlawiyy)"
Pada pembahasan ini telah terlihat jelas jalan kabur melalui pemilu itu tidak mendatangkan apapun secara perubahan masyarakat. Namun kita tidak boleh mengesampingkan ketakwaan individu yang bergerak melalui jalur parlemen dan kepada Allah saja masalah itu kita kembalikan. Namun kita sebagai seorang muslim berkewajiban mengingatkan akan kesalahan itu.
Setelah kita fahami jalan pemilu tidak mendatangkan perubahan maka perlu seharusnya kita memberi gambaran bagaimana seharusnya gerakan Islam memulai.
Pertama, tahap pengkajian dan belajar untuk mendapatkan tsaqafah partai. Adapun tahapan pertama, ia merupakan tahapan pembentukan pondasi gerakan. Tahapan ini ditempuh dengan suatu asumsi bahwa seluruh individu umat kosong dari tsaqafah apa pun. Pada tahapan ini partai mulai membina orang-orang yang bersedia menjadi anggotanya dengan tsaqafahnya. Digunakan pula asumsi bahwa masyarakat secara keseluruhan adalah sekolah bagi partai, sehingga dalam waktu singkat partai mampu mencetak sekelompok orang yang mampu melangsungkan kontak dengan masyarakat untuk berinteraksi dengannya. Namun demikian perlu diketahui bahwa pembinaan ini bukanlah ta’lim (yang semata hanya proses transfer ilmu-pen), dan bahwa ia berbeda sama sekali dengan sekolah. Oleh sebab itu, pembinaan dalam halqah-halqah tersebut haruslah berjalan dengan suatu asumsi bahwa ideologi Islam adalah gurunya, bahwa ilmu dan tsaqafah yang didapatkan dalam halqah hanya terbatas pada ideologi saja -beserta segala ilmu/tsaqafah yang diperlukan untuk mengarungi medan kehidupandan bahwa tsaqafah diambil untuk diamalkan secara langsung dalam realitas kehidupan. Maka dari itu, pembinaan haruslah bersifat amaliah (praktis), yaitu bahwa tsaqafah dipelajari untuk Di amalkan dalam kehidupan. Harus diletakkan dinding tebal yang memisahkan otak dengan aspek ilmiah semata terhadap tsaqafah, sehingga pengkajian tsaqafah tidak mengarah kepada cara pengkajian tsaqafah dalam sekolah yang bersifat ilmiah belaka (dimana orang menuntut ilmu hanya untuk diketahui saja dan bersifat akademis-pen).
Kedua, tahap interaksi (tafa’ul) dengan masyarakat tempat partai itu hidup, sampai ideologinya menjadi kebiasaan umum -sebagai hasil dari kesadaran masyarakat akan ideologi itu- dan sampai masyarakat menganggap bahwa ideologi partai adalah ideology mereka, sehingga mereka mau membelanya bersamasama. Pada tahapan ini mulai terjadi pergolakan antara umat dan orang-orang yang menghalangi diterapkannya ideologi, yaitu para penjajah dan orang-orang yang mereka rancang untuk menghalangi penerapan ideology itu, seperti kelompok-kelompok penguasa, orang-orang zalim, dan para pengikut tsaqafah asing. Pergolakan ini terjadi karena umat telah menganggap bahwa ideology partai adalah ideologi mereka dan partai adalah pemimpin mereka.
Ketiga, tahap menerima kekuasan secara menyeluruh melalui dukungan umat, sampai partai tersebut dapat menjadikan pemerintahan sebagai metode untuk menerapkan ideologi atas umat. Dari tahapan ini partai mulai melakukan aspek amaliah (praktis) dalam medan kehidupan. Aspek dakwah kepada ideologi tetap menjadi tugas utama negara dan partai, karena ideologi adalah risalah yang wajib diemban oleh umat dan negara.
Wallahu a'lam bi shawab
Bogor, 16 Jumadil Ula 1435 H
Muhammad Isnan