Indonesia Darurat karena Demokrasi

http://anatomidakwah.blogspot.com/2014/03/indonesia-darurat-karena-demokrasi.html
Indonesia, Darurat karena Demokrasi maka Tinggalkan Demokrasi bukan Menikmatinya.
Kita telah melihat banyak kerusakan dimuka bumi ini, kerusakan alam, kerusakan moral, kerusakan akal, kerusakan jiwa, dan kerusakan harta benda. Kita benar-benar sedang dikepung dengan berbagai macam ide kufur, kapitalisme, demokrasi, sekulerisme, liberalisme, dan lainnya. Solusi untuk negeri darurat ini bukan tidak ada, bahkan amat banyak. Namun solusi itu masih berkutat pada ha-hal teknis yang sifatnya parsial. Kalau kita mengikuti perjalanan dakwah Rosulullah melalui sirah beliau kita dapati bahwa yang dibangun Rosulullah saat awal dakwah bukan sekolahan, bukan penelitian, bukan teknologi, bukan juga kekuasaan. Rosulullah memfokuskan diri pada penyempurnaan akidah semata.
Maka amat aneh jika kita sekarang terkungkung dengan solusi-solusi yang sifatnya sementara padahal Rosulullah telah memberi petunjuk jalan untuk kita membangkitkan umat. Beberapa kalangan dari gerakan perbaikan/islahiyah berargumen dengan ‘darurat’ sehingga ‘terpaksa’ menerima sistem kufur demokrasi untuk memenangkan pemilu. Ini sebuah argumen yang akan mengaburkan jika tidak ada ‘edukasi’ yang jelas ditengah masyarakat. Karena amal seperti ini justru akan membelokan orang awam dengan anggapan bahwa ‘demokrasi itu boleh’. Perlu ditengahkan bahwa darurat yang menjadi alasan mereka itu tidak tepat.
Kewajiban utama seorang muslim adalah menjalankan perintah Allah secara menyeluruh. Al-Quran telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas. “Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” [Al-Baqarah:208]
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan: “Allah swt telah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya agar mengadopsi sistem keyakinan Islam (‘aqidah) dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan seluruh laranganNya selagi mereka mampu.”[Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir I/247] Imam al-Nasafiy menyatakan bahwa, ayat ini merupakan perintah untuk senantiasa berserah diri dan taat kepada Allah swt atau Islam. Kata “kaaffah”adalah haal dari dlamir “udkhulu” , dan bermakna “jamii’an”(menyeluruh. )[Imam al-Nasafiy, Madaarik al-Tanzil wa Haqaaiq al-Ta’wiil, I/112]
Anehnya ada sebagian kaum muslim enggan atau bahkan bersikap apriori terhadap “Islam kaaffah”. Tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa, memberlakukan Islam secara kaaffah merupakan sebuah kemustahilan dan utopia belaka. Sebagian lagi beralasan bahwa, mereka tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan syari’ah Islam secara kaaffah. Akibatnya, mereka tetap saja bergelimang dengan aktivitas-aktivitas haram dengan dalih tidak mampu dan darurat. Lalu, bagaimana kita menyikapi persepsi-persepsi semacam ini? Lalu, batasan apa saja yang menjadikan seorang muslim diperbolehkan untuk melakukan “tindak menyimpang dari hokum Islam”. Apa ukuran mampu dan tidak mampu itu? Apa ukuran darurat dan tidak darurat itu?
Al-Hamawiy dalam catatan pinggir atas Kitab Al-Asybah wa al-Nadzaair, mendefinisikan darurat: ” Sebuah keadaan dimana seseorang berada dalam suatu batas apabila ia tidak melanggar sesuatu yang diharamkan maka ia bisa mengalami kematian atau nyaris mati.” Sebagian ulama madzhab Maliki menyatakan: “Darurat adalah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau sekedar sangkaan kuat.”[Syarah Kabiir Ma’a Hasyiyaat al-Dasuqiy, jilid II/85]
Kalau kita memahami alur pemikiran gerakan yang membawa argumen ‘darurat’ kita seakan tidak punya jalan lagi kecuali ikut turut dalam sistem demokrasi ini. Dan dari mulut-mulut mereka kita selalu dihantui dengan perkataan bahwa jika kita anti dan terlepas dari sistem kufur demokrasi maka orang kafir yang akan menjadi pemimpin, dakwah akan dilarang, umat Islam akan sulit beribadah. Perkataan ini adalah bentuk ‘menakuti-nakuti’ pemikiran umat, karena hal demikian tidak menjadi fakta atau sekedar sangkaan kuat juga tidak. Karena hal ini bertentangan langsung dengan sesuatu yang pasti yaitu al-Quran. Maksudnya bahwa Allah telah mewajibkan menjalankan seluruh syariat Islam maka Allah telah dengan pasti tahu bahwa kita sebagai umat Islam mampu melakukan itu.
Memahami Istitha’ah (Kemampuan)
Benar, Al-Quran telah mengkaitkan antara kewajiban untuk menjalankan hukum Islam dengan kemampuan (istitha’ah). “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dan dengarlah serta taatlah…”[al-Thaghabun:16]
Ayat ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa, kewajiban untuk menjalankan perintah Allah akan gugur jika kita tidak memiliki kemampuan. Sebab, Allah swt mengkaitkan kewajiban untuk mengerjakan perintahNya dengan kemampuan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, “Jika aku memerintahkan kepada kalian suatu perkara, maka kerjakanlah apa yang kalian mampu.”[lihat catatan pinggir dalam, Al-Hafidz Suyuthiy, al-Asybah wa al-Nadzaair].
Atas dasar itu, apa yang kita tidak mampu mengerjakannya maka kita tidak diwajibkan untuk memikulnya. Ibadah haji adalah wajib. Namun, bagi mereka yang tidak mampu secara finansial maupun fisik, diberi keringanan untuk tidak melaksanakan ibadah tersebut. Begitu pula zakat dan puasa. Zakat hanya diwajibkan bagi orang yang memiliki kemampuan secara finansial dan telah terpenuhi syarat-syaratnya. Puasa diwajibkan bagi mereka yang mampu melaksanakannya. Orang sakit, maupun orang yang sudah tua renta diberi keringanan untuk tidak mengerjakan ibadah tersebut.
Ulama fiqh membagi istitha’ah (kemampuan) menjadi tiga. Kemampuan secara materi (istitha’ah maaliyah), Kemampuan secara fisik (istitha’ah jasadiyah), Kemampuan secara pemikiran (istitha’ah fikriyah). Akan tetapi, jika kita mencermati nash-nash syari’at, kita akan mendapatkan bahwa, kemampuan (istitha’ah) selalu dikaitkan dengan perintah untuk menjalankan hukum Allah. Berbeda dengan konteks meninggalkan larangan Allah. Setiap orang pasti mampu meninggalkan perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Oleh karena itu, dalam konteks meninggalkan larangan Allah, al-Quran tidak mengkaitkannya dengan istitha’ah |(kemampuan). Sebab, setiap orang pasti mampu meninggalkan larangan Allah. Atas dasar itu, tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak meninggalkan zina, riba, maupun perbuatan yang dilarang oleh Allah.
Meskipun demikian, seluruh penjelasan di atas tidak boleh dipersepsi bahwa ada ajaran Islam yang tidak bisa dipikul oleh umat manusia. Sebab, taklif (ajaran Islam) yang dibebankan kepada kita merupakan taklif yang seluruh manusia bisa memikulnya. Allah swt berfirman, artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”[Al-Baqarah:28
Ayat ini merupakan bukti nyata bahwa, Islam merupakan ajaran yang mudah, dan seluruh manusia pasti bisa memikulnya. Kita sama sekali tidak boleh mempersepsi ada sebagian ajaran Islam yang manusia tidak sanggup untuk memikulnya, meskipun dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan istitha’ah. Menuju Islam kaaffah merupakan kewajiban setiap muslim. Menuju Islam kaaffah adalah perkara yang mudah dan pasti bisa diwujudkan dalam kenyataan hidup kita, selama kita memahami thariqah (jalan) untuk menuju ke sana. Bagi orang yang memahami bagaimana cara menuju Islam kaaffah, maka perjuangan untuk merealisasikannya bukanlah sesuatu yang susah dan mustahil. Hanya orang yang tidak tahu jalan menuju ke sana saja yang akan menyatakan susah dan utopis. Atas dasar itu, kewajiban yang tahu adalah memberi tahu yang tidak tahu.
Wallahu a'lam bi shawab
Bogor, 21 Jumadil Ula 1435 H
Muhammad Isnan