Islam, Identitas atau Asas ?

http://anatomidakwah.blogspot.com/2014/02/islam-identitas-atau-asas.html
Pergerakan Islam saat ini tengah berkembang dengan karakter dan sifatnya. Kandang kala ada kontradiksi antar geraka dan menimbulkan gesekan dan hal ini tak mungkin dipungkiri. Permasalahan pokok dari gesekan ini justru ketidak fahaman individu dalam harakah itu untuk memahami dan menelaah berbagai perbedaan dan menentukan sikap bijaksana. Berkenaan dengan ini sebenarnya muncul banyak sekali fiqih-fiqih dakwah dengan rupa dan bahasan baik sebagai pegangan meskipun terkadang individu (dalam gerakan) tidak terbuka secara pemikiran untuk mempelajari literatur dari gerakan lain.
Penulis yang juga mahasiswa Bogor memandang dalam dilema di lingkup kampus sebagai gambaran kecil dari rearita gerakan-gerakan Islam merasa perlu ada sikap untuk memahamkan hakikat Islam dalam gerakan Islam. Dimana banyak gerakan berkembang dalam ranah yag sangat kacau walau seyogyanya diterima luas oleh masyarakat, secara garis besar syeikh Taqiyuddin menyebutkan empat faktor menganapa gerakan Islam tidak mampu berhasil, pertama adalah ia berdiri diatas qiyadah yang tidak berkompeten, kedua fikrah atau pemikiran yang diemban tidak rinci, ketiga thariqah atau metode perjuangan masih luas, dan keempat ikatan diantara individunya hanya sebatas struktur orgaisasi bukan akidah.1 Perubahan itu adalah keniscayaan, namun perlu difahami bahwa sisi perubahan yang diterima dalam Islam adalah bentuk dan sarana kehidupan bukan nilai dan maknanya. Namun selama ini gerakan-gerakan Islam banyak yang tidak mampu menyelami makna ini dan tidak mampu mengerahkan para individu dalam gerakan untuk menyelami hakikat perubahan, hakikat ketakwaan, dan hakikat untuk memahami perubahan-perubahan dimasyarakat untuk digali hukum Islam atas perubahan itu.
Menjadi sangat mengkhawatirkan jika gerakan Islam hanya menggunakan Islam sebagai identitas semata tanpa menjadikannya asas baku dalam pengambilan program-program dakwahnya, atau gerakan Islam hanya memunculkan ruh ke-Islam-an dalam kajian-kajian dan interaksi ibadah sedangkan dalam ranah pergaulannya dengan manusia mereka tidak menyematkan Islam menjadi akhlak dan syariat yang khas. Mereka mengira Islam itu mampu berpadu dalam berbagai pergaulan sosial kenegaraan sehingga mereka lunak pada manifestasi jahiliyah. Syeikh Sayyid Quthb menyebutkan,” Mustahil untuk menggabungkan keduanya (Islam dan yang lain) dalam suatu acuan untuk melahirkan suatu hasil yang baru; sebab sebagaimana Allah tidak akan mengampuni orang yang mensyirikkan-Nya maka Allah juga sudah pasti tidak akan mengampuni orang yang mencampurkan hukum-Nya dengan hukum yang lain.”2
Jika kita dihadapkan pada persoalan antar harakah atau gerakan di kampus setidaknya kontradiksi seakan dimunculkan antara harakah Tarbiyah dan Hizbut Tahrir. Kedua gerakan ini lahir dari rahim kecintaan akan Islam, keduanya memiliki tujuan mulia untuk mendirikan syariat Islam. Tarbiyah Islamiyah lahir di bumi Mesir dan Hizbut Tahrir berdiri di Palestina, berdiri dari embrio seorang mujtahid dan alim fi diin, faqih lagi mukhlis, Tarbiyah atau Ikhwanul Muslimin di inisiasi oleh syeikh Hasan al Banna sedang Hizbut Tahrir oleh syeikh Taqiyuddin, keduanya adalah para alim yang bersaudara dengan akidah, memiliki loyalitas dalam agama dan mengisi kehidupannya dengan dakwah hingga ajal menjemput meraka, semoga Allah meridhai dan merahmatinya.
Kesamaan dan cita-cita tinggi atas Islam dari dua gerakan ini belum sepenuhnya dipahami oleh akar rumput atau para pengembannya hari ini. Syeikh Hasan al Banna murabi para murabi dari beliau muncul para alim dan kegigihan sisi lain syeikh Taqiyuddin pula muncul pula tokoh-tokoh besar. Kemudian entah sebab apa perpecahan mulai dirasakan, tekanan dakwah mulai mengerucut pada gerakan-gerakan dakwah dengan ideologi Islam yang kuat. Dalam ranah saat ini kita mencermati bahwa Ikhwanul Muslimin mulai berkompromi dengan ‘kejahiliyahan’ sedang Hizbut Tahrir tetap mentabani (mengadopsi) Islam dalam gerakannya.
Muncul anggapan dikalangan awam seakan-akan Islam akan menang jika gerakan Islam memiliki banyak anggota namun mereka kemudian mengakomodasi keinginan anggotanya dengan sedikit-demi sedikit tercebur pada kubangan liberalisme pemikiran. Kita dapati di kampus hari ini terkhusus di kampus terbesar Bogor gerakan beridentitaskan Islam mampu mendominasi struktur-struktur kelembagaan mahasiswa maupun rektorat namun mereka memanangkan dan membawa individu harakahnya dalam jabatan struktural semisal BEM(Badan Eksekutif Mahasiswa), DPM(Dewan Perwakilan Mahasiswa), termasuk ‘mengelola’ masjid dan organisasi masjid seperti syiar dakwah kampus dan dakwah fakultas. Mereka termasuk yang kemudian memiliki identitas sebagai pengemban risalah Tarbiyah. Sedangkan dari Hizbut Tahrir mencoba menggebrak kebuntuan pemikiran kampus dengan tetap menahan ideologi jahiliyah dan membawa asas Islam belum mampu sepeuhnya memberi warna. Walaupun jika dirunut dari sejarahnya, Hizbut Tahrir memiliki peran dalam perkembangan dakwah di kampus tersebut dan muncul lebih awal.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah gerakan Tarbiyah di kampus lebih unggul dari Hizbut Tahrir dalam metode dan uslub dakwah. Ternyata penerimaan Tarbiyah di kampus bukan karena mereka menerima Islam dan berloyalitas kepada Islam semata namun identitas keIslaman membawa pada satu petunjuk mercusuar dan itu mampu di bawa oleh Tarbiyah. Tarbiyah menjadikan asas ‘penerimaan’ sebagai acuan dakwah, sehingga kalau kita melihat dari tinjauan syar’i banyak dari anggota mereka yang tidak faham akan keterikatan dalam hukum-hukum Islam, dilihat dari event yang terselenggara sangat jauh dari apa yang seharusnya. Asas penerimaan ini memang sangat ampuh untuk diterima karena memang hanya menekankan pada aspek itu saja tidak lebih. Padahal asas yang seharusnya dibawa harakah adalah Islam sebagai jati diri dan implementasi keterikatan pada Islam.
Syeikh Sayyid Quthb menuturkan,” Barangkali ada pula orang berkata: Bahwa Nabi Muhammad SAW boleh menjalankan dakwah reformasi untuk memperbaiki keadaan masyarakat supaya dapat meninggikan tingkatan moral dan membetulkan sendi-sendi perjalanan masyarakat itu serta kemurnian jiwa para anggotanya.
Orang lain pula mungkin berkata: Bahwa pada ketika itu Rasulullah boleh mendapatkan beberapa orang tertentu yang telah dirusakkan oleh masyarakat itu, lalu membimbing mereka menyahut seruan reformasi itu, seperti yang kerap dilakukan oleh tokoh-tokoh reformasi lainnya. Mungkin ada pula pendapat lain yang mengatakan kalaulah Rasulullah SAW berbuat seperti itu niscaya beliau akan disambut dan disanjung oleh sebahagian besar orang yang masih suci moral dan jiwanya, dan dengan demikian itu tambah mendekatkan penerimaan seruan akidah yang dipeloporinya daripada dicetuskan seruan LA ILAAHA ILLALLAH itu, yang ternyata telah mendapat tentangan hebat sejak dari mula lagi.
Tetapi Allah SWT Maha Mengetahui bahawa itu bukanlah jalannya. Maha Mengetahui bahawa moral dan akhlak yang baik itu tidak akan dapat tegak melainkan di atas asas akidah yang membuat pertimbangan-pertimbangan, dan menetapkan nilai-nilai, seperti juga akidah itulah menetapkan kuasa yang menjadi tempat tegaknya pertimbangan dan nilai itu, dan balasan atau ganjaran yang dimiliki oleh setiap kuasa itu ke atas orang yang patuh atau melanggarnya. Sebelum akidah itu diterapkan dan sebelum kuasa itu ditegakkan, maka nilai-nilai itu menjadi goyang dan tak tetap. Begitu jugalah moral dan akhlak yang didirikan di atas nilai-nilai yang goyang akan menjadi goncang dan canggung; tiada panduan, tiada ganjaran dan tiada kuasa apa pun.
Manakala akidah itu bertapak - tentunya setelah menempuh kesukaran - dan kuasa yang menjadi tapak bagi akidah itu telah tegak, manakala umat manusia itu kenal akan Tuhannya dan mengabdikan diri kepada Tuhannya saja manakala umat manusia melepaskan diri daripada kuasa hamba-hamba Tuhan dan kuasa nafsu durjana, manakala LA ILAAHA ILLALLAH meresap ke dalam lubuk hatinya, niscaya Allah akan melakukan semua apa yang disyirkan tadi itu dan niscaya bumi Allah ini akan lepas bebas dari unsur-unsur kuasa Romawi dan Parsia, bukan untuk diambil alih oleh kuasa bangsa Arab tetapi untuk dipastikan bahwa tidak ada yang berkuasa melainkan Allah. Bersihlah bumi ini dari kuasa THAGHUT, seluruhnya, sama ada yang berbangsa Romawi, Parsi, Arab dan lain-lain.
Ketika itu masyarakat seluruhnya akan lepas bebas dari sebarang penganiayaan dan penindasan sosial dan akan tegak berdirilah sistem Islam yang melakukan keadilan mengikut keadilan Allah, melaksanakan pertimbangan- pertimbangan Allah dan dengan pertimbangan ini, mengibarkan bendera keadilan sosial dengan nama Allah saja, memakai lambang dan nama ISLAM tanpa diganggu oleh nama-nama yang lain bertulis LA ILAAHA ILLALLAH berkibar megah melindungi masyarakat umat manusia.
Jiwa dan akhlak pun akan bersih, begitu juga hati nurani dan roh, tanpa menungau perintah, tanpa mengharapkan ganjaran, kecuali sekali sekala, kerana pengawasan yang sebenar telah sedia ada di dalam hati kerana semata-mata mergharapkan keridaan Allah serta merindukan kurnia-Nya, malu kepada Allah dan takutkan murka-Nya itulah pengawas yang sebenarnya.
Nilai manusia pun dengan sendiri menjadi tinggi, baik di dalam sistem maupun di dalam seluruh kehidupan, meningkat ke suatu tingkat yang belum- pernah dicapai dan belum ada taranya, kecuali di bawah panji-panji Islam.”3
Dari uraian itu kita dapati bahwa Tarbiyah kampus telah melenceng dari manhaj dakwah yang tertera dan dianut oleh para pendahulu mereka. Mereka menonjolkan penerimaan padahal bukan itu yang diminta oleh Maha Pencipta. Maka penerimaan mereka sejatinya hanya semu, merea diterima karena memang sifat penerimaan itu mereka unggulkan mereka diterima karena membawa identitas sebagai muslim bermoral bukan sebagai gerakan Islam berideologikan Islam. Maka disitulah justru letak kesalahan mereka seperti yang telah diuraikan oleh syeikh Sayyid Quthb.
Maka sudah saatnya kita sadarkan atas mahaj Rabani, pada risalah Rosul dalam mengemban dakwah ini, menjadikan hanya Quran petunjuk sepanjang jalan. Padanya saja kita berkhitmat dan bukanlah banyaknya tepuk tangan sebagai bukti kemenangan namun ketundukan kepada syariat yang harus selalu diunggulkan. Banyak atau sedikit itu tidak menjadi acuan dalam keshahihan dakwah karena sifat alami dakwah memang ditolak, dan ghuraba/terasing itu menjadi pengingat bagi golongan yang shahih. Walaupun disisi lain ada gerakan yang diterima secara luas janganlah itu memalingkan pandangan kita atas syariatNya, tetap berteguh pada pendirian dan thariqah ini.
“…. Tidak ada hukuman itu melainkan bagi [kepunyaan] Allah. Ia perintah kamu jangan sembah melainkan Dia [saja], [karena] yang demikian itu adalah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”(Qs Yusuf: 40)
Wallahu a’lam
Catatan kaki:
1. Taqiyuddin An-Nabhani. Pembentukan Partai Politik. Cetakan IV. 2001. hlm. 1
2. Syed Qutb. Petunjuk Sepanjang Jalan. hlm. 143
3. Syed Qutb. Petunjuk Sepanjang Jalan. hlm. 23