Bantahan atas fitnah terhadap Hizbut Tahrir

http://anatomidakwah.blogspot.com/2013/04/bantahan-atas-fitnah-terhadap-hizbut.html
Tujuan Hizbut Tahrir
Hizbut
Tahrir memiliki dua tujuan: (1) melangsungkan kehidupan Islam; (2) mengemban dakwah Islam ke
seluruh penjuru dunia. Tujuan ini berarti mengajak umat Islam agar kembali hidup secara
Islami di dâr al-Islam dan di dalam lingkungan masyarakat Islam. Tujuan ini
berarti pula menjadikan seluruh aktivitas kehidupan diatur sesuai dengan hukum-hukum
syariat serta menjadikan seluruh pandangan hidup dilandaskan pada standar halal dan haram di bawah
naungan dawlah Islam. Dawlah
ini adalah dawlah-khilâfah
yang dipimpin oleh seorang khalifah yang diangkat dan dibaiat oleh umat Islam
untuk didengar dan ditaati. Khalifah yang telah diangkat berkewajiban untuk menjalankan
pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru
dunia dengan dakwah dan
jihad.(Ta’rif Hizbut Tahrir)
Tantang Negara Islam(Dar al Islam)
Khilafah adalah kepemimipinan umum bagi semua kaum
muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari'at Islam dan mengusung
dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah adalah imamah. Imamah dan khilafah
memiliki satu arti. Hadits-hadits shahih telah menyebutkan dua kata ini dengan
satu arti. Salah satu dari keduanya tidak disebutkan dengan arti yang berbeda
dari yang lain dalam sebuah nash syar'i pun; tidak dalam Kitab dan tidak pula
dalam Sunnah, karena hanya dua inilah nash-nash syar'i. Dan tidak wajib berpegang
pada lafadz ini (imamah dan khilafah), tapi yang wajib adalah petunjuknya.(asy
Sakhsiyah al Islamiyyah- Taqiyudin an-Nabhani)
Dan
akhirnya hanya ada sebuah sahaja negara, iaitu: NEGARA ISLAM; negara yang di dalamnya tegak
kedaulatan Islam, berjalan di dalamnya syariat Allah, berkuasa di dalamnya peraturan-peraturan Allah.
Orang-orang beriman hidup
di dalam negara itu dalam keadaan penuh perpaduan dan setia kawan, saling bantu membantu dan hormat
menghormati. Ada pun negara yang berbentuk lain daripada itu, maka negara itu adalah negara harbi (negara
musuh) di mana orangorang Islam
di dalamnya tidak ada jalan lain kecuali berperang ataupun berdamai dengan janji tidak saling ganggu
mengganggu antara golongan Islam dengan golongan bukan Islam tanpa sebarang syarat. Tetapi negara
seperti itu bukanlah sebuah
negara Islam, dan tiada sebarang ikatan setia antara penduduknya dari gologan lain dengan golongan
kaum Muslimin……….
Ya, kemenangan di bawah
panji-panji akidah, bukan di bawah panji-panji yang lain; jihad untuk kemenangan agama dan syariat tidak
kerana sesuatu matlamat
yang lain pembelaan terhadap "negara Islam" yang melaksanakan syariat Ilahi bukan kerana membela
negara yang lain, mengikhlaskan semua itu kerana Allah sahaja bukan kerana mencari laba dan kemegahan nama,
bukan untuk kebanggaan
suatu negeri atau kaum, dan mempertahankan kepentingan keluarga dan kaum kerabat, selain
daripada mengawal mereka dari dilanda arus fitnah di dalam menghayati agama Allah. …………
Demikian
juga tidak sayugia sama sekali timbulnya rasa ragu dan syak wasangka mengenai hakikat
jahiliyah dan hakikat Islam di dalam hati para pendakwah Islam; begitu juga mengenai ciri-ciri negara musuh
dan dengan konsep negara
Islam; sebab sering berlaku kekeliruan mengenai ini. Setiap pendakwah mesti meyakinkan diri sendiri
untuk ditanam keyakinan kepada orang bahawa: tiada Islam di dalam negara yang tidak dikuasai oleh Islam
dan tidak berjalan di dalamnya
syariat Allah dan tiada negara Islam selain daripada yang dikuasai oleh Islam dalam segenap urusan
pemerintahannya syariat Allah tiada negara Islam
kecuali negara yang menghayati
Islam, yang berkuasa di dalamnya program dan undang-undangnya. Perlu benar diyakinkan bahawa tiada
alternatif bagi iman selain
daripada kufur; tiada alternatif lain bagi Islam selain daripada jahiliyah dan tiada alternatif lain bagi
kebenaran melainkan kesesatan jua.(Sayyid Quthb)
Tentang status
muslim yang berada di negara kufur(karena keterpaksaan ketiadaan negara Islam)
tetaplah sebagai muslim. Karena dari hadist tentang keluarga Yasir yang
disemangati Rosulullah mendapat balasan surga jika bersabar. Sedangkan seorang
yang akhirnya memerangi umat Islam yang berada dinegara Islam atau seorang
muslim yang berperang dibawah bendera kekufuran memerangi muslim dan terbunuh
maka matinya mati kafir berdasarkan al-Quran.
Metode Dalam menegakkan khilafah
Kemudian
kita mesti membebaskan diri dari tekanan masyarakat jahiliyati, dari tekanan konsep jahiliyah,
dari adat resam jahiliyah dan juga dari pimpinan ala jahiliyah di dalam hidup diri
kita sendiri. Bukanlah tugas kita untuk berkompromi dengan realiti masyarakat
jahiliyah sekarang dan bukan untuk tunduk dan menumpahkan kesetiaan kepadanya sebab keadaan realiti
jahiliyah itu tidak memungkinkan
kita berkompromi dengannya sama sekali. …….
Tugas utama kita ialah mengubah
realiti masyarakat ini. Tugas utama kita ialah mencabut realiti jahiliyah itu dari akar umbinya,
realiti yang bertentangan dan berlanggar
secara prinsipal dengan aspirasi Islam dan dengan konsep Islam, realiti yang menghalang kita dengan
menggunakan kekerasan dan tekanan dari kita hidup seperti yang dikehendaki oleh program Ilahi. Langkah pertama di dalam
perjalanan kita ialah menghapuskan masyarakat
jahiliyah ini, nilai-nilai dan
teori-teorinya. Kita tidak boleh mengubah-suai sedikit jua pun untuk kemudiannya
bertemu semula di pertengahan jalan. Sekali lagi tidak! Kerana jalan kita adalah
berlainan dan bersimpangan dengan jalan jahiliyah. Seandainya kita cuba berjalan
seiring dengannya biar pun selangkah jua nescaya kita kehilangan pedoman dan kita akan meraba dalam
kesesatan.(Sayyid Quthb)
Thabul Nusrah dan Bantahan tuduhan
sebagai Khawarij
Mencari
Pertolongan (Thalabun Nushrah)
1).
Kewajiban mencari pertolongan untuk menegakkan Daulah
Ketika masyarakat telah apatis
terhadap partai, akibat hilangnya kepercayaan umat terhadap
pemimpin-pemimpinnya dan tokoh-tokoh masyarakat yang telah menjadi tumpuan
harapannya, dan juga akibat keadaan di wilayah tersebut yang teramat sulit yang
sengaja dibuat oleh kaum imperialis agar rencana-rencana imperialisme mereka
tetap berlangsung. Juga akibat dominasi kekuasaan dan sikap represif yang
dijalankan oleh para penguasa dalam menindas rakyatnya, serta akibat kerasnya
penyiksaan dan penganiayaan yang dilakukan oleh para penguasa terhadap partai,
para anggota dan pengikutnya. Pada saat masyarakat menjadi apatis akibat semua
keadaan ini, maka partai mulai melakukan aktivitas—disamping tetap melakukan
aktivitas-aktivitas yang selama ini dijalankan—thalabun nushrah (mencari
pertolognan) dari orang-orang yang memiliki kemampuan untuk itu.[1]
Sesungguhnya Hizbut Tahrir
sampai kepada kesimpulan tersebut melalui kajiannya yang mendalam terhadap sirah
(perjalanan hidup) Rasulullah SAW setelah memperhatikan beberapa point berikut:
a.
Setelah
wafatnya Abu Thalib, maka masyarakat Makkah bersikap apatis dan tertutup
terhadap Rasulullah SAW. Dengan wafatnya Abu Thalib, penyiksaan yang dilakukan
oleh kaum kafir Quraisy terhadap Rasulullah SAW semakin keras, hingga mereka
melakukan hal-hal yang belum pernah mereka lakukan pada saat pamannya, Abu
Thalib masih hidup. Sehingga perlindungan terhadap Rasulullah menjadi amat
sangat lemah dibanding perlindungan pada masa Abu Thalib. Lalu Allah SWT
memberi wahyu yang isinya perintah kepada beliau agar mendatangi
kabilah-kabilah Arab untuk mencari perlindungan dan pertolongan demi
keberlangsungan aktivitasnya, dan agar beliau dapat menyampaikan risalah dari
Allah yang dengannya beliau diutus dalam keadaan aman dan terlindungi.
Dari
Ali bin Abi Thalib berkata: “Setelah Allah SWT memerintahkan kepada Rasul-Nya
agar mendatangi kabilah-kabilah arab, maka beliau, aku dan Abu Bakar keluar
menuju Mina sampai kami mendatangi satu majlis (tempat berkumpul) di antara
majlis-majlis orang-orang Arab”.[2]
Dari
Ibnu Abbas dari ayahnya: bahwa Rasulullah SAW pernah berkata kepadaku (Abbas):
“Aku sudah tidak melihat lagi di sisimu dan di sisi saudaramu kekuatan—untuk
melindungiku. Karena itu, maukah kamu besok menemaniku pergi ke pasar hingga
kami tiba di tempat-tempat peristirahatan kabilah-kabilah manusia—yaitu tempat
berkumpul bagi bangsa Arab”. Aku (Abbas) berkata: “Ini adalah kabilah Kindah
dan koleganya, mereka adalah orang-orang utama yang sedang ibadah haji dari
Yaman. Ini adalah pemondokan Bakar bin Wail. Dan ini adalah pemondokan Bani
Amir bin Sha’sha’ah. Sekarang pilihlah olehmu”. Abbas berkata: “Beliau memilih
memulai dari Bani Kindah, lalu beliau mendatanginya”.[3]
b.
Sesungguhnya
yang diminta oleh Nabi SAW dari beberapa kabilah yang beliau datangi—setelah meminta mereka agar beriman
dan membenarkannya—adalah agar mereka mau melindunginya hingga beliau dapat
menyampaikan risalah dari Allah yang karenanya beliau diutus. Dari semua nash
tentang Rasulullah SAW. mendatanggi sendiri kabilah-kabilah tersebut
menyebutkan bahwa beliau meminta kepada mereka perlindungan untuk dirinya dan
aktivitas dakwahnya.
c.
Sesungguhnya
apa yang diminta oleh kabilah Kindah dan Bani Amir bin Sha’sha’ah dari beliau
bahwa hendaklah kekuasaan setelah Rasulullah diberikan kepada mereka.[4]
Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka telah memahami dari permintaan beliau
kepada mereka agar menjaga dan menolongnya, bahwa beliau hendak menegakkan
sebuah institusi pemerintahan di anatara mereka. Oleh karena itu, mereka mau
menjaga dan menolongnya dengan syarat jika kekuasaan setelah beliau diberikan
kepada mereka.
d.
Sesungguhnya
pertolongan (nushrah) yang diberikan oleh penduduk Madinah kepada
beliau, dilangsungkannya baiat aqabah kedua bersama mereka, dan beliau langsung
mendirikan daulah (negara) setibanya beliau di Madinah. Semua ini menunjukkan
dengan jelas bahwa tujuan beliau meminta perlindungan dan pertolongan adalah
untuk mendirikan institusi (negara) Islam yang menerapkan hukum-hukum Islam.
Melalui kajian tersebut Hizbut
Tahrir menetapkan bahwa aktivitas mencari pertolongan (thalab an-nushrah)
itu berbda dari aktivitas tsaqafah (pengkaderan) pada tahap pertama, serta
berbeda dari aktivitas interaksi pada tahap kedua, meskipun aktivitas mencari
pertolongan itu terjadi pada tahap kedua, yaitu pada tahap interaksi. Dengan
demikian, mencari pertolongan adalah bagian dari metode (thariqah) yang wajib
diikuti ketika masyarakat sedang apatis dan tertutup terhadap partai dan para pengemban
dakwah, dan ketika bahaya semakin keras menimpa mereka. Sungguh dalam hal ini
tidak ada seorang pun yang berkata bahwa metode ini tidak diwajibkan,
tetapi—semua sepakat bahwa hal ini—diwajibkan, sebab berulang-ulangnya
aktivitas mencari pertolongan tersebut, serta dilakukannya terus-menerus
padahal dalam melakukannya banyak kesulitan. Ini merupakan indikasi atas
tuntutan yang tegas (thalab jazim) sebagaimana ditetapkan dalam usul
fiqh.
Sungguh Rasulullah SAW.
berkali-kali mencari pertolongan dari berbagai kabilah sebagaimana yang
terdapat dalam kitab-kitab Sirah Nabawiyah. Dan ditengah-tengah
aktivitas mencari pertolongan tersebut beliau menghadapi bahaya, rintangan dan
penolakan, meski demiian beliau tidak pernah merubah metode (thariqah)nya.
Seandainya metode itu tidak wajib, tentu beliau memilih metode yang lain
setelah beliau mengulanginya sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, dan lima
kali, tetapi beliau terus mengulanginya dan mengulangnya sampai lebih dari lima
belas kali, padahal dalam aktivitas ini ada kesulitan, rintangan, dan bahaya,
sampai pada akhirnya Allah SWT memuliakan beliau dengan pertolongan-Nya. Semua
ini menunjukkan atas wajibnya terikat dengan metode mencari pertolongan (thalabun-nushroh).
Sebab, seandainya itu tidak diwajibkan, tentu Nabi SAW tidak akan melakukannya
secara terus-menerus padahal dalam aktivitas ini terdapat kesulitan, rintangan,
dan bahaya. Keterikatan beliau dengan metode ini, dan ketidaan beliau mencari
metode lain, meskipun harus berhadapan dengan kesulitan, rintangan, dan bahaya,
maka semuanya menunjukkan secara pasti atas wajibnya terikat dengan metode ini.[5]
Berdasarkan hal itu, maka Hizbut Tahrir benar-benar menambahkan aktivitas
mencari pertolongan (thalabun-nushroh) atas aktivitas-aktivitas yang
sedang dijalankannya. Dan Hizbut Tahrir mulai mencari pertolongan dari
pihak-pihak yang memiliki kemampuan untuk memberi pertolongan. Hal itu
dilakukan untuk dua tujuan, yaitu:
Pertama, untuk tujuan meminta
perlindungan (proteksi) agar dapat menjalankan aktivitas dakwah dengan aman.
Kedua, untuk sampai pada
kekuasaan guna menegakkan khilafah dan mengembalikan pemerintahan sesuai hukum
yang telah diturunkan Allah SWT dalam kehidupan, bermasyarakat, dan bernegara.[6]
Akan tetapi Hizbut Tahrir
menegaskan bahwa harus diperhatikan dengan penuh ketelitian dan keseriusan
bahwa mencari pertolongan itu tidak boleh dilakukan kepada individu, karena
Rasulullah SAW tidak pernah memintanya kepada individu, kecuali kalau individu
itu mewakili jamaah, maka secara riil hal ini hakikatnya adalah meminta kepada
jamaah. Mencari pertolongan itu harus benar-benar sesuai aktivitas Rasulullah
SAW.. Sebagaimana Hizbut Tahrir telah menegaskan juga bahwa mencari pertolongan
itu tidak boleh kepada jamaah yang lemah yang tidak mampu menolong dakwah,
karena Rasulullah SAW. tidak melakukannya. Mencari pertolongan itu harus
benar-benar sesuai aktivitas Rasulullah SAW.. Sehingga dalam usaha mencari
pertolongan dan pembelaan terhadap dakwah harus memenuhi dua syarat:
Pertama, dari jamaah secara riil,
atau dari individu yang mewakili jamaah.
Kedua, keberadaan jamaah itu
sendiri diprediksikan mampu menolong dan membela dakwah.[7]
Hizbut Tahrir menyatakan:
“Meskipun partai melaksanakan aktivitas-aktivitas mencari pertolongan (talabun
nushrah), partai harus tetap melaksanakan semua aktivitas yang telah
menjadi rutinitasnya, yaitu tetap melakukan kajian secara intensif dalam
berbagai halqah, pembinaan kolektif untuk seluruh umat, mengkonsentrasi
kegiatan hanya kepada umat untuk ikut bertanggung jawab memikul beban Islam,
serta membentuk opini umum di tengah-tengah umat. Begitu juga aktivitas lain,
seperti menentang negara-negara kafir imperialis, dan membongkar
rencana-rencana dan persekongkolan-persekongkolan jahat mereka; juga menentang
para penguasa, dan melakukan tabanni mashalihul umah
(mengutamakan kepentingan umat), serta memelihara urusan-urusannya. Kesemuanya
ini terus dilakukan oleh partai dengan terus berharap kepada Allah, semoga
partai mendapatkan keberhasilan, kemenangan, dan pertolongan Allah. Pada saat
itulah orang-orang mukmin bergembira dengan mendapat pertolongan Allah SWT..
Dan sesungguhnya berkat karunia Allah atas kita dan umat manusia, Islam telah
menjadi opini umum dan harapan bagi keselamatan umat; khilafah telah banyak
disebut-sebut setelah sebelumnya tidak banyak dikenal orang; dan menegakkan
khilafah serta mengembalikan pemerintahan sesuai hukum yang telah diturunkan
Allah telah menjadi cita-cita semua kaum muslimin.[8]
2.
Tidak boleh semua individu kelompok partai disibukkan dengan aktivitas mencari
pertolongan (thalabun nushrah).
Hizbut Tahrir memahami
betul—ketika melakukan aktivitas mencari pertolongan—bahwa aktivitas mencari
pertolongan itu bukan aktivitas partai dan bukan pula tujuannya. Akan tetapi ia
adalah metode (thariqah) untuk bisa sampai kepada penegakkan Daulah
secara riil. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir tidak menjadikannya sebagai
aktivitas partai, namun menjadikannya sebagai bagian dari aktivitasnya.
Sehingga para anggotanya dan partai secara keseluruhan tidak disibukkan
dengannya. Namun yang melakukannya hanya beberapa anggota partai di setiap
wilayah yang jumlahnya tidak lebih dari jumlah jari-jari satu tangan. Dan tidak
menjadikan aktivitas mencari pertolongan (thalabun nushrah) sebagai
aktivitas partai, kecuali yang ditugaskan untut melaksanakannya. Alasannya,
karena Rasulullah SAW sendiri tidak menyibukkan dirinya dengan aktivitas
mencari pertolongan, melainkan hanya sibuk dengan aktivitas dakwah. Sementara
yang sibuk dengan aktivitas mencari pertolongan hanyalah Mush’ab bin Umair dan
As’ad bin Zararah. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir tetap berjalan sebagaimana
biasanya tanpa ada seseorang yang merasa mendapat tugas baru. Sehingga,
kondisinya berjalan seperti biasanya, yaitu menyibukkan diri dengan aktivitas
menyampaikan pemikiran dan melaksanakan aktivitas yang telah ditetapkan.[9]
Mengingat aktivitas mencari
pertolongan itu merupakan perkara yang berat dan berbahaya, dan tidak setiap
anggota mampu melaksanakannya, sehingga partai tidak dibenarkan membebankannya
kepada anggota manapun. Karena itu aktivitas tersebut tidak mungkin dibebankan
kepada semua anggota. Akibat dari kenyataan yang demikian itu, konsekuensinya
partai harus memilih sejumlah kecil dari anggotanya untuk melakukan aktivitas
mencari pertolongan, dan harus sesuai dengan karakter aktivitas yang
dituntutnya. Terkadang mencari pertolongan itu dari kepala negara, sehingga
untuk melaksanakannya hanya butuh kepada satu delegasi atau satu orang saja;
terkadang mencari pertolongan itu dari pemimpin kelompok, ketua jamaah yang
kuat, kepala suku, duta besar, atau yang sejenisnya, sehingga dalam
melaksanakannya butuh kepada sejumlah anggota yang terpilih, dan terkadang
tidak butuh kecuali kepada satu anggota yang ahli dan berpengalaman; dan
terkadang mencari pertolongan itu dari individu-individu biasa yang memiliki
kecerdasan, keberanian, dan kekuatan, sehingga dalam melaksanakannya butuh
kepada sejumlah anggota yang mereka spesialis (ahli) dengan aktivitas seperti
ini, serta memberikan segenap kesanggupannya, dan seterusnya. Jadi, berdasarkan
karakteristik aktivitas mencari pertolongan itu, maka tidak mungkin semua
anggota partai mampu melaksanakannya. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya
harus dibatasi hanya kepada beberapa orang anggota partai yang jumlahnya sedikit
saja.[10]
3.
Mekanisme mencari pertolongan (thalabun nushrah)
Sesungguhnya pihak yang sanggup
memberi pertolongan (ahlun nushrah) secara riil adalah pihak-pihak yang
memiliki kekuatan dan kekuasaan, sehingga dengannya mereka mampu merubah sistem
kufur menjadi sistem Islam. Atau, ketika seorang penguasa menolak untuk
merubah—sistem kufur menjadi sistem Islam, maka dalam kondisi yang demikian
pertolongan dapat diraih melalui pusat-pusat kekuatan yang ada di dalam negeri
yang mampu melenyapkan penguasa dan menyerahkan pemerintahan kepada orang yang
akan menerapkan Islam.
Sedangkan masalah penerapannya
terhadap realita yang ada, mekanisme menyeru jamaah, dan siapakan jamaah yang
akan diseuru itu, maka dalam hal ini Hizbut Tahrir berpendapat bahwa masalah
ini semuanya telah jelas dalam sirah (perjalanan hidup Nabi), yaitu
bagaimana mekanisme yang dilakukan Rasulullah SAW dalam aktivitasnya mencari
pertolongan. Beliau pergi ke Thaif menuju kabilah Tsaqif yang posisinya serupa
negara. Beliau mendatangi berbagai kabilah, di antaranya adalah kabilah Bani
Kalb, mereka disebut juga dengan Banu Abdullah, mereka dianggap sebagai
kelompok yang kuat dalam negara. Beliau juga mendatangi Bani Amir bin
Sha’sha’ah dan memintanya agar bersedia melindungi beliau, beraktivitas bersama
beliau, dan pergi membawa beliau ke negeri-negeri mereka, sementara posisi
mereka seperti para wakil negara.
Beliau SAW. berkata kepada
Suwaid bin Shamit, yang mendapat julukan al-Kamil (orang yang sempurna)
dari kaumnya, karena kekuatan, kemuliaan, dan nasabnya. Di samping itu, dia
adalah pemimpin jamaah dan sekaligus seorang cendekiawan. Ibnu Hisyam bercerita
mengenai pembicaraan Rasulullah SAW. dengan Suwaid: “Setelah Rasulullah SAW.
mendengar perihal Suwaid ini, maka beliau mendatanginya dan mengajaknya kepada
Allah dan kepada Islam. Lalu Suwaid berkata: “Barang kali apa yang kamu bawa
seperti apa yang telah aku miliki?” Rasulullah SAW. bertanya, “Apakah gerangan
yang telah kamu miliki?” Dia berkata: “Majalah Luqman, yakni hikmah
Luqman”. Kemudian, Rasulullah SAW. bersabda: “Perlihatkanlah apa yang telah
kamu miliki itu kepadaku!” Lalu Suwaid pun memperlihatkannya. Setelah
melihatnya, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya apa yang telah kamu miliki ini
baik, tetapi apa yang aku bawa lebih baik dan lebih utama dari ini, yaitu
al-Qur’an yang diturunkan Allah SWT. Dan al-Qur’an ini didalamnya adalah
petunjuk dan cahaya”. Lalu, Rasulullah SAW membacakan al-Qur’an kepadanya dan
mengajaknya kepada Islam. Suwaid pun tidak menjauhinya (tidak menolaknya dengan
ajakan itu) bahkan ia berkata: “Sesungguhnya (al-Qur’an) ini merupakan
perkataan yang baik”.
Begitu juga—dalam aktivitasnya
mencari pertolongan—beliau menyampaikan kepada delegasi yang datang dari
Madinah ke Makkah yang sedang mencari persekutuan dari kaum Quraisy. Delegasi
tersebut dipimpin oleh Abu al-Haisar Anas bin Rafi’, dan bersamanya sekelompok
pemuda dari Bani Asyhal. Mereka adalah orang-orang yang mewakili suku Khazraj.
Dan mereka adalah jamaah (komunitas) terkuat di Madinah. Beliau juga menyampaikan
keinginannya kepada kelompok (rombongan) dari suku Khazraj yang berjumlah enam
orang. Kemudian, mereka sama memegang pundaknya (berjanji) akan meyakinkan
kaumnya. Selanjutnya, melalui mereka itulah pertolongan datang kepada beliau.
Fakta-fakta ini menunjukkan
bahwa mencari pertolongan (thalabun nushrah) itu ditujukan kepada setiap
jamaah yang diprediksikan memiliki kekuatan dan kemampuan menolong dakwah. Sama
saja apakah ia berupa negara, jamaah (komunitas) dalam negara, jamaah dari
sejumlah negeri yang dapat dijadikan tempat untuk mendapatkan pertolongan, atau
ia sebagai wakil jamaah yang mengemban sebuah fikrah, atau mereka sebagai wakil
bagi sebuah jamaah yang kuat atau negara. Atau mereka adalah kelompok di antara
jamaah yang bercita-cita menjadikan negara mereka atau jamaah mereka sebagai
penolong dakwah, dan seterusnya yang meliputi semua jamaah yang kuat. Berangkat
dari hal-hal di atas, maka dakwah ditujukan kepada jamaah yang berbentuk
negara, dengan catatan ia adalah negara merdeka, bukan negara yang sedang
dikuasai kaum kafir, atau berbentuk jamaah yang ada dalam negara seperti
kabilah, atau mereka sebagai wakil negara seperti para duta besar, para
delegasi perundingan, utusan konferensi, atau yang sejenisnya. Semua itu dengan
syarat bahwa negara yang diwakili tidak berada di bawah pengaruh negara kafir.
Atau dakwah itu ditujukan
kepada kelompok perwira yang berpengaruh
dalam tentara atau pasukan dimana mereka menjadi bagian dari padanya, atau ia
sebagai pemimpin yang berpengaruh di daerahnya atau di kotanya, atau sejumlah
individu (tokoh) dari sebuah jamaah yang kuat di antara kabilah, kota, atau
negara yang melaui mereka inilah pertolongan kaumnya atau jamaahnya dapat
diberikan. Maka realita yang ada ini diterapkan kaumnya atau jamaahnya. Dengan demikian,
realita yang ada sekarang ini diterapkan terhadap realita yang ada pada masa
Rasulullah SAW. Sehingga dakwah
selanjutnya ditujukan kepada jamaah-jamaah yang kuat tersebut agar mereka
memeluk fikrah, dan agar mereka menolongnya.[11]
Hizbut Tahrir menyatakan: “Di
sini kami tidak melupakan bahwa umat memiliki peran yang sangat penting dalam
menggerakkan para pemilik kekuatan. Sebabnya adalah bahwa mereka para pemilik
kekuatan dan kekuasaan itu apabila mereka telah merasakan keterpengaruhan umat
terhadap Islam dengan sebenarnya, dan umat benar-benar telah siap berkorban
demi Islam, maka apa yang dirasakan itu akan menjadi pendorong yang penting
dalam menciptakan keberanian pada diri mereka, para pemilik kekuatan untuk
menolong Islam dan menegakkan Negara Islam”.[12]
4.
Perbedaan antara mencari pertolongan (thalabun nushrah) dengan
penggunaan aktivitas fisik dalam
mengemban dakwah
Terkadang diasumsikan bahwa aktivitas mencari pertolongan (thalabun
nushrah) yang dijalankan oleh partai pelaksanaannya masuk dalam persoalan
aktivitas fisik. Apalagi dalam menjalankan aktivitas mencari pertolongan (thalabun
nushrah) itu partai dituntut membuat rancangan aktivitas yang akan
dijalankan oleh ahlun nushrah. Akan tetapi, dalam hal ini Hizbut Tahrir
menjelaskan bahwa sebenarnya ada perbedaan antara pelaksanaan aktivitas fisik
yang dilakukan partai dengan permintaan partai kepada ahlun nushrah agar
melakukan sesuatu atau perbuatan, atau partai memberikan kepada mereka berbagai
arahan atau bimbingan. Dalam hal ini, partai sendiri tidak melakukan aktivitas
fisik, tetapi yang dilakukan partai adalah meminta sesuatu atau perbuatan, atau
partai memberikan berbagai arahan atau bimbingan kepada mereka, ahlun
nushrah (pihak yang dipercaya dapat memberi pertolongan) yang sedang diminta
pertolongannya. Hal ini bukanlah aktivitas fisik.
Kemudian—Hizbut Tahrir menjelaskan—bahwa dalam Baiat Aqabah
Rasulullah SAW. meminta perkara secara terperinci kepada mereka yang dimintai
pertolongan oleh beliau. Misalnya, beliau bersabda kepada mereka:
تَمْنَعُونِي مِمَّا تَمْنَعُونَ
مِنْهُ نِسَاءَكُمْ وَأَبْنَاءَكُمْ
“Lindungilah aku seperti kalian melindungu
istri-istri kalian dan anak-anak kalian”.[13]
Dengan ini, beliau telah meminta mereka agar berperang untuk
melindunginya, yakni beliau meminta mereka agar melakukan aktivitas fisik. Ini
artinya bahwa beliau boleh meminta apa saja dari mereka hingga memintanya
melakukan aktivitas fisik sekalipun. Dan dalam hal ini juga, bahwa Rasulullah
SAW telah mengintervensi (masuk kedalam) hal-hal yang lebih jauh lagi
(terperinci). Misalnya, permintaan beliau kepada mereka:
أَخْرِجُوا إِلَيَّ مِنْكُمْ اثْنَيْ
عَشَرَ نَقِيبًا يَكُونُونَ عَلَى قَوْمِهِمْ
“Keluarkanlah kepadaku dua belas orang
ketua di antara kalian yang menjadi pemimpin kaumnya….”.[14]
Berdasarkan hal ini, sungguh beliau telah mempersiapkan
mereka untuk melindunginya, dan
menetapkan untuk mereka dua belas orang ketua yang akan memimpin
komunitas kaumnya. Dengan demikian, beliaulah orang yang telah menentukan untuk
mereka mekanisme dalam melaksanakan perlindungan dan pertolongannya. Kemudian,
ketika mereka berkata kepada beliau SAW.: “Jika engkau mau, sungguh besok pagi
kami akan menyerang penduduk Mina dengan pedang-pedang kami”. Mendengar itu,
beliau malah bersabda:
لَمْ نُؤْمَرْ بِذَلِكَ وَلَكِنِ
ارْجِعُوْا إِلَى رِحَالِكُمْ
“Kami belum diperintah untuk melakukan hal
itu, namun (sebaliknya) kembalilah kalian ke pemondokan kalian”.[15]
Mereka benar-benar telah meminta izin kepada beliau untuk
melakukan aktivitas fisik, namun beliau melarangnya. Ini artinya, bahwa mereka
telah berada di bawah kendalinya dalam setiap tindakan nushrah
(pertolongan). Dan ini adalah dalil bahwa partai punya hak mengarahkan
orang-orang yang dimintai pertolongannya seperti yang dikehendaki partai;
memerintahkan mereka untuk melakukan aktivitas dan melarangnya; dan menentukan
untuk mereka jalan (cara) memberi pertolongan dan mencegahnya dari yang lain.
Ini berhubungan dengan perkara-perkara yang terperinci serta dalil-dalilnya.
Selanjutnya, orang yang dimintai pertolongan oleh partai dan mengabulkan
permintaannya, dia telah berada dibawah kendali partai dalam memberi
pertolongan di segala hal, baik dalam hal kecil atau besar, baik dalam hal yang
umum atau yang terperinci (khusus). Maka, hanya dengan mengabulkan permintaan
pertolongan yang diminta oleh partai, mereka telah meletakkan dirinya dibawah
kendali partai, dan mereka wajib menaati partai kecuali ketika partai
menyuruhnya melakukan maksiat. Maka berdasarkan aktivitas Rasulullah SAW. yang
terperinci dalam Baiat Aqabah kedua, serta realita pemenuhan permintaan
pertolongan, telah menjadikan partai memiliki hak mengarahkan ahlun nushrah
(pihak penolong), dan membuat planning (rencana) aktivitas yang yang
harus mereka jalankan. Begitu pula, partai memiliki hak dalam mengikat mereka
dengan berbagai perkara secara terperinci; mencegah mereka dari salah satu
aktivitas; dan mengikat mereka dengan berbagai pendapatnya, baik berhubungan
dengan perkara yang sifatnya umum, parsial, maupun khusus.[16]
Meskipun sangat jelas apa yang dikemukakan Hizbut Tahrir
dalam persoalan mencari pertolongan (thalabun nushrah), serta
dalil-dalil yang menjadi pijakannya, namun demikian dalah hal ini Hizbut Tahrir
tidak sepi dari berbagai kritikan, yang sebagian besar keluar dari koridor
fiqh, apalagi dari memahami secara mendalam pendapat Hizbut Tahrir terkait
dengan masalah ini. Sebagian mereka menyangka bahwa Hizbut Tahrir mencari
pertolongan dari orang-orang kafir. Sebagian yang lain telah mencampur aduk
masalah mencari pertolongan yang dikaji Hizbut Tahrir dalam konteks untuk
menegakkan Daulah dengan masalah meminta pertolongan dengan orang-orang kafir
dalam peperangan. Sebagian yang lain menyangka bahwa Hizbut Tahrir mencari
pertolongan dari ahlul quwah (pemilik kekuatan) sekalipun mereka tidak
meyakini sesuatu yang didakwahkan oleh Hizbut Tahrir. Sebagian yang lain
berpendapat bahwa Hizbut Tahrir telah keliru karena bersandar pada kekuatan
yang abstrak. Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa Hizbut Tahrir tidak
menyadari bahwa pihak-pihak yang dimintai pertolongannya oleh Hizbut Tahrir,
bahwa sebagian dari mereka atau keseluruhannya adalah prang-orang yang
menentang terhadap sesuatu yang akan menghancurkan mereka. Kemudian mereka
meyakinkan bahwa ini adalah fakta yang terjadi, sebab mereka telah menangkapi
tidak sedikit pemimpin Hizbut Tahrir dan menjebloskannya kedalam penjara.[17]
Untuk tujuan menghilangkan kesamaran dari perkara di
atas—agar tidak ada lagi kesalahpahaman, maka saya akan menyampaikan naskah (nash)
dari sebuah ta’mim (surat edaran) Hizbut Tahrir yang membahas persoalam nushrah
(pertolongan) yang diterbitkan pada tahun 1962 M.. Dalam hal ini Hizbut Tahrir
menyatakan: “Pertanyaan yang terkadang terlintas dalam hati ialah apakah ketika
ada jamaah yang telah menerima dakwah dan telah siap menolong dakwah dengan
semua yang dimilikinya, maka apakah jamaah tersebut harus mengikuti kajian
dalam beberapa halqah dan harus bergabung dengan Hizbut Tahrir seperti layaknya
anggota partai, ataukah cukup dengan hanya memeluk fikrah dan mendapat
penjelasannya saja? Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah sesungguhnya
keberadaan jamaah harus terdiri dari kaum muslimin tidak perlu dibicirakan
lagi, karena Islam adalah syarat mendasar dalam persoalan mencari pertolongan (thalabun
nushrah). Sehingga, jamaah itu harus jamaah muslim sehingga secara syara’
pertolongan mereka dapat diterima. Sedangkan keberadaan jamaah harus mengikuti
kajian dalam berbagai halqah, maka juga tidak diragukan lagi, dan tidak perlu
diperbincangkan, karena persoalannya adalah menolong kelompok dakwah, sehingga
secara riil jamaah tersebut harus menjadi bagian dari kelompok partai, yakni
harus masuk dalam kelompok partai yang dimulai dengan mengikuti kajian dalam
berbagai halqah yang diadakan kelompok partai, dan karena fikrah
tersebut harus dipahami oleh pihak yang hendak menolongnya. Sedangkan sekedar
penjelasan semata tanpa adanya kajian dalam halqah, maka itu tidak mungkin
dapat mengantarkan kepada pemahaman yang mendalam. Oleh karena itu, jamaah
tersebut harus mengikuti kajian dalam beberapa halqah, atau pihak yang mewakili
jamaah harus mengikuti kajian dalam beberapa halqah, sehingga dapat diketahui
bahwa jamaah tersebut telah menerima sesuatu yang kami dakwahkan kepada mereka,
yaitu ketika mereka membenarkan dan memahami fikrah, dan mereka berjanji
(berkomitmen) akan menolong dan membelanya. Sedangkan tentang sesuatu yang
mengharuskan dirinya menjadi anggota partai, maka itu bukan syarat untuk
menerima pertolongannya. Namun degnan mengikuti kajian dalam beberapa halqah
saja sudah cukup untuk menerima pertolongannya dan menganggapnya sebagai
kekuatan. Sedangkan menerima berbagai sumbangan, pemberian, kontribusi, dan
sejenisnya dari mereka adalah persoalan setiap daris (pihak yang mengikuti
kajian). Jadi kajian adalah syarat mendasar, dan berangkat dari kajian ini ada
orang yang mengharuskan dirinya menjadi anggota partai, dan ada yang tidak,
tetapi ia terhitung sebagai kekuatan partai, dan gugur darinya dosa akibat
tidak masuk dalam kelompok (umat) selagi perkara yang mencegahnya menjadi anggota
datang dari pihak partai, bukan dari dirinya….”.[18]
Ketentuan (nash) yang dikeluarkan Hizbut Tahrir pada tahun
1962 M. tersebut telah menyangkal dan mendustakan semua kebohongan yang
dialamatkan kepada Hizbut Tahrir, dan menghilangkan semua syubhat
(kesamaran) yang telah dimasukkan dan dibisikan oleh para penulis terhadap
orang-orang yang berkehendak melihat lebih dalam pemikiran Hizbut Tahrir yang
berhubungan dengan persoalan nushrah (pertolongan). Kemudian, Hizbut
Tahrir benar-benar telah menjelaskan pemahamannya terhadap persoalan nushrah
ketika menjelaskan semuanya dengan dalil perbuatan Rasulullah SAW. dan
permintaan beliau kepada beberapa kabilah agar mau menolongnya. Hizbut Tahrir
benar-benar telah menjelaskan bahwa beliau SAW. telah mengajak mereka kepada
Islam, dan meminta pertolongan dari mereka. Maka dalam hal ini, saya (penulis)
tidak mengerti dari mana datangnya berbagai tuduhan palsu yang tidak memiliki
kebenaran sama sekali.
Sedangkan masalah meminta bantuan orang kafir ketika ia
seorang diri dalam peperangan adalah masalah yang sifatnya fikih, yang dalam
hal ini ulama berselisih pendapat, dan tidak ada kaitannya dengan persoalan nushrah
yang telah dilontarkan oleh Hizbut Tahrir. Dalam masalah ini, pendapat Hizbut
Tahrir sejalan dengan pendapat sebagian ulama salaf dari umat ini, dan di sini
bukan tempat untuk membahasnya.
Sedangkan kritikan terhadap Hizbut Tahrir bahwa Hizbut
Tahrir bersandar pada kekuatan yang sifatnya abstrak, maka ini harus dipahami
dari penjelasan di atas. Sebab, Hizbut Tahrir—seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya—telah menjelaskan dengan sangat jelas sekali tentang mekanisme
mengikat ahlun nushrah (pihak yang akan memberi pertolongan) dengan
kelompok partai. Kemudian ditegaskan bahwa realita kekuatan itu hakikatnya
bukan hanya milik partai, melainkan milik semua umat.
Masalah yang lain adalah dipahami dari perkataan sebagian
para penulis bahwa Hizbut Tahrir harus melaksanakan sendiri persiapan kekuatan
yang akan memberikan nushrah (pertolongan). Pernyataan ini menarik kita
kepada masalah, apakah boleh bagi kelompok yang beraktivitas untuk melanjutkan
kehidupan Islam dengan menegakkan khilafah menjadi kelompok yang dipersenjatai?
Hizbut Tahrir melalui kajiannya terhadap sirah nabawiyyah syarifah
(perjalanan hidup Nabi yang mulia) telah mengadopsi bahwa kelompok tersebut
tidak boleh dipersenjatai atau menggunakan aktivitas (kekuatan) fisik.[19]
Apabila partai membentuk kekuatan bersenjata yang akan melaksankan aktivitas nushrah,
maka hal itu bertentangan dengan metode Rasulullah SAW., sebab beliau tidak
melakukannya. Namun yang beliau lakukan adalah mengubah kekuatan yang dimiliki
oleh penduduk Madinah, yaitu kekuatan yang berdiri diatas dasar kufur dan
syirik menjadi kekuatan yang beriman kepada Allah SWT. sebagai Tuhan, beriman
dengan al-Quran sebagai kitab dari sisi Allah SWT., dan beriman dengan Muhammad
SAW. sebagai Nabi dan Rasul. Selanjutnya, kekuatan tersebut menjadi kekuatan
yang menolong Islam dan menegakkan Daulah Islam di atas Bumi Madinah Munawarah
sebagai Daulah Islam yang perdana.
Sedangkan apa yang dikemukakan oleh sebagian penulis bahwa
aktivitas mencari pertolongan (thalabun nushrah) itu dapat menghadapkan
partai kepada…. Benar, namun hal ini adalah sunnah para Nabi. Dan cukup menjadi
dalil atas hal itu adalah apa yang telah menimpa beliau SAW. ketika beliau
pergi ke Thaif. Bagaimana mereka telah mengadukan dan memfitnah beliau kepada
Quraisy. Seandainya Rasulullah SAW. memiliki pola pikir seperti mereka, tentu
Daulah Islam tidak akan pernah berdiri.[20]
Sesungguhnya fikrah apapun sehingga dapat diterapkan
di atas bumi secara nyata, maka fikrah tersebut harus memiliki kekuatan.
Melalui penelitian terhadap realita dan berbagai upaya dapat disimpulkan bahwa
mekanisme untuk menghasilkan kekuatan itu tidak terlepas dari tiga kondisi:
Pertama, kekuatan diberikan oleh pihak yang memiliki
kekuatan, namun dengan perjanjian yang isinya agar meninggalkan sebagian
pemikiran atau sebagian hukum syara’, atau agar mewujudkan
kepentingan-kepentingan pihak tersebut yang membuat penerapan Islam menjadi
bersyarat, berkurang, atau membuat negara tunduk kepada pihak yang memberikan
kekuatan dan perlindungan. Misalnya, untuk menjatuhkan suatu sistem (rezim)
bergantung pada bantuan kekuatan negara lain. Maka hal seperti ini—jika berhasil—akan membuat negara yang baru itu
bergantung pada kaum kafir dan para antek (komparador). Akibatnya, negara
tersebut tidak akan menerapkan Islam kecuali sebatas yang diperbolehkan oleh
kaum kafir dan para antek (komparador). Bahkan ia akan menerapkan hukum-hukum
kufur. Akhirnya, kekuasaan itu pun akan berakhir dan lenyap ketika peranannya
yang ditentukan oleh pihak yang memberikan bantuan kekuatan dan perlindungan
sudah berakhir—artinya ketika pihak yang memberikan bantuan kekuatan dan
perlindungan sudah tidak lagi melihat manfaatnya, maka ia akan mengakhiri dan
melenyapkan kekuasaan tersebut.
Sungguh metode tersebut—tidak diragukan lagi—adalah metode
(langkah) yang salah dan batil. Sebab, tujuan utama perjuangan adalah sampainya
Islam pada kekuasaan, bukan sampainya orang-orang yang lahirnya saja mereka
memperjuangkan Islam, dan ketika sampai pada kekuasaan mereka malah melupakan
penerapan Islam, atau sebagian hukum-hukum Islam. Apa yang dilakukan justru
mengganti kekufuran dengan kekufuran yang lain. Menentapkan persyaratan
terhadap negara dari pihak manapun berarti memberikan kesempatan pada pihak
tersebut untuk menguasainya. Dan hal ini haram dilakukan. Allah SWT. berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ
لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
“Sekali-kali Allah tidak akan menjadikan jalan kepada
orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin”.[21]
Dan berfirman-Nya:
وَلاَ تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ
ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ
أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لاَ تُنْصَرُونَ
“Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang
zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada
mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan
diberi pertolongan”.[22]
Sungguh Rasulullah SAW. sangat menolak berbagai akad dan
perjanjian seperti itu. Ingat! Ketika kaum kafir Quraisy benar-benar menawarkan
kepada beliau jabatan sebagai penguasan atau pemimpin mereka, atau mereka akan
menyembah Tuhan beliau selama setahun, dan sebaliknya beliau pun harus
menyembah Tuhan mereka selama setahun—semuanya dengan tegas ditolak oleh
beliau. Sebagaimana kami dapati bahwa
orang-orang yang dalam menghadapi dan menghancurkan kekufuran bersandar kepada
sistem-sistem kufur justru mereka berakhir dengan kehancuran dan kekalahan yang
lebih besar. Kaum Mujahidin di Afghanistan—mereka menyadari maupun
tidak—misalnya, mereka telah bergantung kepada bantuan Amerika melalui Pakistan
dan Arab Saudi. Akhirnya mereka berhasil merealisasikan kepentingan Amerika
untuk mengusir Rusia, sebaliknya mereka sendiri mengalami kegagalan
memproklamirkan Negara Islam yang mereka serukan. Bahkan mereka jatuh kedalam
jeratan dan cengkraman syaitan.
Begitu juga dengan berbagai organisasi di Palestina yang
dalam perjuangannya mereka bergantung kepada kekuatan dan dukungan dari
sistem-sistem (rezim) kufur dan para agennya. Mereka menyangka bahwa semuanya
bangkit berjuang untuk membebaskan Palestina dan mendapat dukungan mayoritas
rakyat Palestina. Kemudian mereka pun melepaskan tanah Palestina dan mengakui
kedaulatan Negara Yahudi atas tanah Palestina. Dan imbalannya mereka
mendapatkan kehidupan yang aman, dan bahkan mereka bekerja menjadi polisi untuk
melindungi Yahudi. Sungguh banyak sekali contoh terkait dengan hal ini. Oleh
karena itu, menempuh metode ini dalam membangun kekuatan disamping haram dan
batil adalah sangat berbahaya, sehingga metode ini harus dijauhinya.[23]
Kedua, para pengemban dakwah atau pergerakan berusaha
membangun kekuatan fisik (bersenjata) sendiri untuk menghadapi dan mengalahkan
kekuatan batil, selanjutnya menegakkan Daulah Islam sebagai penggantinya.
Metode seperti ini adalah hayalan yang menyesatkan dan sulit dilakukan. Sebab,
harta benda (kekayaan), senjata, militer, media massa, peralatan dan berbagai
perlengkapan semuanya telah dimiliki oleh negara batil. Sungguh apa yang dapat
dibangun sendiri oleh para pengemban dakwah atau pergerakan kuantitasnya sangat
kecil sekali dibandingkan dengan apa yang telah dimiliki oleh negara batil.
Apalagi bantuan yang akan datang untuk menghadapi dan memblokade aktivitas
dakwah kepada kebenaran (hak) juga sangat besar, karena
pemerintahan-pemerintahan yang ada jika tidak dikatakan semuanya, maka
mayoritas mereka adalah memusuhi Islam. Bahkan cara-cara ini bukan sesuatu yang
dapat mencegah mereka yang memusuhi Islam dari pengeboman terhadap sejumlah
kota dan masyarakat, yang mengakibatkan hancur dan musnahnya mereka, ketika
mereka merasakan adanya bahaya dari kekuatan kelompok Islam. Dan untuk
melakukan hal tersebut amatlah mudah bagi mereka dengan bantuan sistem-sistem
(rezim) yang ada.
Pergolakan fisik (bersenjata) seperti ini menjadikan para
pengemban dakwah membutuhkan bantuan harta, pasukan, dan teknik yang permanen
untuk menghindari kelemahan dan memenuhi kebutuhan hidupnnya. Dan untuk
merealisasikannya harus ada jaminan dari pihak yang melaksanakannya kepada
pihyak yang memberi pertolongan. Dalam kondisi demikian, sangat terbuka jalan
bagi setan untuk melakukan sejumlah pembenaran (justifikasi) yang hakikatnya
hal itu tidak ada wujudnya dalam syara’, dan juga dapat menggerakkan para agen
(komparador) untuk berpura-pura menampakkan semangat keberagamaan mereka dengan
menyodorkan dan menawarkan pertolongan seperti yang dibutuhkan, sehingga
akibatnya aktivitas dakwah terjatuh kedalam jerat kekufuran. Realitas seperti
inilah yang telah terjadi di Afghanistan, Mesir, Aljazair, Palestina, Lebanon,
Suriah, dan lainnya. Oleh karena itu, adalah tindakan yang keliru ketika para
pengembang dakwah terjatuh kedalam perangkap sehingga mengalihkan pergolakan
menjadi pergolakan fisik (bersenjata), atau memasukkan unsur (bersenjata) ini
kedalam aktivitasnya.
Sedangkan Nabi SAW. sepanjang masa pergolakan di Makkah,
ketika kekuasaan berada di tangan para pemimpin kafir, maka kami melihat bahwa
beliau sangat menghindari dari pergolakan fisik (bersenjata). Namun,
beliau—selama masa itu—tetap konsisten dan terikat dengan pergolakan pemikiran
(ash-shira’ al-fikri) dan perjuangan politik (al-kifah
as-siyasi) meskipun orang-orang musyrik telah menyiksa para pengikutnya,
dan masyarakat pun bersikap apatis dan tertutup dihadapan dakwahnya, bahkan
sekalipun ketika sebagian sahabat cenderung (berkeinginan) menggunakan kekuatan
(senjata), yang mereka ajukan kepada Rasulullah SAW. pada saat melangsungkan
Baiah Aqabah kedua. Mendengar hal itu, beliau malah bersabda:
لَمْ نُؤْمَرْ بِذَلِكَ وَلَكِنِ
ارْجِعُوْا إِلَى رِحَالِكُمْ
“Kami belum diperintah untuk melakukan hal
itu, namun (sebaliknya) kembalilah kalian ke pemondokan kalian”.[24]
Dan Allah SWT. benar-benar telah menjelaskan bahwa kaum
muslimin dilarang melakukan aktivitas itu di Makkah. Allah SWT berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ
لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada
mereka: ‘Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan
tunaikanlah zakat!’.”[25]
Di sini tidak dapat dikatakan bahwa sesungguhnya orang-orang
yang beriman bisa mempersiapkan sesuatu yang bisa dilakukan, yaitu bersandar
kepada keimanan mereka, sebab Allah SWT. berfirman:
كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ
فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat
mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar”.[26]
Dan hal itu tidak dapat diperhitungkan dengan hitungan
apapun untuk membedakan kekuatan fisik sebesar apapun. Ini tidak dapat
dikatakan, karena bukan pada tempatmya. Rasulullah SAW. telah menolak penggunaan
kekuatan fisik (bersenjata) dalam realita seperti ini. Sehingga, aktivitas
Rasulullah SAW. ini merupakan hukum syara’ untuk realitas ini. Sungguh banyak
sekali peristiwa yang mempertegas—salah dan batilnya cara-cara ini—bahwa
aktivitas seperti ini sering berujung pada keputusasaan dan hilangnya semangat,
dan sering pula berakhir pada menyerahkan kendali kepemimpinanya kepada pihak
asing melalui mereka yang disusupkan, sehingga aktivitasnya tetap berlangsung
untuk melayani kaum kafir dengan nama Islam dan dakwah. Dan melalui
mereka—gerakan Islam palsu ini—para rezim yang ada berusaha memngkaburkan
kebenaran dan pengemban dakwah yang sesungguhnya, serta menyesatkan kaum
muslimin. Berdasarkan atas hal itu, maka menempuh metode ini dalam membangun
kekuatan untuk memproklamirkan berdirinya Negara Islam merupakan langkah yang
keliru dan sangat berbahaya. Metode seperti ini akan menghancurkan para
pengemban dakwah, dan merusak kesucian dakwah, bahkan didalamnya terdapat banyak kemunkaran,
dan—jika dilakukan—akan berujung pada keputusasaan.[27]
Ketiga, mengubah kekuatan yang ada dimasyarakat atau
sebagian darinya, yang sebelumnya kekuatan tersebut menjadi sandaran bagi
kebatilan dan sistemnya dirubah menjadi sandaran bagi dakwah kepada hak
(Islam). Caranya dengan membangkitkan dan mengumpulkan orang-orang atau
sebagian dari mereka yang mempunyai kekuatan dan pengaruh pada suatu tempat
yang telah dirancang dan dipersiapkan dengan sempurna untuk menegakkan negara,
dengan menempatkan semua kekuatan dan kemampuan yang mereka miliki untuk
menjadi sandaran bagi perjuangan Islam dan penerapannya. Mengingat, kebenaran
itu dapat mempengaruhi pemikiran, pemahaman, dan loyalitas manusia. Begitu juga
dengan dakwah kepada Islam, ia dapat mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan
yang menyesatkan menuju cahaya kebenaran, serta mampu mengubah mereka menjadi
para pendukung dan penolong bagi para penyeru kebenaran dan para pengemban
dakwah, dan mampu juga menjadikan mereka memusuhi dan membenci sistem-sistem
yang sedang berkuasa. Begitu pula hal tersebut mampu mengubah suatu kelompok di
antara masyarakat ini menjadi para pelindung dan penjaga bagi penerapan Islam.
Semua ini membutuhkan peningkatan kuantitas dakwah kepada
Islam dengan terus melakukan pergolakan pemikiran (ash-shira’ al-fikri)
dan perjuangan politik (al-kifah as-siyasi). Sementara menyirami
umat dengan konsep dan pemikiran Islam membutuhkan pengarahan dakwah kepada
kelompok manusia secara intensif sesuai agenda tertentu supaya mereka bersedia
memberikan loyalitasnya secara maksimal untuk menerapkan Islam secara sempurna
dengan tanpa syarat apapun. Demikian inilah mekanisme mencari pertolongan (thalabun
nushrah). Kekuatan yang akan diambil loyalitasnya bagi fikrah ini
adalah sesuai kebutuhan yang diperlukan dan cukup untuk memplokamirkan
berdirinya negara, memperluas wilayah kekuasaannya, mencegah timbulnya
pemberontakan terhadap negara, dan melindungi negara yang mungkin timbul dari
dalam negeri maupun dari luar negeri. Kekuatan yang hendak dirubah ini
merupakan kekuatan asli yang berasal dari umat.
Namun, selama ini telah berlangsung penyesatan pemikiran
sehingga mereka melihat perkara hak (benar) sebagai perkara batil, dan
sebaliknya perkara batil sebagai perkara hak, atau tidak melihat sama sekali.
Maka melalui dakwah, tekun dalam melakukannya, memberikan hikmah (bukti yang
menyakinkan), senantiasa sabar, dan
menjelaskan hakikat kebenaran, pasti akan terjadi perubahan pemikiran
dan pergantian loyalitas dengan sempurna; juga dengan terus-menerus menyebarkan
pemikiran Islam kepada umat, mengikat umat dengan akidah dan agamanya, serta
menyerunya agar mengikuti metode Nabi SAW dalam menegakkan Daulah Islam, pasti akan terjadi revolusi mengenai
loyalitas pihak-pihak yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, serta mendorong
mereka untuk bersegera memberikan loyalitas dan pertolongannya kepada Islam dan
kepada partai yang berdiri di atas asas akidah Islam, dan bertujuan menegakkan
khilafah. Metode ini, yakni mencari pertolongan (thalabun nushrah) tidak
bersandar kepada perkara-perkara yang luar biasa atau kepada mu’jizat, dan
tidap pula bergantung kepada sarana-sarana atau peralatan-peralatan yang tidak
mungkin tersedia. Oleh karena itu, metode tersebut merupakan solusi yang
realistis, yakni solusi yang praktis. Ia merupakan jalan yang efektif dan
efisien yang dapat menyampaikan kepada inti tujuan, bahkan tidak ada jalan
selain jalan ini.
Metode ini tidak akan menjadikan kehendak negara yang baru
berdiri tersebut bergantung kepada pihak yang memberikan kekuatan dan sandaran,
tidak akan menjadikan orang yang mencari pertolongan tergantung kepada orang
yang menolongnya, dan tidak akan menjadikan penerapan Islam bersyarat atau
berkurang. Sungguh kami melihat Nabi SAW. meskipun beliau dan para sahabatnya
menerima tindak kekerasan dan penyiksaan, dan meskipun masyarakat bersikap
apatis dan menutup diri terhadap dakwah yang beliau serukan, beliau tidak
mengubah dan mengganti metode dakwahnya, selain dari aktivitas mencari
pertolongan (thalabun nushrah), bahkan beliau terus mencarinya sampai
beliau mendapatkannya dari penduduk Madinah Munawwarah, kemudian beliau
berhijrah ke sana dan memproklamirkan berdirinya Negara Islam.[28]
Dengan
demikian, jelaslah bahwa mencari pertolongan (thalabun nushrah) bukan
sekedar aktivitas politik yang lahir dari pemahaman yang mendalam terhadap
fakta dan data, melainkan ia adalah hukum syara’ yang ditunjukkan oleh banyak
nash (dalil) syara’ untuk menegakkan Daulah (Negara) Islam.(Dalam tesis berjudul tsaqofah dan metode Hizbut
tahrir Dalam mendirikan negara khilafah
islamiyah)
Tentang Hadits Ahad dan Siksa
Kubur.
Sesungguhnya
para ‘ulama-‘ulama masyhur telah berbeda pendapat mengenai hadits ahad; apakah ia harus diimani atau tidak. Jumhur ‘ulama dan mayoritas para
fuqaha berpendapat bahwa hadits ahad tidak menghasilkan faedah iman. Dengan kata lain, isi yang
terkandung di dalam
hadits ahad tidak boleh dijadikan dasar untuk membangun keimanan.
Salah
seorang pakar tafsir Syaikh Mohammad Jamaluddin al-Qasimi dalam kitab tafsirnya, Mahasinu
Ta’wil, telah menyatakan bahwa mengkritik hadits ahad sudah biasa terjadi dan popular
sejak periode shahabat. Selanjutnya beliau menyebutkan penegasan al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, dan
al-Fanari, bahwa yang mengkritik
dan menolak hadits ahad tidak dapat dianggap kafir atau fasik dan sesat. Sebab, hal ini pernah
terjadi dan dilakukan oleh para shahabat dan para ulama seperti penolakan ‘Aisyah ra terhadap hadits yang
menyebutkan bahwa seorang
mayit akan disiksa karena ditangisi oleh keluarganya, juga penolakan ‘Umar atas riwayat dari
Hafshah1.
Sayyid Qutub, salah seorang tokoh gerakan
Ikhwanul Muslimin, dalam tafsir
Fi Dzilalil Quran menyatakan, bahwa, hadits ahad tidak bisa dijadikan sandaran (hujjah) dalam menerima
masalah ‘aqidah. Al-Quranlah rujukan yang benar, dan kemutawatirannya adalah syarat dalam menerima
pokok-pokok ‘aqidah.
Imam Syaukani menyatakan, “Khabar ahad
adalah berita yang dari dirinya sendiri tidak menghasilkan
keyakinan. Ia tidak menghasilkan keyakinan baik secara asal, maupun dengan
adanya qarinah dari luar…Ini adalah pendapat
jumhur ‘ulama. Imam Ahmad menyatakan bahwa,
khabar ahad dengan dirinyasendiri menghasilkan keyakinan. Riwayat ini
diketengahkan oleh Ibnu Hazm dari Dawud al-Dzahiriy, Husain bin
‘Ali al-Karaabisiy dan al-Harits al-Muhasbiy.’
Prof Mahmud Syaltut menyatakan, ‘Adapun jika
sebuah berita diriwayatkan
oleh seorang, maupun sejumlah orang pada sebagian thabaqat –namun tidak
memenuhi syarat mutawatir [pentj]—maka khabar itu tidak menjadi khabar mutawatir secara pasti
jika dinisbahkan kepada Rasulullah saw. Ia hanya menjadi khabar ahad. Sebab,
hubungan mata rantai sanad yang sambung hingga Rasulullah saw masih
mengandung syubhat (kesamaran). Khabar semacam ini tidak menghasilkan
keyakinan (ilmu).” Beliau
melanjutkan lagi, ‘Sebagian
ahli ilmu, diantaranya adalah imam empat (madzhab) , Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’iy dan
Imam Ahmad dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa hadits ahad tidak
menghasilkan keyakinan.”
Imam Bazdawiy menyatakan, “Adapun yang
mendakwakan ilmu yaqin – maksudnya
adalah hadits hadits--, maka itu adalah dakwaan bathil tanpa ada keraguan lagi. Sebab, setiap
orang pasti menolaknya. Semua ini disebabkan karena, khabar ahad masih
mengandung syubhat. Tidak ada keyakinan bila masih mengandung syubhat
(kesamaran). Siapa saja yang menolak hal ini, sungguh ia telah merendahkan
dirinya sendiri dan sesat akalnya.”
Al-Ghazali berkata, ‘Khabar ahad tidak
menghasilkan keyakinan. Masalah ini –khabar ahad tidak
menghasilkan keyakinan—merupakan perkara yang sudah dimaklumi. Apa yang
dinyatakan sebagian ahli hadits bahwa ia menghasilkan ilmu, barangkali
yang mereka maksud dengan menghasilkan ilmu adalah kewajiban untuk
mengamalkan hadits ahad. Sebab, dzan kadangkadang disebut dengan ilmu.”
Imam Asnawiy menyatakan, “Sedangkan sunnah,
maka hadits ahad tidak menghasilkan
apa-apa kecuali dzan”
Imam Bazdawiy menambahkan lagi, ‘Khabar ahad
selama tidak menghasilkan
ilmu tidak boleh digunakan hujah dalam masalah i’tiqad (keyakinan). Sebab, keyakinan
harus didasarkan kepada keyakinan. Khabar ahad hanya menjadi hujjah dalam masalah amal.
Imam Asnawiy menyatakan, “Riwayat ahad
hanya menghasilkan dzan.Namun, Allah swt membolehkan dalam masalah-masalah amal
didasarkan pada dzan….”
Al-Kasaaiy menyatakan, “Jumhur fuqaha’
sepakat, bahwa hadits ahad yang
tsiqah bisa digunakan dalil dalam masalah ‘amal (hukum syara’), namun tidak dalam masalah keyakinan…”
Walhasil,
pendapat HT dalam masalah hadits ahad adalah pendapat terkuat yang dipilih oleh para
‘ulama-‘ulama terkenal, bahkan imam empat madzhab. Lantas, mengapa pendapat ini dikesankan sebagai
pendapat yang sesat
dan ngawur? Mengapa serangan mereka hanya ditujukan kepada HT saja, tidak ditujukan juga
kepada jumhur ‘ulama?
Tentang Siksa Kubur
Untuk menyikapi masalah siksa
kubur dengan penyikapan yang benar, maka kita harus mengembalikan masalah ini kepada
prinsip-prinsip dasarnya (kaedah
ushulnya). Ushul al-hadits menyatakan dengan jelas bahwa hadits ahad tidak boleh dijadikan
hujjah untuk membangun keimanan atau ‘aqidah seorang muslim. Jika dalam penelitian hadits ternyata
terbukti bahwa riwayatriwayat yang
berbicara tentang siksa kubur adalah ahad, maka ia tidak bisa digunakan hujjah dalam masalah
keimanan. Dengan kata lain, ia tidak boleh diyakini, akan tetapi cukup dibenarkan saja. Jika penelitian
hadits membuktikan bahwa
riwayat-riwayat yang berbicara tentang siksa kubur adalah mutawatir, maka ia mutlak untuk diimani dan
diyakini. Menurut tahqiq kami, riwayat-riwayat mutawatir (al-Quran) yang berbicara tentang siksa kubur
dilalahnya tidak qath’iy. Sedangkan
hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur semuanya adalah ahad. Padahal, syarat suatu
dalil bisa digunakan hujjah dalam perkara aqidah adalah dilalahnya pasti dan sumbernya pasti (hadits
mutawatir dan al-Quran).
Perhatikan
perkataan Prof. Mahmud Syaltut, mantan rektor al-Azhar,” Perkara-perkara yang sumbernya
tidak qath’iy, atau sumbernya qath’iy akan tetapi maknanya (dalalahnya)
samar dan masih diperdebatkan oleh para ‘ulama, maka perkara-perkara tersebut
tidak termasuk bagian dari perkara ‘aqidah yang membawa implikasi kekufuran atau
keimanan.”
Perkara-perkara
semacam ini
jumlahnya sangat banyak, dan terus diperselisihkan di kalangan ‘ulama. Misalnya, masalah “melihat Allah
swt dengan mata”, “Sifat-sifat tambahan yang dilekatkan pada Dzat Allah, pelaku dosa besar, kehadiran
Imam Mahdiy, Dajjal, turunnya
Nabi Isa as, siksa kubur, letak surga yang dihuni Nabi Adam as, dan lain sebagainya.
Penelitian
atas hadits membuka peluang sangat lebar bagi adanya perbedaan. Sebab, kriteria untuk
menilai suatu hadits, apakah hadits tersebut mutawatir ada perbedaaan pendapat juga. Ada yang menyatakan
bahwa suatu hadits
disebut hadits mutawatir jika perawinya (thabaqat shahabat) minimal 5 orang, 10 orang, 100 orang dan
sebagainya. Akibatnya, ada hadits yang menurut sebagian ‘ulama mutawatir, sedangkan menurut yang
lain ahad. Dalam kondisi
semacam ini tentu kita tidak boleh menyesatkan apalagi memberi stigma buruk bagi orang yang menyatakan
bahwa hadits ini tidak mutawatir, sedangkan menurut anda mutawatir. Sebab, bisa jadi kriteria untuk
menetapkan kemutawatiran
suatu hadits berbeda dan berseberangan.(
koreksi ilmiah atas buku WAMY)
Hizbut Tahrir Mengabaikan Akidah dan
Akhlak
Konsep
akhlak dalam pandangan Hizbut Tahrir.
Akhlak adalah bagian dari rincian hukum-hukum.
Bahlan porsinya paling
sedikit dibandingkan rincian lainnya. Dalam fiqih tidak dibuat satu bab pun yang khusus
membahas akhlak. Karena itu,
dalam buku-buku fiqih yang mencakup hukum-hukum syara’ tidak ditemukan satu bab khusus dengan sebutan bab akhlak. Para fuqaha dan
mujtahidin tidak menitikberatkan pembahasan
dan pengambilan hukum dalam perkara akhlak.
Akhlak tidak mempengaruhi secara
langsung tegaknya suatu
masyarakat. Masyarakat tegak dengan peraturan- peraturan hidup, dan dipengaruhi oleh perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran. Akhlak
tidak mempengaruh tegaknya suatu
masyarakat, baik kebangkitan maupun kejatuhannya. Yang mempengaruhinya adalah opini (kesepakatan) umum yang lahir dari persepsi tentang
hidup. Disamping itu yang menggerakkan
masyarakat bukanlah akhlak, melainkan peraturan-peraturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat itu,
pemikiran-pemikiran, dan perasaan yang melekat pada masyarakat tersebut. Akhlak sendiri adalah
produk berbagai
pemikiran, perasaan, dan hasil penerapan peraturan.
Atas
dasar inilah, maka tidak doperbolehkan dakwah hanya diarahkan pada pembentukan akhlak dalam masyarakat. Sebab akhlak merupakan hasil
dari pelaksanaan perintah- perintah
Allah SWT, yang dapat dibentuk dengan cara mengajak masyarakat kepada akidah dan
melaksanakan Islam secara sempurna.
Disamping itu, mengajak masyarakat pada akhlak semata, dapat memutar balikkan persepsi Islam tentang kehidupan dan dapat menjauhkan
manusia dari pemahaman yang
benar tentang hakekat dan bentuk masyarakat. Bahkan dapat membius manusia dengan
hanya mengerjakan keutamaan
amal-amal yang bersifat individual. Hal ini mengakibatkan kellalaian terhadap langkah-langkah yang benar menuju kemajuan hidup.
Dengan
demikian sangat berbahaya mengarahkan dakwah Islamiyah hanya pada pembentukan akhlak saja. Hal itu memunculkan anggapan bahwa
dakwah Islam adalah
dakwah untuk akhlak saja. Cara
seperti ini dapat mengaburkan gambaran
utuh tentang Islam dan menghalangi pemahaman manusia terhadap Islam. Lebih dari itu dapat menjauhkan masyarakat dari satu-satunya
metode dakwah yang dapat menghasilkan
penerapan Islam, yaitu tegaknya Daulah Islamiyah……..
Akhlak adalah bagian dari
syariat Islam. Bagian dari perintah-perintah
Allah dan larangan-larangan-Nya. Akhlak harus ada serta nampak pada diri setiap muslim, agar
sempurna
seluruh amal perbuatannya dengan
Islam, dan sempurna pula dalam
melaksanakan perintah-perintah Allah. Namun untuk merealisasikannya di tengah-tengah masyarakat secara utuh, maka tidak ada jalan lain kecuali
dengan mewujudkan perasaan- perasaan
Islami dan pemikiran-pemikiran Islam. Setelah ini terwujud di tengah-tengah masyarakat, maka pasti akan terbentuk pula dalam diri
individu-individu. Untuk merealisirnya tidak dilakukan dengan jalan dakwah kepada akhlak, melainkan dengan metoda mewujudkan
perasaan dan pemikiran Islam di tengah-tengah
masyarakat.(Nizhamul Islam)
Yang
menjadi fokus Hizbut Tahrir bukan membentuk sekedar kader berakhlak Islami
semata karena ini terlalu rendah namun kader bersyakhsiyah Islam. Kitab
Muqawimat an Nafsiyah al Islamiyah WAJIB DIKAJI TUNTAS OLEH DARIS/PELAJAR
sebelum menjadi ANGGOTA HIZBUT TAHRIR.
Maksud syakhiyah/kepribadian Islam.
Kepribadian setiap manusia terdiri dari
aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap). Kepribadian tidak
ada kaitannya dengan bentuk tubuh, asesori dan sejenisnya. Semua itu hanya
(penampakan) kulit luar belaka. Merupakan kedangkalan berpikir bagi orang yang
mengira bahwa asesoris merupakan salah satu faktor penunjang kepribadian atau
mempengaruhi kepribadian. Manusia memiliki keistimewaan disebabkan akalnya, dan
perilaku seseorang adalah yang menunjukkan tinggi rendahnya akal seseorang.
Perilaku seseorang di dalam kehidupan tergantung pada mafahim
(persepsi)nya. Jadi, dengan sendirinya tingkah lakunya terkait erat dengan mafahimnya
dan tidak bisa dipisahkan. Suluk (tingkah laku) adalah aktifitas yang
dilakukan dalam rangka memenuhi gharizah (naluri) atau kebutuhan
jasmaninya. Suluk berjalan secara pasti sesuai dengan muyul (kecenderungan)
yang ada pada diri manusia untuk mencapai kebutuhan tersebut. Dengan demikian mafahim
dan muyulnya merupakan tonggak atau dasar dari kepribadian.(Syakhsiyah
Islamiyyah jilid I)
Hizbut
Tahrir mengabaikan akidah dalam menegakan syariah.
Sungguh
suatu kedangkalan berpikir apabila kita ingin mengganti sistem peraturan kita dengan peraturan lain.
Adalah pemikiran
bodoh apabila umat ini hanya menerapkan peraturan saja tanpa memperhatikan akidah, yang dapat menyelamatkannya. Yang harus
dilakukan umat adalah memeluk
akidah dahulu, baru kemudian menerapkan peraturan
yang terpancar dari akidah ini.
Pada saat itulah umat dapat diselamatkan
setelah menerima akidah dan menerapkan peraturan (Islam). Inilah jalan yang harus ditempuh oleh
umat yang
terikat dengan mabda tertentu. Yang menjadikan mabda tersebut sebagai landasan bagi
negaranya. Adapun umat dan bangsa-bangsa
lain tidak perlu menganut satu mabda hingga sebuah mabda diterapkan atas mereka. Yang diharuskan adalah umat yang telah menganut akidah
dan mengembannya, kemudian
menerapkannya kepada bangsa atau umat mana saja, sekalipun mereka tidak menganut mabda tersebut. Karena, hal ini akan membawa kebangkitan
juga bagi bangsa tersebut, malah
akan menarik perhatian untuk memeluk mabda itu.
Memeluk mabda bukanlah syarat
bagi umat yang akan dikenai/diterapkan kepadanya mabda. Mabda wajib dianut dan
menjadi syarat
mutlak bagi pihak yang akan menerapkannya.(Nizhamul
Islam – Taqiyudin an Nabhani)
Hizbut Tahrir Mengunggulkan Akal dari Dalil
AL HAKIM
- Pembahasan yang paling penting yang berkaitan dengan
hukum, yang pertama, yang paling mendesak untuk dijelaskan adalah pengetahuan
tentang siapa yang menjadi rujukan sumber hukum, maksudnya siapa al-hakim itu,
karena pengetahuan atas hukum dan kategorisasinya tergantung pada pengetahuan
tentang al-hakim tersebut. Dan yang dimaksud dengan al-hakim disini bukanlah
pemegang kekuasaan yang menerapkan semua hal yang dia memiliki kekuasaan atas
hal tersebut, tapi yang dimaksud dengan al-hakim disini adalah yang memiliki
otoritas untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan sesuatu. Sebab apa saja
yang ada yang bersifat indrawi tidak
akan kaluar dari kategori sebagai perbuatan manusia atau sesuatu yang tidak
termasuk perbuatan manusia. Ketika
manusia dengan sifatnya sebagai manusia yang hidup di dalam alam semesta
ini menjadi obyek bahasan, maka pengeluaran hukum adalah karena manusia dan
berkaitan dengannya. Karenanya adalah merupakan keharusan adanya hukum atas
perbuatan manusia dan sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan manusia tersebut.
(Pertanyaannya) adalah siapa satu-satunya yang memiliki otoritas untuk
mengeluarkan hukum atas hal diata, apakah Allah atau manusia itu sendiri? Atau
dengan ungkapan lain apakah syara' atau akal? Karena yang menjadikan kita tahu
bahwa ini hukum Allah adalah syara', sedangkan yang menjadikan manusia dapat
menghukumi adalah akal. Maka (pertanyaannya) adalah siapa yang yang menghukumi,
syara' ataukah akal? ………………
Oleh
karena itu maka hukum dalam hal ini adalah wewenang syara' saja, bukan akal.
Maka al-hakim yang sebenarnya atas perbuatan-perbuatan dan atas segala sesuatu
yang berkaitan dengan perbuatan, serta perkara-perkara dan akad-akad adalah
syara' saja dan hukum yang ditetapkan oleh akal
sama sekali tidak berlaku.(asy Syakhisyah al Islamiyah jilid III,
Taqiyudin an Nabhani)
Hizbut Tahrir Mutazilah dan Khawarij.
Mutazilah dan Bantahannya(catatan : Pahami bab
Thariqul Iman kitab Nizhamul Islam dahulu)
Masalah
qadla dan qadar telah memainkan peranan penting dalam mazhab-mazhab Islam (firqah theologi
terdahulu, pent.).
Ahli Sunnah memiliki pendapat, yang pada intinya mengatakan bahwa manusia itu memiliki apa yang disebut dengan kasb ikhtiari di dalam
perbuatan-perbuatannya (tatkala manusia
hendak berbuat sesuatu, Allah menentukan/menciptakan amal perbuatan tersebut,
pent.). Jadi, manusia dihisab
berdasarkan kasb ikhtiari ini. Sedangkan Mu’tazilah memiliki pendapat yang
ringkasnya adalah bahwa manusia sendirilah
yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya. Sebab, ia sendirilah yang menciptakannya. Adapun Jabariyah
memiliki pendapat tersendiri,
yang ringkasnya bahwa Allah menciptakan hamba beserta perbuatannya. Ia “dipaksa” melakukan perbuatannya dan tidak bebas memilih.
Ibaratnya seper ti bulu yang diterbangkan
angin kemana saja.
Apabila
kita meneliti masalah qadla dan qadar, akan kita dapati bahwa ketelitian pembahasannya menuntut kita untuk mengetahui terlebih dahulu dasar
pembahasan masalah ini. Ternyata,
inti masalahnya bukan menyangkut perbuatan manusia, dilihat dari apakah diciptaan Allah atau oleh
dirinya sendiri.
Juga tidak menyangkut Ilmu Allah, dilihat dari kenyataan bahwa Allah SWT mengetahui apa
yang akan dilakukan oleh hamba-Nya,
dan Ilmu Allah itu meliputi segala perbuatan hamba. Tidak terkait pula dengan Iradah Allah –sementara Iradah Allah dianggap
berhubungan dengan perbuatan hamba-sehingga suatu perbuatan harus terjadi
karena adanya Iradah tadi.
Tidak juga berhubungan dengan status perbuatan hamba yang sudah tertulis dalam Lauhul
Mahfudz -yang tidak boleh tidak
ia harus melakukannya sesuai dengan apa yang tertulis di dalamnya-. Memang benar, perkara-perkara
tadi bukan menjadi dasar
pembahasan qadla dan qadar. Sebab, tidak ada hubungannya dilihat dari segi pahala dan siksa. Hubungan
yang ada hanya
dengan ‘penciptaan’,-yaitu bahwa- Ilmu (Allah) yang meliputi segala sesuatu,
Iradah-Nya yang berkaitan dengan segala
kemungkinan-kemungkinan, dan hubungannya dengan Lauhul Mahfudz yang mencakup segala sesuatu. Seluruh perkara yang dihubung-hubungkan
ini merupakan pembahasan lain,
yang terpisah dari topik pahala dan siksa atas perbuatan
manusia. Dengan kata lain, tidak
berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan:
‘Apakah
manusia dipaksa melakukan perbuatan baik dan buruk, ataukah diberi kebebasan
memilih?’
Begitu pula dengan:
‘Apakah
manusia diberi pilihan melakukan suatu pekerjaan atau meninggalkannya, atau sama
sekali tidak diberi hak untuk
memilih (ikhtiyar)?’
Apabila
kita mengamati seluruh perbuatan manusia, akan kita jumpai bahwa manusia itu hidup di dalam dua area. Area pertama adalah ‘’area yang
dikuasainya’’. Area ini berada di bawah
kekuasaan manusia dan semua perbuatan/kejadian yang muncul berada dalam lingkup
pilihannya sendiri. Sedangkan area
kedua adalah ‘’area yang menguasainya’’, yaitu area yang menguasai manusia. Pada area ini
terjadi perbuatan/kejadian yang
tidak ada campur tangan manusia sedikitpun, baik perbuatan/kejadian itu berasal dari dirinya atau yang menimpanya.
Perbuatan
manusia yang terjadi pada area yang kedua ini, tidak ada andil dan urusan sedikitpun dengan manusia
atas kejadiannya.
Kejadian-kejadian di dalam area ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama, kejadian yang ditentukan oleh nizhamul wujud (Sunnatullah). Kedua,
kejadian yang tidak ditentukan oleh
nizhamul wujud, namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, yang tidak akan mampu
dihindari dan tidak terikat dengan
nizhamul wujud. Mengenai kejadian yang ditentukan oleh nizhamul wujud, maka hal ini telah memaksa manusia untuk tunduk kepadanya. Manusia
harus berjalan sesuai dengan ketentuannya.
Sebab, manusia berjalan bersama alam semesta dan kehidupan, sesuai dengan mekanisme tertentu yang tidak kuasa dilanggarnya. Bahkan semua
kejadian yang ada pada bagian
ini muncul tanpa kehendaknya. Di sini manusia terpaksa diatur dan tidak bebas memilih.
Misalnya, manusia datang dan meninggalkan
dunia ini tanpa kemauannya. Ia tidak dapat terbang di udara, tidak bisa berjalan di atas air hanya
dengan tubuhnya.
Ia tidak dapat menciptakan warna biji matanya, bentuk kepala dan tubuhnya. Akan tetapi semua itu diciptakan Allah SWT, tanpa ada pengaruh
atau hubungan sedikitpun dari hamba
(makhluk)-Nya. Hanya Allah-lah yang menciptakan nizhamul wujud yang berfungsi sebagai pengatur alam ini.
Alam diperintah
untuk berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan-Nya tanpa kuasa untuk melanggarnya.
Akan
halnya kejadian yang tidak ditentukan oleh nizhamul wujud namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, adalah kejadian atau perbuatan
yang berasal dari manusia atau yang
menimpanya, yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolak. Misalnya,
seseorang terjatuh dari atas tembok lalu menimpa orang lain hingga mati. Atau, orang yang menembak burung tetapi secara
tidak sengaja mengenai seseorang
hingga mati. Atau, kecelakaan pesawat, kereta api, atau mobil, karena kerusakan
mendadak yang tidak bisa dihindari,
sehingga menyebabkan tewasnya para penumpang, dan sebagainya. Semua kejadian yang berasal dari manusia atau yang menimpanya ini,
walaupun di luar kemampuannya dan
tidak terikat dengan nizhamul wujud, tetapi tetap terjadi tanpa kehendak manusia dan
berada di luar kekuasaannya. Karena
itu, dapat digolongkan ke dalam area kedua, yakni daerah yang menguasai manusia. Segala kejadian yang terjadi pada area yang menguasai manusia inilah yang dinamakan
qadla (keputusan Allah). Sebab Allah-lah
yang memutuskannya. Karena itu, seorang hamba tidak dimintai pertanggungjawaban atas kejadian ini,
betapapun besar
manfa’at atau kerugiannya; disukai atau dibenci oleh manusia; meski kejadian tersebut
mengandung kebaikan dan keburukan
menurut tafsiran manusia —sekalipun hanya Allah yang mengetahui hakekat baik dan buruknya kejadian itu. Ini karena manusia tidak ikut andil
dalam kejadian tersebut, serta
tidak tahu-menahu tentang
hakekat dan asal-muasal kejadiannya.
Bahkan ia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolak atau mendatangkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk beriman akan
adanya qadla, dan bahwasanya qadla
itu hanya berasal dari Allah SWT.
Sedangkan
qadar, uraiannya adalah sebagai berikut. Bahwa semua perbuatan, baik yang berada di area yang menguasai manusia ataupun di
daerah yang dikuasai manusia, semuanya
terjadi dari benda menimpa benda, baik benda itu berupa unsur alam semesta, manusia, maupun kehidupan. Allah SWT telah menciptakan khasiat
(sifat dan ciri khas) tertentu pada
benda-benda. Misalnya, api diciptakan dengan khasiat membakar. Sedangkan pada kayu
terdapat khasiat terbakar. Pada
pisau terdapat khasiat memotong, demikian seterusnya. Allah SWT telah menjadikan khasiat-khasiat
bersifat baku sesuai dengan
nizhamul wujud yang tidak bisa dilanggar lagi. Apabila suatu waktu khasiat ini
melanggar nizhamul wujud, maka itu karena Allah SWT telah menarik khasiatnya. Tetapi hal ini
adalah sesuatu
yang berada di luar kebiasaan dan hanya terjadi bagi para Nabi yang menjadi mukjizat
bagi mereka. Seperti halnya pada
benda-benda yang telah diciptakan khasiat-khasiatnya, maka pada diri manusia telah
diciptakan pula berbagai gharizah (naluri)
serta kebutuhan jasmani. Pada naluri dan kebutuhan jasmani ini juga telah
ditetapkan khasiat-khasiat seperti halnya pada benda-benda. Misalnya, pada gharizah mempertahankan dan melestarikan keturunan
(gharizatun nau’) telah diciptakan khasiat dorongan seksual. Dalam kebutuhan jasmani diciptakan pula khasiat-khasiat seperti
lapar, haus, dan sebagainya.
Semua khasiat ini dijadikan Allah SWT
bersifat baku sesuai dengan sunnatul
wujud (peraturan alam yang ditetapkan Allah). Seluruh khasiat yang diciptakan Allah SWT, baik yang terdapat pada benda maupun
naluri serta kebutuhan jasmani manusia,
dinamakan qadar (ketetapan). Sebab, Allah-lah yang menciptakan benda, naluri, serta
kebutuhan jasmani; kemudian menetapkan
khasiat-khasiat tertentu di dalamnya. Khasiat- khasiat ini tidak datang dengan sendirinya dari unsur-unsur tersebut. Dan manusia sama
sekali tidak memiliki andil atau pengaruh
apapun. Karena itu, manusia wajib mengimani bahwa yang menetapkan khasiat-khasiat di dalam unsur-unsur
tersebut hanyalah
Allah SWT. Khasiat-khasiat
ini memiliki qabiliyah (potensi) yang dapat digunakan manusia dalam bentuk amal kebaikan apabila sesuai dengan perintah Allah. Bisa juga
digunakan untuk berbuat kejahatan
apabila melanggar perintah Allah dan larangan-Nya. Baik itu dilakukannya dengan
menggunakan khasiat-khasiat yang
ada pada benda, atau dengan memenuhi dorongan naluri dan kebutuhan jasmaninya.
Perbuatannya itu menjadi baik apabila
sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya, dan sebaliknya menjadi jahat apabila
melanggar perintah dan larangan-Nya.
Dengan
demikian, semua peristiwa yang terjadi pada area yang menguasai manusia itu datangnya dari Allah, apakah itu baik ataupun buruk. Begitu pula
khasiat pada benda-benda, naluri
serta kebutuhan jasmani datangnya dari Allah, baik hal itu akan menghasilkan kebaikan
ataupun keburukan. Karena itu,
wajib bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadla, baik dan buruknya dari Allah
SWT. Dengan kata lain, ia wajib meyakini
bahwa semua kejadian yang berada di luar kekuasaannya datangnya dari Allah SWT. Wajib pula bagi seorang muslim untuk beriman
kepada qadar, baik dan buruknya
dari Allah SWT, baik khasiat-khasiat tersebut akan menghasilkan kebaikan ataupun
keburukan. Manusia sebagai makhluk
tidak mempunyai pengaruh apapun dalam hal ini. Ia tidak punya andil dalam masalah ajal, rizki, dan dirinya.
Semua itu dari
Allah SWT. Jadi, kecenderungan seksualnya yang terdapat pada gharizatun nau’, kecenderungan memiliki
sesuatu yang
terdapat pada naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa’), rasa lapar dan haus yang
ada pada kebutuhan jasmaninya,
semua itu datangnya dari Allah SWT.
Penjelasan
di atas tadi adalah pembahasan yang berkaitan dengan kejadian-kejadian pada area yang menguasai manusia, dan pada khasiat-khasiat seluruh
benda yang ada. Adapun area yang
dikuasai oleh manusia, adalah area dimana manusia berjalan secara sukarela di atas nizham (peraturan) yang dipilihnya, apakah itu syariat
Allah atau syariat lainnya. Dalam area
ini, terjadi peristiwa dan perbuatan yang berasal dari manusia atau menimpanya karena
kehendaknya sendiri. Misalnya
ia berjalan, makan, minum, dan bepergian, kapan saja sesuka hatinya dan kapan saja boleh ditinggalkannya. Ia membakar dengan api dan memotong
dengan pisau, sesuai dengan
kehendaknya. Begitu pula ia memuaskan keinginan seksualnya, keinginan memiliki barang, atau keinginan memenuhi perutnya sesuai dengan
kemauannya. Ia bisa melakukannya
atau tidak melakukannya dengan sukarela. Karena itu, seluruh perbuatan manusia yang dilakukan didalam area ini akan ditanya dan
diminta pertanggungjawaban. Meskipun
khasiat-khasiat yang ada pada benda mati, naluri, serta kebutuhan jasmani yang telah ditakdirkan oleh
Allah dan
dijadikannya bersifat baku, mempunyai efek/pengaruh yang menghasilkan suatu perbuatan,
akan tetapi bukan khasiat-khasiat ini yang melakukan perbuatan, melainkan
manusialah yang
melakukannya pada saat ia menggunakan khasiat-khasiat tersebut.(Nizhamul Islam Taqiyudin an-Nabhani)
[1] Lihat: Hizb at-Tahrir, hlm. 25; Manhaj Hizb at-Tahrir fi
at-Taghyir, hlm. 48; at-Takattul al-Hizbi, hlm. 54; Mafahim Hizb
at-Tahrir, hlm. 75; Ta’mim, Rajab 1382 H./Desember 1962 M.; dan Wujub
al-‘Amal li Iqamah ad-Daulah al-Islamiyah, hlm. 20, 22.
[2] Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Hadits ini dikeluarkan oleh Hakim,
Abu Nu’aim dan Baihaki dalam ad-Dala’il dengan sanad hasan dari Ibnu
Abbas telah bercerita kepada Ali bin Abi Thalib. Lihat: Faht al-Bari,
vol. ke-7, hlm. 220.
[3] Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah, vol. ke-3, hlm. 140.
[4] Lihat: Sirah Ibnu Hisyam, vol. ke-2, hlm. 272; dan al-Bidayah
wa an-Nihayah, vol. ke-3, hlm. 139, 140.
[5] Lihat: Manhaj Hizb at-Tahrir fi at-Taghyir, hlm. 49, 51; Ta’mim,
Rajab 1382 H./Desember 1962 M.; Nasrah tidak berjudul, 11 Dzul Hijjah 1391
H./27 Januari 1972 M.; Jawab Sual, 5 Rabi’uts Tsani 1389 H./20 Juni 1969
M.; dan Wujub al-Amal li Iqamah ad-Daulah al-Islamiyah, hlm. 23.
[6] Lihat: Hizb at-Tahrir, hlm. 26; Manhaj Hizb at-Tahrir fi
at-Taghyir, hlm. 51; dan Ta’mim, Rajab 1382 H./Desember 1962 M..
[7] Lihat: Ta’mim, Rajab 1382 H./Desember 1962 M..
[8] Lihat: Hizb at-Tahrir, hlm. 26; dan Manhaj Hizb at-Tahrir
fi at-Taghyir, hlm. 51.
[9] Lihat: Nasyrah tanpa judul, 11 Dzul Hijjah 1391 H./ 27 Januari 1972
M..
[10] Lihat: Jawab Sual, 5 Rabi’uts Tsani 1389 H./20 April 1965
M..
[11] Lihat: Wawancara dengan Azzam Abdullah; Jawab Sual, 2 Dzul
Hijjah 1388 H./19 Pebruari 1969 M.; Nasyrah tanpa judul, 11Dzul Hijjah 1391
H./27 Januari 1972 M.; Ta’mim, Rajab 1382 H./Desember 1962 M.; dan
lihat: Sirah Ibnu Hisyam, vol. ke-2, hlm. 265-277; dan al-Bidayah wa
an-Nihayah, vol. ke-3, hlm. 135-150.
[12] Lihat: Wujubul ‘Amal li Iqamah ad-Daulah al-Islamiyah, hlm.
22.
[13] HR. al-Imam Ahmad. Syu’aib al-Arnauth berkata: Hadits ini shahih.
Lihat: Musnad Ahmad bin Hanbal, vol. ke-3, hlm. 339; Sirah Ibnu
Hisyam, vol. ke-2, hlm. 791; dan al-Bidayah wa an-Nihayah, vol.
ke-3, hlm. 159.
[14] HR. al-Imam Ahmad. Lihat: Musnad Ahmad bin Hanbal, vol.
ke-3, hlm. 460.
[15] Lihat: Sirah Ibnu Hisyam, vol. ke-2, hlm. 297; dan al-Bidayah
wa an-Nihayah, vol. ke-3, hlm. 164.
[16] Lihat: Jawab Sual, 25 Shafar 1390 H./1 Mei 1970 M.
[17] Lihat: ad-Da’wah al-Islamiyah, hlm. 100; Hizb at-Tahrir
(Munaqasyah ‘Ilmiyah li Ahammi Mabadi’ al-Hizb), hlm. 32; al-Jama’at
al-Islamiyat, hlm. 320; ath-Thariq ila Jama’ah al-Muslimin (Tesis
Majister), hlm. 313; al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-Adyan wa
al-Madzahib al-Mu’ashirah, hlm. 139; dan Atsar al-Jama’at al-Islamiyah,
252-253.
[18] Lihat: Ta’mim (surat
edaran), Rajab 1382 H./Desember 1962 M..
[19] Lihat: Tesis ini halaman ….
[20] Dan demi menjaga amanahnya, maka sesungguhnya penulis, Auni Judu’
tidak pernah terjerumus kedalam kesalahan-kesalahan ini dengan melakukan
paralogisme (pemutar balikan perkataan) seperti oknum penulis yang lainnya. Dia
berkata: “Periode nushrah dan penyerahan kendali kekuasaan adalah
periode yang harus ditempuh oleh Hizbut Tahrir, yaitu setelah dakwahnya
tersebar di tengah-tengah masyarakat, dan setelah membina masyarakat dengan
tsaqafah islamiyah (wawasan keislaman), maka Hizbut Tahrir meminta nushrah
dari orang-orang yang mencerminkan pusat-pusat kekuatan dalam masyarakat, dan
dari ahlul halli wal aqdi di antara kaum muslimin hingga berdiri Daulah
Khilafah Islamiyah di muka bumi”. Lihat: Hizb at-Tahrir al-Islami, hlm.
117.
[21] QS. An-Nisa’ [4] : 141.
[22] QS. Hud [11] : 113.
[23] Lihat: at-Taghyir Hatmiyah ad-Daulah al-Islamiyah, Muhammad
Abdul Karim, cet. pertama, 1421 H./2000 M., hlm. 61-63.
[24] Lihat: Sirah Ibnu Hisyam, vol. ke-2, hlm. 297; dan al-Bidayah
wa an-Nihayah, vol. ke-3, hlm. 164.
[25] QS. An-Nisa’ [4] : 77.
[26] QS. Al-Baqarah [2] : 249.
[27] Lihat: at-Taghyir Hatmiyah ad-Daulah al-Islamiyah, hlm.
63-65.
[28] Lihat: at-Taghyir Hatmiyah ad-Daulah al-Islamiyah, hlm.
65-67.