Bonus Pisang goreng.

http://anatomidakwah.blogspot.com/2013/10/bonus-pisang-goreng.html
Bonus Pisang goreng.
Negara ini sememangnya belum siap berpolitik, adat ketimuran dan santun lemah lembut itu belum mampu untuk menelaah sebab-sebab memilih. Demokrasi-pemilu- tidak benar-benar menyalurkan aspirasi rakyat, dari segi calon itu hasil konsolidasi, rakernas, dan rapat-rapat elit politik. Sebagai rakyat kecil, saya belum pernah diundang untuk datang atau menyampaikan aspirasi siapa pemimpin pilihan saya. Indonesia itu belum mampu untuk go public, walaupun keliatannya tua dengan umur yang panjang dengan pemimpin silih berganti namun kenyataannya belum dewasa bahkan masih kanak-kanak.
Dalam ranah kepemimpinan, kita itu sudah hebat. Bagaimana tidak, presiden pertama kita itu nasionalis kuat, orator, singa podium yang dihormati dikalangan luar negeri. Beliau berani bilang 'ganyang malaysia' itu tanda keberaniannya. Pengganti beliau tak kalah sangar, bahkan lebih sangat seorang jendral bintang lima yang gagah walau otoriter. Orator nasionalis sudah, jenderal besar sudah. Penggantinya Habibie orang yang paling cerdas seantero Indonesia maju memimpin, tapi kurang cerdas untuk membaca kesemrawutan negeri ini. Mungkin perlu inovasi maka dicoba dari kalangan Ulama, ulama besar maju, yang katanya wali kesepuluh, dengan gaya yang sederhana 'gitu aja kok repot'. Ternyata mental, kalah sakti kalah berilmu tidak sanggup ngemong ibu pertiwi. Kemudian sosok ibu-ibu maju, dan sama saja tidak mampu. Sekarang kembali lagi sosok berbadan besar yang diharapkan memperbaiki bangsa ini tetap saja tak berdaya.
Jadi kalau saya menilai, negeri ini dipenuhi oleh generasi ompong, pikun, dan serakah. Mudah terbawa arus, tidak pernah mampu mengunyah berita-berita dan pemikiran politik, maunya instans. Wajar sejak kecil dikasih makan mie instans, susu instans, jadilah generasi yang ompong. Kalau makan saja perlu dikunyah 33 kali, ini politik yang lebih ruwet maunya instans. Pikun, sak pikunnya, serakah-sak serakahnya.
Soal pemimpin, saya rasa orang yang lebih pinter orasi dari Sukarno, lebih tegas dari Soeharto, lebih cerdas dari Habibie, lebih alim dari Gus Dur, atau lebih besar-badanya- dari SBY tetap saja tidak mampu mengentaskan permasalahnnya, karena masalahnya itu bukan hanya pemimpin, tapi apa yang dipimpin dan apa yang digunakan untuk memimpin. Maaf buat bu Mega saya tak masukan, kayaknya orang seperti itu baiknya ngemong anak saja dirumah biar gak jadi generasi ompong.
Karena ompongnya, proses pemilu lima tahunan yang habis dana milyaran. Partai politik yang bermuka baik, dengan segala atribut yang mahal-mahal itu selayaknya tak ada gunanya. Mereka memilih(nyoblos) itu sebenarnya cuma malu sama tetangganya, gak enak saja. Mereka menuju TPS itu tak lebih serius dari beli gorengan. Dan memilih itu cuma asal saja, yang keliatan luarnya saja. Kalau ada tukang gorengan yang kasih bonus pisang itu sudah cukup untuk memilih tak perlu repot-repot bagi mereka memikirkan siapa yang dipilih.
Tugas kita tentu sedikit mudah, kita hanya perlu sok jadi orang bener, orang bersih, bila perlu hafalin hadist-hadist dan al-Quran. Tinggal kita nyaleg, kita ikut pilgub atau media pengeruk uang itu saja. Toh kita mikir pusing negara ini memang sudah kacau, orangnya juga kacau. Kalau hafal hadist bisa untuk bantuan pemilu, bilang saja dana yang dihimpun itu infak anggota, padahal infak gundolmu. Bilang saja nyaleg itu amanah sebagai manusia kepada Allah padahal dinegerinya khamr legal dibiarkan. Ini kelompok geblek yang keterlaluan. Kalau mau lurus, kita sadarkan itu yang masih ompong-ompong biar punya taring, kita ajari mereka untuk dewasa dalam berpolitik, tentu berdasarkan akidah kita bukan akidah kufur demokrasi sekulerisme.
Wallahu a'lam

Negara ini sememangnya belum siap berpolitik, adat ketimuran dan santun lemah lembut itu belum mampu untuk menelaah sebab-sebab memilih. Demokrasi-pemilu- tidak benar-benar menyalurkan aspirasi rakyat, dari segi calon itu hasil konsolidasi, rakernas, dan rapat-rapat elit politik. Sebagai rakyat kecil, saya belum pernah diundang untuk datang atau menyampaikan aspirasi siapa pemimpin pilihan saya. Indonesia itu belum mampu untuk go public, walaupun keliatannya tua dengan umur yang panjang dengan pemimpin silih berganti namun kenyataannya belum dewasa bahkan masih kanak-kanak.
Dalam ranah kepemimpinan, kita itu sudah hebat. Bagaimana tidak, presiden pertama kita itu nasionalis kuat, orator, singa podium yang dihormati dikalangan luar negeri. Beliau berani bilang 'ganyang malaysia' itu tanda keberaniannya. Pengganti beliau tak kalah sangar, bahkan lebih sangat seorang jendral bintang lima yang gagah walau otoriter. Orator nasionalis sudah, jenderal besar sudah. Penggantinya Habibie orang yang paling cerdas seantero Indonesia maju memimpin, tapi kurang cerdas untuk membaca kesemrawutan negeri ini. Mungkin perlu inovasi maka dicoba dari kalangan Ulama, ulama besar maju, yang katanya wali kesepuluh, dengan gaya yang sederhana 'gitu aja kok repot'. Ternyata mental, kalah sakti kalah berilmu tidak sanggup ngemong ibu pertiwi. Kemudian sosok ibu-ibu maju, dan sama saja tidak mampu. Sekarang kembali lagi sosok berbadan besar yang diharapkan memperbaiki bangsa ini tetap saja tak berdaya.
Jadi kalau saya menilai, negeri ini dipenuhi oleh generasi ompong, pikun, dan serakah. Mudah terbawa arus, tidak pernah mampu mengunyah berita-berita dan pemikiran politik, maunya instans. Wajar sejak kecil dikasih makan mie instans, susu instans, jadilah generasi yang ompong. Kalau makan saja perlu dikunyah 33 kali, ini politik yang lebih ruwet maunya instans. Pikun, sak pikunnya, serakah-sak serakahnya.
Soal pemimpin, saya rasa orang yang lebih pinter orasi dari Sukarno, lebih tegas dari Soeharto, lebih cerdas dari Habibie, lebih alim dari Gus Dur, atau lebih besar-badanya- dari SBY tetap saja tidak mampu mengentaskan permasalahnnya, karena masalahnya itu bukan hanya pemimpin, tapi apa yang dipimpin dan apa yang digunakan untuk memimpin. Maaf buat bu Mega saya tak masukan, kayaknya orang seperti itu baiknya ngemong anak saja dirumah biar gak jadi generasi ompong.
Karena ompongnya, proses pemilu lima tahunan yang habis dana milyaran. Partai politik yang bermuka baik, dengan segala atribut yang mahal-mahal itu selayaknya tak ada gunanya. Mereka memilih(nyoblos) itu sebenarnya cuma malu sama tetangganya, gak enak saja. Mereka menuju TPS itu tak lebih serius dari beli gorengan. Dan memilih itu cuma asal saja, yang keliatan luarnya saja. Kalau ada tukang gorengan yang kasih bonus pisang itu sudah cukup untuk memilih tak perlu repot-repot bagi mereka memikirkan siapa yang dipilih.
Tugas kita tentu sedikit mudah, kita hanya perlu sok jadi orang bener, orang bersih, bila perlu hafalin hadist-hadist dan al-Quran. Tinggal kita nyaleg, kita ikut pilgub atau media pengeruk uang itu saja. Toh kita mikir pusing negara ini memang sudah kacau, orangnya juga kacau. Kalau hafal hadist bisa untuk bantuan pemilu, bilang saja dana yang dihimpun itu infak anggota, padahal infak gundolmu. Bilang saja nyaleg itu amanah sebagai manusia kepada Allah padahal dinegerinya khamr legal dibiarkan. Ini kelompok geblek yang keterlaluan. Kalau mau lurus, kita sadarkan itu yang masih ompong-ompong biar punya taring, kita ajari mereka untuk dewasa dalam berpolitik, tentu berdasarkan akidah kita bukan akidah kufur demokrasi sekulerisme.
Wallahu a'lam