Seri Dakwah #1 : Dakwah Hakiki

http://anatomidakwah.blogspot.com/2013/09/seri-dakwah-1-dakwah-hakiki.html
Dakwah Hakiki
Berpikir tentang cara (uslub, style) adalah berpikir tentang tatacara yang tidak permanen
untuk melakukan suatu perbuatan. Sedangkan Berpikir tentang sarana (al-wasa`il,
means) merupakan partner dan pasangan dari berpikir tentang cara. Berpikir
tentang sarana adalah berpikir tentang alat-alat fisik (al-adawat al-madiyah, phisycal tools) yang akan digunakan untuk
melakukan suatu perbuatan. Jika berpikir tentang cara adalah aspek yang akan
mampu menyelesaikan masalah, maka cara tidak akan ada nilainya jika menggunakan
sarana yang tidak mampu menyelesaikan masalah.
Dalam kejian ushul kita akan mendapati kaidah, wasilah yang membawa kepada
keharaman maka hukumnya haram. Misalnya menjual pakian seksi kepada orang yang
(diduga kuat) akan menggunakannya di depan umum. Maka menjual pakaian seksi
dalam konteks itu adalah haram walaupun hukum jual belinya semula adalah halal.
Uslub amat lekat kaitannya dengan wasilah, sehingga kita harus benar-benar
berfikir tentang kedua hal ini.
Dalam konteksnya menegakan khilafah sebuah negara bertauhid dengan empat
rukun yang kesemuanya harus ada yaitu, hanya satu khilafah untuk seluruh umat,
kedaulatan ada pada syariah, kekuasaan ditangan umat, dan hak legalisasi
undang-undang maupun undang-undang dasar menjadi hak khalifah. Untuk sampai
pada tercapainya tujuan ini kita tidak bisa mengatakan bahwa ini akan alamiah
sedangkan kita tidak serius memikirkan uslub dan wasilah yang mengantarkannya.
Kita harus mempersiapkan sebab-sebab turunnya bantuan Allah bukan dengan cara
yang justru mengikuti hawa nafsu.
Cara yang berlandaskan ittiba’ kepada Rosulullah adalah cara yang paling
benar, sehingga hal yang paling penting adalah menelaah dalil-dalil Quran dan
sunnah, serta mengkaji sirah-sirah untuk sampai pada pemikiran tetang
thariqah/metode. Uslub dan wasilah ini sifatnya berubah sedangkan
thariqah/metode selalu tetap. Uslub dalam perkembangannya dapat berubah, pun
dengan wasilah. Karena NILAI dan MAKNA akan selalu tetap sedangkan BENTUK dan
SARANA akan selalu berubah seiring perputaran zaman. Misalnya dakwah memiliki
nilai dan makna yang tetap sedangkan bentuk dan sarananya akan berkembang.
Kita akan
mengemukakan thariqah dakwah yang baku sesuai seruan Rosulullah.
Dengan
hikmat dan kebijaksanaan Allah SWT telah ditentukan bahwa persoalan akidah
adalah persoalan pokok bagi dakwah ini sejak zaman permulaan kerasulan Nabi
Muhammad SAW; dan bahwa Rasulullah SAW memulakan langkah pertamanya di dalam
dakwah ini dengan menyeru dan mengajak manusia berikrar bahawa Tiada Tuhan melainkan
Allah juga bahawa beliau meneruskan dakwah dengan membimbing umat manusia
supaya dapat mengenal Tuhan mereka yang sebenarnya dan supaya mereka
mengabdikan diri hanya kepada Tuhan saja.
Persoalan ini, baik
ditinjau dari sudut kenyataan yang lahir maupun dilihat dari sudut pemikiran
manusia yang terbatas itu, bukanlah suatu persoalan yang mudah diterap ke dalam
hati orang-orang Arab kerana mereka mengerti dari pertuturan bahasa mereka
sendiri apakah makna perkataan “ILLALLAH” dan juga tujuan perkataan TIADA TUHAN
MELAINKAN ALLAN “LA ILAAHA 1LIALLAH” itu. Mereka mengerti bahawa pengakuan
bertuhan itu bererti pengakuan kepada kekuasaan menghukum dan memerintah yang
tertinggi. Mereka mengerti juga bahwa mengesakan Allah melalui ikrar kalimah
syahadat itu adalah berarti mencabut semua sekali kuasa yang dibolot oleh para
padri dan pendeta, oleh ketua-ketua suku, oleh raja-raja dan penguasa-penguasa,
dan menyerahkan kuasa itu hanya kepada Allah saja kuasa atas hati nurani, atas
lambang kebesaran, kuasa atas kenyataan hidup, kuasa dalam mengatur urusan
harta benda, kuasa dalam urusan undang-undang dan juga kuasa di dalam urusan
yang berkaitan dengan jiwa dan tubuh badan.(Syeikh Sayyid Quthb)
Sehingga
mengarahkan manusia pada jalan demokrasi adalah hal yang amat bertentangan
dengan yang Rosulullah ajarkan. Uslub demokrasi ini saya rasa diantara kita
tidak akan banyak muncul perdebatan. Karena uslub ini akan mengantarkan muslim
pada keharusan mengikuti hukum positif baik secara terpaksa ataupun sukarela.
Sedangkan hukum hanya boleh ditetapkan oleh Allah, artinya harus berdasarkan
apa yang Allah berikan bukan sekehendak nafsu seperti dalam demokrasi. Dalam
hal ini kita membatasi pada pembuatan hukum bukan lainnya, seperti pemilu,
menjadi PNS, atau produk lainnya yang tidak berkaitan. Sedangkan Syeikh Sayyid
Quthb telah menjelaskannya pula “Islam
mengemukakan konsep yang jelas kepada mereka, sebab tiada apa rahasiapun yang
hendak disembunyikan oleh Islam terhadap semua peringkat umat manusia. Ia
selalu bersikap terbuka dan berterus-terang. Ia berhadapan dengan umat manusia
dengan menggunakan bahasa yang penuh cinta dan rasa kasih mesra; karena bahasa
seperti itu adalah secebis daripada hakikat yang tidak dapat dipisahkan
daripada tabiat Islam. Islam akan memberitahu mereka bahwa tiada apa pun yang
rahasia dan sulit (confidential) di dalam ajaran Islam, karena memang begitulah
Islam itu. Islam tidak mengatakan kepada mereka bahwa ia hanya akan melakukan
perubahan kecil saja di dalam kehidupan manusia itu, atau pun bahwa ia adalah
sama dan serupa saja dengan sistem yang-telah menjadi kebiasaan mereka, seperti
banyak kedapatan zaman sekarang pada setengah kalangan orang tertentu yang
telah berkata demikian di dalam menjalankan dakwahnya kepada umat manusia. Ada
orang yang tidak segan-segan menyebut dan bercakap-cakap tentang DEMOKRASI
ISLAM, SOSIALISME ISLAM dan ada pula yang tergamak mengatakan bahwa realiti
ekonomi dan tata cara perundangan yang ada sekarang di dalam masyarakat
jahiliyah itu tidak akan diapa-apakan oleh Islam, kalau ada perubahan pun hanya
sebahagian kecil sahaja, dan berbagai-bagai cara pemalsuan dan pengeliruan
terhadap hakikat Islam, yang dibuat secara berbisik bisik dan berpandukan hawa
nafsu.”
Itulah kejelasan
bagi kita tentang apa yang menjadi dakwah hari ini, tidak dengan
sembunyi-sembunyi atau menyamakan Islam dengan demokrasi, pun dengan mengatakan
bahwa undang-undang ini sesuai dengan Islam. Padahal Islam mengemukakan dengan
jelas apa-apa yang menjadi kewajiban dan apa-apa yang menjadi larangan. Hingga
kita harus menjelaskan ini kepada manusia seluruhnya, menjelaskan konsekunsi
keimanan bukan malah terbawa arus oportunis dengan mengikuti demokrasi atau
dengan cara lain yang menjadikan Islam pada posisi sulit.
Wallau a’lam.
10 Dhulqaidah 1434
H