Bantahan atas fitnah terhadap Hizbut Tahrir


Tujuan Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir memiliki dua tujuan: (1) melangsungkan kehidupan Islam; (2) mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Tujuan ini berarti mengajak umat Islam agar kembali hidup secara Islami di dâr al-Islam dan di dalam lingkungan masyarakat Islam. Tujuan ini berarti pula menjadikan seluruh aktivitas kehidupan diatur sesuai dengan hukum-hukum syariat serta menjadikan seluruh pandangan hidup dilandaskan pada standar halal dan haram di bawah naungan dawlah Islam. Dawlah ini adalah dawlah-khilâfah yang dipimpin oleh seorang khalifah yang diangkat dan dibaiat oleh umat Islam untuk didengar dan ditaati. Khalifah yang telah diangkat berkewajiban untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.(Ta’rif Hizbut Tahrir)

Tantang Negara Islam(Dar al Islam)
Khilafah adalah kepemimipinan umum bagi semua kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari'at Islam dan mengusung dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah adalah imamah. Imamah dan khilafah memiliki satu arti. Hadits-hadits shahih telah menyebutkan dua kata ini dengan satu arti. Salah satu dari keduanya tidak disebutkan dengan arti yang berbeda dari yang lain dalam sebuah nash syar'i pun; tidak dalam Kitab dan tidak pula dalam Sunnah, karena hanya dua inilah nash-nash syar'i. Dan tidak wajib berpegang pada lafadz ini (imamah dan khilafah), tapi yang wajib adalah petunjuknya.(asy Sakhsiyah al Islamiyyah- Taqiyudin an-Nabhani)
Dan akhirnya hanya ada sebuah sahaja negara, iaitu: NEGARA ISLAM; negara yang di dalamnya tegak kedaulatan Islam, berjalan di dalamnya syariat Allah, berkuasa di dalamnya peraturan-peraturan Allah. Orang-orang beriman hidup di dalam negara itu dalam keadaan penuh perpaduan dan setia kawan, saling bantu membantu dan hormat menghormati. Ada pun negara yang berbentuk lain daripada itu, maka negara itu adalah negara harbi (negara musuh) di mana orangorang Islam di dalamnya tidak ada jalan lain kecuali berperang ataupun berdamai dengan janji tidak saling ganggu mengganggu antara golongan Islam dengan golongan bukan Islam tanpa sebarang syarat. Tetapi negara seperti itu bukanlah sebuah negara Islam, dan tiada sebarang ikatan setia antara penduduknya dari gologan lain dengan golongan kaum Muslimin……….
Ya, kemenangan di bawah panji-panji akidah, bukan di bawah panji-panji yang lain; jihad untuk kemenangan agama dan syariat tidak kerana sesuatu matlamat yang lain pembelaan terhadap "negara Islam" yang melaksanakan syariat Ilahi bukan kerana membela negara yang lain, mengikhlaskan semua itu kerana Allah sahaja bukan kerana mencari laba dan kemegahan nama, bukan untuk kebanggaan suatu negeri atau kaum, dan mempertahankan kepentingan keluarga dan kaum kerabat, selain daripada mengawal mereka dari dilanda arus fitnah di dalam menghayati agama Allah. …………
Demikian juga tidak sayugia sama sekali timbulnya rasa ragu dan syak wasangka mengenai hakikat jahiliyah dan hakikat Islam di dalam hati para pendakwah Islam; begitu juga mengenai ciri-ciri negara musuh dan dengan konsep negara Islam; sebab sering berlaku kekeliruan mengenai ini. Setiap pendakwah mesti meyakinkan diri sendiri untuk ditanam keyakinan kepada orang bahawa: tiada Islam di dalam negara yang tidak dikuasai oleh Islam dan tidak berjalan di dalamnya syariat Allah dan tiada negara Islam selain daripada yang dikuasai oleh Islam dalam segenap urusan pemerintahannya syariat Allah tiada negara Islam
kecuali negara yang menghayati Islam, yang berkuasa di dalamnya program dan undang-undangnya. Perlu benar diyakinkan bahawa tiada alternatif bagi iman selain daripada kufur; tiada alternatif lain bagi Islam selain daripada jahiliyah dan tiada alternatif lain bagi kebenaran melainkan kesesatan jua.(Sayyid Quthb)
                Tentang status muslim yang berada di negara kufur(karena keterpaksaan ketiadaan negara Islam) tetaplah sebagai muslim. Karena dari hadist tentang keluarga Yasir yang disemangati Rosulullah mendapat balasan surga jika bersabar. Sedangkan seorang yang akhirnya memerangi umat Islam yang berada dinegara Islam atau seorang muslim yang berperang dibawah bendera kekufuran memerangi muslim dan terbunuh maka matinya mati kafir berdasarkan al-Quran.

Metode Dalam menegakkan khilafah
Kemudian kita mesti membebaskan diri dari tekanan masyarakat jahiliyati, dari tekanan konsep jahiliyah, dari adat resam jahiliyah dan juga dari pimpinan ala jahiliyah di dalam hidup diri kita sendiri. Bukanlah tugas kita untuk berkompromi dengan realiti masyarakat jahiliyah sekarang dan bukan untuk tunduk dan menumpahkan kesetiaan kepadanya sebab keadaan realiti jahiliyah itu tidak memungkinkan kita berkompromi dengannya sama sekali. …….
Tugas utama kita ialah mengubah realiti masyarakat ini. Tugas utama kita ialah mencabut realiti jahiliyah itu dari akar umbinya, realiti yang bertentangan dan berlanggar secara prinsipal dengan aspirasi Islam dan dengan konsep Islam, realiti yang menghalang kita dengan menggunakan kekerasan dan tekanan dari kita hidup seperti yang dikehendaki oleh program Ilahi. Langkah pertama di dalam perjalanan kita ialah menghapuskan masyarakat
jahiliyah ini, nilai-nilai dan teori-teorinya. Kita tidak boleh mengubah-suai sedikit jua pun untuk kemudiannya bertemu semula di pertengahan jalan. Sekali lagi tidak! Kerana jalan kita adalah berlainan dan bersimpangan dengan jalan jahiliyah. Seandainya kita cuba berjalan seiring dengannya biar pun selangkah jua nescaya kita kehilangan pedoman dan kita akan meraba dalam kesesatan.(Sayyid Quthb)

Thabul Nusrah dan Bantahan tuduhan sebagai Khawarij
Mencari Pertolongan (Thalabun Nushrah)
1). Kewajiban mencari pertolongan untuk menegakkan Daulah
Ketika masyarakat telah apatis terhadap partai, akibat hilangnya kepercayaan umat terhadap pemimpin-pemimpinnya dan tokoh-tokoh masyarakat yang telah menjadi tumpuan harapannya, dan juga akibat keadaan di wilayah tersebut yang teramat sulit yang sengaja dibuat oleh kaum imperialis agar rencana-rencana imperialisme mereka tetap berlangsung. Juga akibat dominasi kekuasaan dan sikap represif yang dijalankan oleh para penguasa dalam menindas rakyatnya, serta akibat kerasnya penyiksaan dan penganiayaan yang dilakukan oleh para penguasa terhadap partai, para anggota dan pengikutnya. Pada saat masyarakat menjadi apatis akibat semua keadaan ini, maka partai mulai melakukan aktivitas—disamping tetap melakukan aktivitas-aktivitas yang selama ini dijalankan—thalabun nushrah (mencari pertolognan) dari orang-orang yang memiliki kemampuan untuk itu.[1]
Sesungguhnya Hizbut Tahrir sampai kepada kesimpulan tersebut melalui kajiannya yang mendalam terhadap sirah (perjalanan hidup) Rasulullah SAW setelah memperhatikan beberapa point berikut:
a.       Setelah wafatnya Abu Thalib, maka masyarakat Makkah bersikap apatis dan tertutup terhadap Rasulullah SAW. Dengan wafatnya Abu Thalib, penyiksaan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadap Rasulullah SAW semakin keras, hingga mereka melakukan hal-hal yang belum pernah mereka lakukan pada saat pamannya, Abu Thalib masih hidup. Sehingga perlindungan terhadap Rasulullah menjadi amat sangat lemah dibanding perlindungan pada masa Abu Thalib. Lalu Allah SWT memberi wahyu yang isinya perintah kepada beliau agar mendatangi kabilah-kabilah Arab untuk mencari perlindungan dan pertolongan demi keberlangsungan aktivitasnya, dan agar beliau dapat menyampaikan risalah dari Allah yang dengannya beliau diutus dalam keadaan aman dan terlindungi.
Dari Ali bin Abi Thalib berkata: “Setelah Allah SWT memerintahkan kepada Rasul-Nya agar mendatangi kabilah-kabilah arab, maka beliau, aku dan Abu Bakar keluar menuju Mina sampai kami mendatangi satu majlis (tempat berkumpul) di antara majlis-majlis orang-orang Arab”.[2]
Dari Ibnu Abbas dari ayahnya: bahwa Rasulullah SAW pernah berkata kepadaku (Abbas): “Aku sudah tidak melihat lagi di sisimu dan di sisi saudaramu kekuatan—untuk melindungiku. Karena itu, maukah kamu besok menemaniku pergi ke pasar hingga kami tiba di tempat-tempat peristirahatan kabilah-kabilah manusia—yaitu tempat berkumpul bagi bangsa Arab”. Aku (Abbas) berkata: “Ini adalah kabilah Kindah dan koleganya, mereka adalah orang-orang utama yang sedang ibadah haji dari Yaman. Ini adalah pemondokan Bakar bin Wail. Dan ini adalah pemondokan Bani Amir bin Sha’sha’ah. Sekarang pilihlah olehmu”. Abbas berkata: “Beliau memilih memulai dari Bani Kindah, lalu beliau mendatanginya”.[3]
b.       Sesungguhnya yang diminta oleh Nabi SAW dari beberapa kabilah yang beliau  datangi—setelah meminta mereka agar beriman dan membenarkannya—adalah agar mereka mau melindunginya hingga beliau dapat menyampaikan risalah dari Allah yang karenanya beliau diutus. Dari semua nash tentang Rasulullah SAW. mendatanggi sendiri kabilah-kabilah tersebut menyebutkan bahwa beliau meminta kepada mereka perlindungan untuk dirinya dan aktivitas dakwahnya.
c.        Sesungguhnya apa yang diminta oleh kabilah Kindah dan Bani Amir bin Sha’sha’ah dari beliau bahwa hendaklah kekuasaan setelah Rasulullah diberikan kepada mereka.[4] Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka telah memahami dari permintaan beliau kepada mereka agar menjaga dan menolongnya, bahwa beliau hendak menegakkan sebuah institusi pemerintahan di anatara mereka. Oleh karena itu, mereka mau menjaga dan menolongnya dengan syarat jika kekuasaan setelah beliau diberikan kepada mereka.
d.       Sesungguhnya pertolongan (nushrah) yang diberikan oleh penduduk Madinah kepada beliau, dilangsungkannya baiat aqabah kedua bersama mereka, dan beliau langsung mendirikan daulah (negara) setibanya beliau di Madinah. Semua ini menunjukkan dengan jelas bahwa tujuan beliau meminta perlindungan dan pertolongan adalah untuk mendirikan institusi (negara) Islam yang menerapkan hukum-hukum Islam.
Melalui kajian tersebut Hizbut Tahrir menetapkan bahwa aktivitas mencari pertolongan (thalab an-nushrah) itu berbda dari aktivitas tsaqafah (pengkaderan) pada tahap pertama, serta berbeda dari aktivitas interaksi pada tahap kedua, meskipun aktivitas mencari pertolongan itu terjadi pada tahap kedua, yaitu pada tahap interaksi. Dengan demikian, mencari pertolongan adalah bagian dari metode (thariqah) yang wajib diikuti ketika masyarakat sedang apatis dan tertutup terhadap partai dan para pengemban dakwah, dan ketika bahaya semakin keras menimpa mereka. Sungguh dalam hal ini tidak ada seorang pun yang berkata bahwa metode ini tidak diwajibkan, tetapi—semua sepakat bahwa hal ini—diwajibkan, sebab berulang-ulangnya aktivitas mencari pertolongan tersebut, serta dilakukannya terus-menerus padahal dalam melakukannya banyak kesulitan. Ini merupakan indikasi atas tuntutan yang tegas (thalab jazim) sebagaimana ditetapkan dalam usul fiqh.
Sungguh Rasulullah SAW. berkali-kali mencari pertolongan dari berbagai kabilah sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab Sirah Nabawiyah. Dan ditengah-tengah aktivitas mencari pertolongan tersebut beliau menghadapi bahaya, rintangan dan penolakan, meski demiian beliau tidak pernah merubah metode (thariqah)nya. Seandainya metode itu tidak wajib, tentu beliau memilih metode yang lain setelah beliau mengulanginya sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, dan lima kali, tetapi beliau terus mengulanginya dan mengulangnya sampai lebih dari lima belas kali, padahal dalam aktivitas ini ada kesulitan, rintangan, dan bahaya, sampai pada akhirnya Allah SWT memuliakan beliau dengan pertolongan-Nya. Semua ini menunjukkan atas wajibnya terikat dengan metode mencari pertolongan (thalabun-nushroh). Sebab, seandainya itu tidak diwajibkan, tentu Nabi SAW tidak akan melakukannya secara terus-menerus padahal dalam aktivitas ini terdapat kesulitan, rintangan, dan bahaya. Keterikatan beliau dengan metode ini, dan ketidaan beliau mencari metode lain, meskipun harus berhadapan dengan kesulitan, rintangan, dan bahaya, maka semuanya menunjukkan secara pasti atas wajibnya terikat dengan metode ini.[5] Berdasarkan hal itu, maka Hizbut Tahrir benar-benar menambahkan aktivitas mencari pertolongan (thalabun-nushroh) atas aktivitas-aktivitas yang sedang dijalankannya. Dan Hizbut Tahrir mulai mencari pertolongan dari pihak-pihak yang memiliki kemampuan untuk memberi pertolongan. Hal itu dilakukan untuk dua tujuan, yaitu:
Pertama, untuk tujuan meminta perlindungan (proteksi) agar dapat menjalankan aktivitas dakwah dengan aman.
Kedua, untuk sampai pada kekuasaan guna menegakkan khilafah dan mengembalikan pemerintahan sesuai hukum yang telah diturunkan Allah SWT dalam kehidupan, bermasyarakat, dan bernegara.[6]
Akan tetapi Hizbut Tahrir menegaskan bahwa harus diperhatikan dengan penuh ketelitian dan keseriusan bahwa mencari pertolongan itu tidak boleh dilakukan kepada individu, karena Rasulullah SAW tidak pernah memintanya kepada individu, kecuali kalau individu itu mewakili jamaah, maka secara riil hal ini hakikatnya adalah meminta kepada jamaah. Mencari pertolongan itu harus benar-benar sesuai aktivitas Rasulullah SAW.. Sebagaimana Hizbut Tahrir telah menegaskan juga bahwa mencari pertolongan itu tidak boleh kepada jamaah yang lemah yang tidak mampu menolong dakwah, karena Rasulullah SAW. tidak melakukannya. Mencari pertolongan itu harus benar-benar sesuai aktivitas Rasulullah SAW.. Sehingga dalam usaha mencari pertolongan dan pembelaan terhadap dakwah harus memenuhi dua syarat:
Pertama, dari jamaah secara riil, atau dari individu yang mewakili jamaah.
Kedua, keberadaan jamaah itu sendiri diprediksikan mampu menolong dan membela dakwah.[7]
Hizbut Tahrir menyatakan: “Meskipun partai melaksanakan aktivitas-aktivitas mencari pertolongan (talabun nushrah), partai harus tetap melaksanakan semua aktivitas yang telah menjadi rutinitasnya, yaitu tetap melakukan kajian secara intensif dalam berbagai halqah, pembinaan kolektif untuk seluruh umat, mengkonsentrasi kegiatan hanya kepada umat untuk ikut bertanggung jawab memikul beban Islam, serta membentuk opini umum di tengah-tengah umat. Begitu juga aktivitas lain, seperti menentang negara-negara kafir imperialis, dan membongkar rencana-rencana dan persekongkolan-persekongkolan jahat mereka; juga menentang para penguasa, dan melakukan tabanni mashalihul umah (mengutamakan kepentingan umat), serta memelihara urusan-urusannya. Kesemuanya ini terus dilakukan oleh partai dengan terus berharap kepada Allah, semoga partai mendapatkan keberhasilan, kemenangan, dan pertolongan Allah. Pada saat itulah orang-orang mukmin bergembira dengan mendapat pertolongan Allah SWT.. Dan sesungguhnya berkat karunia Allah atas kita dan umat manusia, Islam telah menjadi opini umum dan harapan bagi keselamatan umat; khilafah telah banyak disebut-sebut setelah sebelumnya tidak banyak dikenal orang; dan menegakkan khilafah serta mengembalikan pemerintahan sesuai hukum yang telah diturunkan Allah telah menjadi cita-cita semua kaum muslimin.[8]
2. Tidak boleh semua individu kelompok partai disibukkan dengan aktivitas mencari pertolongan (thalabun nushrah).
Hizbut Tahrir memahami betul—ketika melakukan aktivitas mencari pertolongan—bahwa aktivitas mencari pertolongan itu bukan aktivitas partai dan bukan pula tujuannya. Akan tetapi ia adalah metode (thariqah) untuk bisa sampai kepada penegakkan Daulah secara riil. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir tidak menjadikannya sebagai aktivitas partai, namun menjadikannya sebagai bagian dari aktivitasnya. Sehingga para anggotanya dan partai secara keseluruhan tidak disibukkan dengannya. Namun yang melakukannya hanya beberapa anggota partai di setiap wilayah yang jumlahnya tidak lebih dari jumlah jari-jari satu tangan. Dan tidak menjadikan aktivitas mencari pertolongan (thalabun nushrah) sebagai aktivitas partai, kecuali yang ditugaskan untut melaksanakannya. Alasannya, karena Rasulullah SAW sendiri tidak menyibukkan dirinya dengan aktivitas mencari pertolongan, melainkan hanya sibuk dengan aktivitas dakwah. Sementara yang sibuk dengan aktivitas mencari pertolongan hanyalah Mush’ab bin Umair dan As’ad bin Zararah. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir tetap berjalan sebagaimana biasanya tanpa ada seseorang yang merasa mendapat tugas baru. Sehingga, kondisinya berjalan seperti biasanya, yaitu menyibukkan diri dengan aktivitas menyampaikan pemikiran dan melaksanakan aktivitas yang telah ditetapkan.[9]
Mengingat aktivitas mencari pertolongan itu merupakan perkara yang berat dan berbahaya, dan tidak setiap anggota mampu melaksanakannya, sehingga partai tidak dibenarkan membebankannya kepada anggota manapun. Karena itu aktivitas tersebut tidak mungkin dibebankan kepada semua anggota. Akibat dari kenyataan yang demikian itu, konsekuensinya partai harus memilih sejumlah kecil dari anggotanya untuk melakukan aktivitas mencari pertolongan, dan harus sesuai dengan karakter aktivitas yang dituntutnya. Terkadang mencari pertolongan itu dari kepala negara, sehingga untuk melaksanakannya hanya butuh kepada satu delegasi atau satu orang saja; terkadang mencari pertolongan itu dari pemimpin kelompok, ketua jamaah yang kuat, kepala suku, duta besar, atau yang sejenisnya, sehingga dalam melaksanakannya butuh kepada sejumlah anggota yang terpilih, dan terkadang tidak butuh kecuali kepada satu anggota yang ahli dan berpengalaman; dan terkadang mencari pertolongan itu dari individu-individu biasa yang memiliki kecerdasan, keberanian, dan kekuatan, sehingga dalam melaksanakannya butuh kepada sejumlah anggota yang mereka spesialis (ahli) dengan aktivitas seperti ini, serta memberikan segenap kesanggupannya, dan seterusnya. Jadi, berdasarkan karakteristik aktivitas mencari pertolongan itu, maka tidak mungkin semua anggota partai mampu melaksanakannya. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya harus dibatasi hanya kepada beberapa orang anggota partai yang jumlahnya sedikit saja.[10]
3. Mekanisme mencari pertolongan (thalabun nushrah)
Sesungguhnya pihak yang sanggup memberi pertolongan (ahlun nushrah) secara riil adalah pihak-pihak yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, sehingga dengannya mereka mampu merubah sistem kufur menjadi sistem Islam. Atau, ketika seorang penguasa menolak untuk merubah—sistem kufur menjadi sistem Islam, maka dalam kondisi yang demikian pertolongan dapat diraih melalui pusat-pusat kekuatan yang ada di dalam negeri yang mampu melenyapkan penguasa dan menyerahkan pemerintahan kepada orang yang akan menerapkan Islam.
Sedangkan masalah penerapannya terhadap realita yang ada, mekanisme menyeru jamaah, dan siapakan jamaah yang akan diseuru itu, maka dalam hal ini Hizbut Tahrir berpendapat bahwa masalah ini semuanya telah jelas dalam sirah (perjalanan hidup Nabi), yaitu bagaimana mekanisme yang dilakukan Rasulullah SAW dalam aktivitasnya mencari pertolongan. Beliau pergi ke Thaif menuju kabilah Tsaqif yang posisinya serupa negara. Beliau mendatangi berbagai kabilah, di antaranya adalah kabilah Bani Kalb, mereka disebut juga dengan Banu Abdullah, mereka dianggap sebagai kelompok yang kuat dalam negara. Beliau juga mendatangi Bani Amir bin Sha’sha’ah dan memintanya agar bersedia melindungi beliau, beraktivitas bersama beliau, dan pergi membawa beliau ke negeri-negeri mereka, sementara posisi mereka seperti para wakil negara.
Beliau SAW. berkata kepada Suwaid bin Shamit, yang mendapat julukan al-Kamil (orang yang sempurna) dari kaumnya, karena kekuatan, kemuliaan, dan nasabnya. Di samping itu, dia adalah pemimpin jamaah dan sekaligus seorang cendekiawan. Ibnu Hisyam bercerita mengenai pembicaraan Rasulullah SAW. dengan Suwaid: “Setelah Rasulullah SAW. mendengar perihal Suwaid ini, maka beliau mendatanginya dan mengajaknya kepada Allah dan kepada Islam. Lalu Suwaid berkata: “Barang kali apa yang kamu bawa seperti apa yang telah aku miliki?” Rasulullah SAW. bertanya, “Apakah gerangan yang telah kamu miliki?” Dia berkata: “Majalah Luqman, yakni hikmah Luqman”. Kemudian, Rasulullah SAW. bersabda: “Perlihatkanlah apa yang telah kamu miliki itu kepadaku!” Lalu Suwaid pun memperlihatkannya. Setelah melihatnya, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya apa yang telah kamu miliki ini baik, tetapi apa yang aku bawa lebih baik dan lebih utama dari ini, yaitu al-Qur’an yang diturunkan Allah SWT. Dan al-Qur’an ini didalamnya adalah petunjuk dan cahaya”. Lalu, Rasulullah SAW membacakan al-Qur’an kepadanya dan mengajaknya kepada Islam. Suwaid pun tidak menjauhinya (tidak menolaknya dengan ajakan itu) bahkan ia berkata: “Sesungguhnya (al-Qur’an) ini merupakan perkataan yang baik”.
Begitu juga—dalam aktivitasnya mencari pertolongan—beliau menyampaikan kepada delegasi yang datang dari Madinah ke Makkah yang sedang mencari persekutuan dari kaum Quraisy. Delegasi tersebut dipimpin oleh Abu al-Haisar Anas bin Rafi’, dan bersamanya sekelompok pemuda dari Bani Asyhal. Mereka adalah orang-orang yang mewakili suku Khazraj. Dan mereka adalah jamaah (komunitas) terkuat di Madinah. Beliau juga menyampaikan keinginannya kepada kelompok (rombongan) dari suku Khazraj yang berjumlah enam orang. Kemudian, mereka sama memegang pundaknya (berjanji) akan meyakinkan kaumnya. Selanjutnya, melalui mereka itulah pertolongan datang kepada beliau.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa mencari pertolongan (thalabun nushrah) itu ditujukan kepada setiap jamaah yang diprediksikan memiliki kekuatan dan kemampuan menolong dakwah. Sama saja apakah ia berupa negara, jamaah (komunitas) dalam negara, jamaah dari sejumlah negeri yang dapat dijadikan tempat untuk mendapatkan pertolongan, atau ia sebagai wakil jamaah yang mengemban sebuah fikrah, atau mereka sebagai wakil bagi sebuah jamaah yang kuat atau negara. Atau mereka adalah kelompok di antara jamaah yang bercita-cita menjadikan negara mereka atau jamaah mereka sebagai penolong dakwah, dan seterusnya yang meliputi semua jamaah yang kuat. Berangkat dari hal-hal di atas, maka dakwah ditujukan kepada jamaah yang berbentuk negara, dengan catatan ia adalah negara merdeka, bukan negara yang sedang dikuasai kaum kafir, atau berbentuk jamaah yang ada dalam negara seperti kabilah, atau mereka sebagai wakil negara seperti para duta besar, para delegasi perundingan, utusan konferensi, atau yang sejenisnya. Semua itu dengan syarat bahwa negara yang diwakili tidak berada di bawah pengaruh negara kafir.
Atau dakwah itu ditujukan kepada  kelompok perwira yang berpengaruh dalam tentara atau pasukan dimana mereka menjadi bagian dari padanya, atau ia sebagai pemimpin yang berpengaruh di daerahnya atau di kotanya, atau sejumlah individu (tokoh) dari sebuah jamaah yang kuat di antara kabilah, kota, atau negara yang melaui mereka inilah pertolongan kaumnya atau jamaahnya dapat diberikan. Maka realita yang ada ini diterapkan kaumnya atau jamaahnya. Dengan demikian, realita yang ada sekarang ini diterapkan terhadap realita yang ada pada masa Rasulullah SAW. Sehingga  dakwah selanjutnya ditujukan kepada jamaah-jamaah yang kuat tersebut agar mereka memeluk fikrah, dan agar mereka menolongnya.[11]
Hizbut Tahrir menyatakan: “Di sini kami tidak melupakan bahwa umat memiliki peran yang sangat penting dalam menggerakkan para pemilik kekuatan. Sebabnya adalah bahwa mereka para pemilik kekuatan dan kekuasaan itu apabila mereka telah merasakan keterpengaruhan umat terhadap Islam dengan sebenarnya, dan umat benar-benar telah siap berkorban demi Islam, maka apa yang dirasakan itu akan menjadi pendorong yang penting dalam menciptakan keberanian pada diri mereka, para pemilik kekuatan untuk menolong Islam dan menegakkan Negara Islam”.[12]
4. Perbedaan antara mencari pertolongan (thalabun nushrah) dengan penggunaan  aktivitas fisik dalam mengemban dakwah
Terkadang diasumsikan bahwa aktivitas mencari pertolongan (thalabun nushrah) yang dijalankan oleh partai pelaksanaannya masuk dalam persoalan aktivitas fisik. Apalagi dalam menjalankan aktivitas mencari pertolongan (thalabun nushrah) itu partai dituntut membuat rancangan aktivitas yang akan dijalankan oleh ahlun nushrah. Akan tetapi, dalam hal ini Hizbut Tahrir menjelaskan bahwa sebenarnya ada perbedaan antara pelaksanaan aktivitas fisik yang dilakukan partai dengan permintaan partai kepada ahlun nushrah agar melakukan sesuatu atau perbuatan, atau partai memberikan kepada mereka berbagai arahan atau bimbingan. Dalam hal ini, partai sendiri tidak melakukan aktivitas fisik, tetapi yang dilakukan partai adalah meminta sesuatu atau perbuatan, atau partai memberikan berbagai arahan atau bimbingan kepada mereka, ahlun nushrah (pihak yang dipercaya dapat memberi pertolongan) yang sedang diminta pertolongannya. Hal ini bukanlah aktivitas fisik.
Kemudian—Hizbut Tahrir menjelaskan—bahwa dalam Baiat Aqabah Rasulullah SAW. meminta perkara secara terperinci kepada mereka yang dimintai pertolongan oleh beliau. Misalnya, beliau bersabda kepada mereka:
تَمْنَعُونِي مِمَّا تَمْنَعُونَ مِنْهُ نِسَاءَكُمْ وَأَبْنَاءَكُمْ
“Lindungilah aku seperti kalian melindungu istri-istri kalian dan anak-anak kalian”.[13]
Dengan ini, beliau telah meminta mereka agar berperang untuk melindunginya, yakni beliau meminta mereka agar melakukan aktivitas fisik. Ini artinya bahwa beliau boleh meminta apa saja dari mereka hingga memintanya melakukan aktivitas fisik sekalipun. Dan dalam hal ini juga, bahwa Rasulullah SAW telah mengintervensi (masuk kedalam) hal-hal yang lebih jauh lagi (terperinci). Misalnya, permintaan beliau kepada mereka:
أَخْرِجُوا إِلَيَّ مِنْكُمْ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا يَكُونُونَ عَلَى قَوْمِهِمْ
“Keluarkanlah kepadaku dua belas orang ketua di antara kalian yang menjadi pemimpin kaumnya….”.[14]
Berdasarkan hal ini, sungguh beliau telah mempersiapkan mereka untuk melindunginya, dan  menetapkan untuk mereka dua belas orang ketua yang akan memimpin komunitas kaumnya. Dengan demikian, beliaulah orang yang telah menentukan untuk mereka mekanisme dalam melaksanakan perlindungan dan pertolongannya. Kemudian, ketika mereka berkata kepada beliau SAW.: “Jika engkau mau, sungguh besok pagi kami akan menyerang penduduk Mina dengan pedang-pedang kami”. Mendengar itu, beliau malah bersabda:
لَمْ نُؤْمَرْ بِذَلِكَ وَلَكِنِ ارْجِعُوْا إِلَى رِحَالِكُمْ
“Kami belum diperintah untuk melakukan hal itu, namun (sebaliknya) kembalilah kalian ke pemondokan kalian”.[15]
Mereka benar-benar telah meminta izin kepada beliau untuk melakukan aktivitas fisik, namun beliau melarangnya. Ini artinya, bahwa mereka telah berada di bawah kendalinya dalam setiap tindakan nushrah (pertolongan). Dan ini adalah dalil bahwa partai punya hak mengarahkan orang-orang yang dimintai pertolongannya seperti yang dikehendaki partai; memerintahkan mereka untuk melakukan aktivitas dan melarangnya; dan menentukan untuk mereka jalan (cara) memberi pertolongan dan mencegahnya dari yang lain. Ini berhubungan dengan perkara-perkara yang terperinci serta dalil-dalilnya. Selanjutnya, orang yang dimintai pertolongan oleh partai dan mengabulkan permintaannya, dia telah berada dibawah kendali partai dalam memberi pertolongan di segala hal, baik dalam hal kecil atau besar, baik dalam hal yang umum atau yang terperinci (khusus). Maka, hanya dengan mengabulkan permintaan pertolongan yang diminta oleh partai, mereka telah meletakkan dirinya dibawah kendali partai, dan mereka wajib menaati partai kecuali ketika partai menyuruhnya melakukan maksiat. Maka berdasarkan aktivitas Rasulullah SAW. yang terperinci dalam Baiat Aqabah kedua, serta realita pemenuhan permintaan pertolongan, telah menjadikan partai memiliki hak mengarahkan ahlun nushrah (pihak penolong), dan membuat planning (rencana) aktivitas yang yang harus mereka jalankan. Begitu pula, partai memiliki hak dalam mengikat mereka dengan berbagai perkara secara terperinci; mencegah mereka dari salah satu aktivitas; dan mengikat mereka dengan berbagai pendapatnya, baik berhubungan dengan perkara yang sifatnya umum, parsial, maupun khusus.[16]
Meskipun sangat jelas apa yang dikemukakan Hizbut Tahrir dalam persoalan mencari pertolongan (thalabun nushrah), serta dalil-dalil yang menjadi pijakannya, namun demikian dalah hal ini Hizbut Tahrir tidak sepi dari berbagai kritikan, yang sebagian besar keluar dari koridor fiqh, apalagi dari memahami secara mendalam pendapat Hizbut Tahrir terkait dengan masalah ini. Sebagian mereka menyangka bahwa Hizbut Tahrir mencari pertolongan dari orang-orang kafir. Sebagian yang lain telah mencampur aduk masalah mencari pertolongan yang dikaji Hizbut Tahrir dalam konteks untuk menegakkan Daulah dengan masalah meminta pertolongan dengan orang-orang kafir dalam peperangan. Sebagian yang lain menyangka bahwa Hizbut Tahrir mencari pertolongan dari ahlul quwah (pemilik kekuatan) sekalipun mereka tidak meyakini sesuatu yang didakwahkan oleh Hizbut Tahrir. Sebagian yang lain berpendapat bahwa Hizbut Tahrir telah keliru karena bersandar pada kekuatan yang abstrak. Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa Hizbut Tahrir tidak menyadari bahwa pihak-pihak yang dimintai pertolongannya oleh Hizbut Tahrir, bahwa sebagian dari mereka atau keseluruhannya adalah prang-orang yang menentang terhadap sesuatu yang akan menghancurkan mereka. Kemudian mereka meyakinkan bahwa ini adalah fakta yang terjadi, sebab mereka telah menangkapi tidak sedikit pemimpin Hizbut Tahrir dan menjebloskannya kedalam penjara.[17]
Untuk tujuan menghilangkan kesamaran dari perkara di atas—agar tidak ada lagi kesalahpahaman, maka saya akan menyampaikan naskah (nash) dari sebuah ta’mim (surat edaran) Hizbut Tahrir yang membahas persoalam nushrah (pertolongan) yang diterbitkan pada tahun 1962 M.. Dalam hal ini Hizbut Tahrir menyatakan: “Pertanyaan yang terkadang terlintas dalam hati ialah apakah ketika ada jamaah yang telah menerima dakwah dan telah siap menolong dakwah dengan semua yang dimilikinya, maka apakah jamaah tersebut harus mengikuti kajian dalam beberapa halqah dan harus bergabung dengan Hizbut Tahrir seperti layaknya anggota partai, ataukah cukup dengan hanya memeluk fikrah dan mendapat penjelasannya saja? Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah sesungguhnya keberadaan jamaah harus terdiri dari kaum muslimin tidak perlu dibicirakan lagi, karena Islam adalah syarat mendasar dalam persoalan mencari pertolongan (thalabun nushrah). Sehingga, jamaah itu harus jamaah muslim sehingga secara syara’ pertolongan mereka dapat diterima. Sedangkan keberadaan jamaah harus mengikuti kajian dalam berbagai halqah, maka juga tidak diragukan lagi, dan tidak perlu diperbincangkan, karena persoalannya adalah menolong kelompok dakwah, sehingga secara riil jamaah tersebut harus menjadi bagian dari kelompok partai, yakni harus masuk dalam kelompok partai yang dimulai dengan mengikuti kajian dalam berbagai halqah yang diadakan kelompok partai, dan karena fikrah tersebut harus dipahami oleh pihak yang hendak menolongnya. Sedangkan sekedar penjelasan semata tanpa adanya kajian dalam halqah, maka itu tidak mungkin dapat mengantarkan kepada pemahaman yang mendalam. Oleh karena itu, jamaah tersebut harus mengikuti kajian dalam beberapa halqah, atau pihak yang mewakili jamaah harus mengikuti kajian dalam beberapa halqah, sehingga dapat diketahui bahwa jamaah tersebut telah menerima sesuatu yang kami dakwahkan kepada mereka, yaitu ketika mereka membenarkan dan memahami fikrah, dan mereka berjanji (berkomitmen) akan menolong dan membelanya. Sedangkan tentang sesuatu yang mengharuskan dirinya menjadi anggota partai, maka itu bukan syarat untuk menerima pertolongannya. Namun degnan mengikuti kajian dalam beberapa halqah saja sudah cukup untuk menerima pertolongannya dan menganggapnya sebagai kekuatan. Sedangkan menerima berbagai sumbangan, pemberian, kontribusi, dan sejenisnya dari mereka adalah persoalan setiap daris (pihak yang mengikuti kajian). Jadi kajian adalah syarat mendasar, dan berangkat dari kajian ini ada orang yang mengharuskan dirinya menjadi anggota partai, dan ada yang tidak, tetapi ia terhitung sebagai kekuatan partai, dan gugur darinya dosa akibat tidak masuk dalam kelompok (umat) selagi perkara yang mencegahnya menjadi anggota datang dari pihak partai, bukan dari dirinya….”.[18]
Ketentuan (nash) yang dikeluarkan Hizbut Tahrir pada tahun 1962 M. tersebut telah menyangkal dan mendustakan semua kebohongan yang dialamatkan kepada Hizbut Tahrir, dan menghilangkan semua syubhat (kesamaran) yang telah dimasukkan dan dibisikan oleh para penulis terhadap orang-orang yang berkehendak melihat lebih dalam pemikiran Hizbut Tahrir yang berhubungan dengan persoalan nushrah (pertolongan). Kemudian, Hizbut Tahrir benar-benar telah menjelaskan pemahamannya terhadap persoalan nushrah ketika menjelaskan semuanya dengan dalil perbuatan Rasulullah SAW. dan permintaan beliau kepada beberapa kabilah agar mau menolongnya. Hizbut Tahrir benar-benar telah menjelaskan bahwa beliau SAW. telah mengajak mereka kepada Islam, dan meminta pertolongan dari mereka. Maka dalam hal ini, saya (penulis) tidak mengerti dari mana datangnya berbagai tuduhan palsu yang tidak memiliki kebenaran sama sekali.
Sedangkan masalah meminta bantuan orang kafir ketika ia seorang diri dalam peperangan adalah masalah yang sifatnya fikih, yang dalam hal ini ulama berselisih pendapat, dan tidak ada kaitannya dengan persoalan nushrah yang telah dilontarkan oleh Hizbut Tahrir. Dalam masalah ini, pendapat Hizbut Tahrir sejalan dengan pendapat sebagian ulama salaf dari umat ini, dan di sini bukan tempat untuk membahasnya.
Sedangkan kritikan terhadap Hizbut Tahrir bahwa Hizbut Tahrir bersandar pada kekuatan yang sifatnya abstrak, maka ini harus dipahami dari penjelasan di atas. Sebab, Hizbut Tahrir—seperti yang telah dijelaskan sebelumnya—telah menjelaskan dengan sangat jelas sekali tentang mekanisme mengikat ahlun nushrah (pihak yang akan memberi pertolongan) dengan kelompok partai. Kemudian ditegaskan bahwa realita kekuatan itu hakikatnya bukan hanya milik partai, melainkan milik semua umat.
Masalah yang lain adalah dipahami dari perkataan sebagian para penulis bahwa Hizbut Tahrir harus melaksanakan sendiri persiapan kekuatan yang akan memberikan nushrah (pertolongan). Pernyataan ini menarik kita kepada masalah, apakah boleh bagi kelompok yang beraktivitas untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan menegakkan khilafah menjadi kelompok yang dipersenjatai? Hizbut Tahrir melalui kajiannya terhadap sirah nabawiyyah syarifah (perjalanan hidup Nabi yang mulia) telah mengadopsi bahwa kelompok tersebut tidak boleh dipersenjatai atau menggunakan aktivitas (kekuatan) fisik.[19] Apabila partai membentuk kekuatan bersenjata yang akan melaksankan aktivitas nushrah, maka hal itu bertentangan dengan metode Rasulullah SAW., sebab beliau tidak melakukannya. Namun yang beliau lakukan adalah mengubah kekuatan yang dimiliki oleh penduduk Madinah, yaitu kekuatan yang berdiri diatas dasar kufur dan syirik menjadi kekuatan yang beriman kepada Allah SWT. sebagai Tuhan, beriman dengan al-Quran sebagai kitab dari sisi Allah SWT., dan beriman dengan Muhammad SAW. sebagai Nabi dan Rasul. Selanjutnya, kekuatan tersebut menjadi kekuatan yang menolong Islam dan menegakkan Daulah Islam di atas Bumi Madinah Munawarah sebagai Daulah Islam yang perdana.
Sedangkan apa yang dikemukakan oleh sebagian penulis bahwa aktivitas mencari pertolongan (thalabun nushrah) itu dapat menghadapkan partai kepada…. Benar, namun hal ini adalah sunnah para Nabi. Dan cukup menjadi dalil atas hal itu adalah apa yang telah menimpa beliau SAW. ketika beliau pergi ke Thaif. Bagaimana mereka telah mengadukan dan memfitnah beliau kepada Quraisy. Seandainya Rasulullah SAW. memiliki pola pikir seperti mereka, tentu Daulah Islam tidak akan pernah berdiri.[20]
Sesungguhnya fikrah apapun sehingga dapat diterapkan di atas bumi secara nyata, maka fikrah tersebut harus memiliki kekuatan. Melalui penelitian terhadap realita dan berbagai upaya dapat disimpulkan bahwa mekanisme untuk menghasilkan kekuatan itu tidak terlepas dari tiga kondisi:
Pertama, kekuatan diberikan oleh pihak yang memiliki kekuatan, namun dengan perjanjian yang isinya agar meninggalkan sebagian pemikiran atau sebagian hukum syara’, atau agar mewujudkan kepentingan-kepentingan pihak tersebut yang membuat penerapan Islam menjadi bersyarat, berkurang, atau membuat negara tunduk kepada pihak yang memberikan kekuatan dan perlindungan. Misalnya, untuk menjatuhkan suatu sistem (rezim) bergantung pada bantuan kekuatan negara lain. Maka hal seperti ini—jika  berhasil—akan membuat negara yang baru itu bergantung pada kaum kafir dan para antek (komparador). Akibatnya, negara tersebut tidak akan menerapkan Islam kecuali sebatas yang diperbolehkan oleh kaum kafir dan para antek (komparador). Bahkan ia akan menerapkan hukum-hukum kufur. Akhirnya, kekuasaan itu pun akan berakhir dan lenyap ketika peranannya yang ditentukan oleh pihak yang memberikan bantuan kekuatan dan perlindungan sudah berakhir—artinya ketika pihak yang memberikan bantuan kekuatan dan perlindungan sudah tidak lagi melihat manfaatnya, maka ia akan mengakhiri dan melenyapkan kekuasaan tersebut.
Sungguh metode tersebut—tidak diragukan lagi—adalah metode (langkah) yang salah dan batil. Sebab, tujuan utama perjuangan adalah sampainya Islam pada kekuasaan, bukan sampainya orang-orang yang lahirnya saja mereka memperjuangkan Islam, dan ketika sampai pada kekuasaan mereka malah melupakan penerapan Islam, atau sebagian hukum-hukum Islam. Apa yang dilakukan justru mengganti kekufuran dengan kekufuran yang lain. Menentapkan persyaratan terhadap negara dari pihak manapun berarti memberikan kesempatan pada pihak tersebut untuk menguasainya. Dan hal ini haram dilakukan. Allah SWT. berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
“Sekali-kali Allah tidak akan menjadikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin”.[21]
Dan berfirman-Nya:
وَلاَ تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لاَ تُنْصَرُونَ
“Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan”.[22]
Sungguh Rasulullah SAW. sangat menolak berbagai akad dan perjanjian seperti itu. Ingat! Ketika kaum kafir Quraisy benar-benar menawarkan kepada beliau jabatan sebagai penguasan atau pemimpin mereka, atau mereka akan menyembah Tuhan beliau selama setahun, dan sebaliknya beliau pun harus menyembah Tuhan mereka selama setahun—semuanya dengan tegas ditolak oleh beliau.  Sebagaimana kami dapati bahwa orang-orang yang dalam menghadapi dan menghancurkan kekufuran bersandar kepada sistem-sistem kufur justru mereka berakhir dengan kehancuran dan kekalahan yang lebih besar. Kaum Mujahidin di Afghanistan—mereka menyadari maupun tidak—misalnya, mereka telah bergantung kepada bantuan Amerika melalui Pakistan dan Arab Saudi. Akhirnya mereka berhasil merealisasikan kepentingan Amerika untuk mengusir Rusia, sebaliknya mereka sendiri mengalami kegagalan memproklamirkan Negara Islam yang mereka serukan. Bahkan mereka jatuh kedalam jeratan dan cengkraman syaitan.
Begitu juga dengan berbagai organisasi di Palestina yang dalam perjuangannya mereka bergantung kepada kekuatan dan dukungan dari sistem-sistem (rezim) kufur dan para agennya. Mereka menyangka bahwa semuanya bangkit berjuang untuk membebaskan Palestina dan mendapat dukungan mayoritas rakyat Palestina. Kemudian mereka pun melepaskan tanah Palestina dan mengakui kedaulatan Negara Yahudi atas tanah Palestina. Dan imbalannya mereka mendapatkan kehidupan yang aman, dan bahkan mereka bekerja menjadi polisi untuk melindungi Yahudi. Sungguh banyak sekali contoh terkait dengan hal ini. Oleh karena itu, menempuh metode ini dalam membangun kekuatan disamping haram dan batil adalah sangat berbahaya, sehingga metode ini harus dijauhinya.[23]
Kedua, para pengemban dakwah atau pergerakan berusaha membangun kekuatan fisik (bersenjata) sendiri untuk menghadapi dan mengalahkan kekuatan batil, selanjutnya menegakkan Daulah Islam sebagai penggantinya. Metode seperti ini adalah hayalan yang menyesatkan dan sulit dilakukan. Sebab, harta benda (kekayaan), senjata, militer, media massa, peralatan dan berbagai perlengkapan semuanya telah dimiliki oleh negara batil. Sungguh apa yang dapat dibangun sendiri oleh para pengemban dakwah atau pergerakan kuantitasnya sangat kecil sekali dibandingkan dengan apa yang telah dimiliki oleh negara batil. Apalagi bantuan yang akan datang untuk menghadapi dan memblokade aktivitas dakwah kepada kebenaran (hak) juga sangat besar, karena pemerintahan-pemerintahan yang ada jika tidak dikatakan semuanya, maka mayoritas mereka adalah memusuhi Islam. Bahkan cara-cara ini bukan sesuatu yang dapat mencegah mereka yang memusuhi Islam dari pengeboman terhadap sejumlah kota dan masyarakat, yang mengakibatkan hancur dan musnahnya mereka, ketika mereka merasakan adanya bahaya dari kekuatan kelompok Islam. Dan untuk melakukan hal tersebut amatlah mudah bagi mereka dengan bantuan sistem-sistem (rezim) yang ada.
Pergolakan fisik (bersenjata) seperti ini menjadikan para pengemban dakwah membutuhkan bantuan harta, pasukan, dan teknik yang permanen untuk menghindari kelemahan dan memenuhi kebutuhan hidupnnya. Dan untuk merealisasikannya harus ada jaminan dari pihak yang melaksanakannya kepada pihyak yang memberi pertolongan. Dalam kondisi demikian, sangat terbuka jalan bagi setan untuk melakukan sejumlah pembenaran (justifikasi) yang hakikatnya hal itu tidak ada wujudnya dalam syara’, dan juga dapat menggerakkan para agen (komparador) untuk berpura-pura menampakkan semangat keberagamaan mereka dengan menyodorkan dan menawarkan pertolongan seperti yang dibutuhkan, sehingga akibatnya aktivitas dakwah terjatuh kedalam jerat kekufuran. Realitas seperti inilah yang telah terjadi di Afghanistan, Mesir, Aljazair, Palestina, Lebanon, Suriah, dan lainnya. Oleh karena itu, adalah tindakan yang keliru ketika para pengembang dakwah terjatuh kedalam perangkap sehingga mengalihkan pergolakan menjadi pergolakan fisik (bersenjata), atau memasukkan unsur (bersenjata) ini kedalam aktivitasnya.
Sedangkan Nabi SAW. sepanjang masa pergolakan di Makkah, ketika kekuasaan berada di tangan para pemimpin kafir, maka kami melihat bahwa beliau sangat menghindari dari pergolakan fisik (bersenjata). Namun, beliau—selama masa itu—tetap konsisten dan terikat dengan pergolakan pemikiran (ash-shira’ al-fikri) dan perjuangan politik (al-kifah as-siyasi) meskipun orang-orang musyrik telah menyiksa para pengikutnya, dan masyarakat pun bersikap apatis dan tertutup dihadapan dakwahnya, bahkan sekalipun ketika sebagian sahabat cenderung (berkeinginan) menggunakan kekuatan (senjata), yang mereka ajukan kepada Rasulullah SAW. pada saat melangsungkan Baiah Aqabah kedua. Mendengar hal itu, beliau malah bersabda:
لَمْ نُؤْمَرْ بِذَلِكَ وَلَكِنِ ارْجِعُوْا إِلَى رِحَالِكُمْ
“Kami belum diperintah untuk melakukan hal itu, namun (sebaliknya) kembalilah kalian ke pemondokan kalian”.[24]
Dan Allah SWT. benar-benar telah menjelaskan bahwa kaum muslimin dilarang melakukan aktivitas itu di Makkah. Allah SWT berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: ‘Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!’.”[25]
Di sini tidak dapat dikatakan bahwa sesungguhnya orang-orang yang beriman bisa mempersiapkan sesuatu yang bisa dilakukan, yaitu bersandar kepada keimanan mereka, sebab Allah SWT. berfirman:
كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”.[26]
Dan hal itu tidak dapat diperhitungkan dengan hitungan apapun untuk membedakan kekuatan fisik sebesar apapun. Ini tidak dapat dikatakan, karena bukan pada tempatmya. Rasulullah SAW. telah menolak penggunaan kekuatan fisik (bersenjata) dalam realita seperti ini. Sehingga, aktivitas Rasulullah SAW. ini merupakan hukum syara’ untuk realitas ini. Sungguh banyak sekali peristiwa yang mempertegas—salah dan batilnya cara-cara ini—bahwa aktivitas seperti ini sering berujung pada keputusasaan dan hilangnya semangat, dan sering pula berakhir pada menyerahkan kendali kepemimpinanya kepada pihak asing melalui mereka yang disusupkan, sehingga aktivitasnya tetap berlangsung untuk melayani kaum kafir dengan nama Islam dan dakwah. Dan melalui mereka—gerakan Islam palsu ini—para rezim yang ada berusaha memngkaburkan kebenaran dan pengemban dakwah yang sesungguhnya, serta menyesatkan kaum muslimin. Berdasarkan atas hal itu, maka menempuh metode ini dalam membangun kekuatan untuk memproklamirkan berdirinya Negara Islam merupakan langkah yang keliru dan sangat berbahaya. Metode seperti ini akan menghancurkan para pengemban dakwah, dan merusak kesucian dakwah, bahkan  didalamnya terdapat banyak kemunkaran, dan—jika dilakukan—akan berujung pada keputusasaan.[27]
Ketiga, mengubah kekuatan yang ada dimasyarakat atau sebagian darinya, yang sebelumnya kekuatan tersebut menjadi sandaran bagi kebatilan dan sistemnya dirubah menjadi sandaran bagi dakwah kepada hak (Islam). Caranya dengan membangkitkan dan mengumpulkan orang-orang atau sebagian dari mereka yang mempunyai kekuatan dan pengaruh pada suatu tempat yang telah dirancang dan dipersiapkan dengan sempurna untuk menegakkan negara, dengan menempatkan semua kekuatan dan kemampuan yang mereka miliki untuk menjadi sandaran bagi perjuangan Islam dan penerapannya. Mengingat, kebenaran itu dapat mempengaruhi pemikiran, pemahaman, dan loyalitas manusia. Begitu juga dengan dakwah kepada Islam, ia dapat mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan yang menyesatkan menuju cahaya kebenaran, serta mampu mengubah mereka menjadi para pendukung dan penolong bagi para penyeru kebenaran dan para pengemban dakwah, dan mampu juga menjadikan mereka memusuhi dan membenci sistem-sistem yang sedang berkuasa. Begitu pula hal tersebut mampu mengubah suatu kelompok di antara masyarakat ini menjadi para pelindung dan penjaga bagi penerapan Islam.
Semua ini membutuhkan peningkatan kuantitas dakwah kepada Islam dengan terus melakukan pergolakan pemikiran (ash-shira’ al-fikri) dan perjuangan politik (al-kifah as-siyasi). Sementara menyirami umat dengan konsep dan pemikiran Islam membutuhkan pengarahan dakwah kepada kelompok manusia secara intensif sesuai agenda tertentu supaya mereka bersedia memberikan loyalitasnya secara maksimal untuk menerapkan Islam secara sempurna dengan tanpa syarat apapun. Demikian inilah mekanisme mencari pertolongan (thalabun nushrah). Kekuatan yang akan diambil loyalitasnya bagi fikrah ini adalah sesuai kebutuhan yang diperlukan dan cukup untuk memplokamirkan berdirinya negara, memperluas wilayah kekuasaannya, mencegah timbulnya pemberontakan terhadap negara, dan melindungi negara yang mungkin timbul dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Kekuatan yang hendak dirubah ini merupakan kekuatan asli yang berasal dari umat.
Namun, selama ini telah berlangsung penyesatan pemikiran sehingga mereka melihat perkara hak (benar) sebagai perkara batil, dan sebaliknya perkara batil sebagai perkara hak, atau tidak melihat sama sekali. Maka melalui dakwah, tekun dalam melakukannya, memberikan hikmah (bukti yang menyakinkan), senantiasa sabar, dan  menjelaskan hakikat kebenaran, pasti akan terjadi perubahan pemikiran dan pergantian loyalitas dengan sempurna; juga dengan terus-menerus menyebarkan pemikiran Islam kepada umat, mengikat umat dengan akidah dan agamanya, serta menyerunya agar mengikuti metode Nabi SAW dalam menegakkan Daulah Islam,  pasti akan terjadi revolusi mengenai loyalitas pihak-pihak yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, serta mendorong mereka untuk bersegera memberikan loyalitas dan pertolongannya kepada Islam dan kepada partai yang berdiri di atas asas akidah Islam, dan bertujuan menegakkan khilafah. Metode ini, yakni mencari pertolongan (thalabun nushrah) tidak bersandar kepada perkara-perkara yang luar biasa atau kepada mu’jizat, dan tidap pula bergantung kepada sarana-sarana atau peralatan-peralatan yang tidak mungkin tersedia. Oleh karena itu, metode tersebut merupakan solusi yang realistis, yakni solusi yang praktis. Ia merupakan jalan yang efektif dan efisien yang dapat menyampaikan kepada inti tujuan, bahkan tidak ada jalan selain jalan ini.
Metode ini tidak akan menjadikan kehendak negara yang baru berdiri tersebut bergantung kepada pihak yang memberikan kekuatan dan sandaran, tidak akan menjadikan orang yang mencari pertolongan tergantung kepada orang yang menolongnya, dan tidak akan menjadikan penerapan Islam bersyarat atau berkurang. Sungguh kami melihat Nabi SAW. meskipun beliau dan para sahabatnya menerima tindak kekerasan dan penyiksaan, dan meskipun masyarakat bersikap apatis dan menutup diri terhadap dakwah yang beliau serukan, beliau tidak mengubah dan mengganti metode dakwahnya, selain dari aktivitas mencari pertolongan (thalabun nushrah), bahkan beliau terus mencarinya sampai beliau mendapatkannya dari penduduk Madinah Munawwarah, kemudian beliau berhijrah ke sana dan memproklamirkan berdirinya Negara Islam.[28]
Dengan demikian, jelaslah bahwa mencari pertolongan (thalabun nushrah) bukan sekedar aktivitas politik yang lahir dari pemahaman yang mendalam terhadap fakta dan data, melainkan ia adalah hukum syara’ yang ditunjukkan oleh banyak nash (dalil) syara’ untuk menegakkan Daulah (Negara) Islam.(Dalam tesis berjudul tsaqofah dan metode Hizbut tahrir Dalam mendirikan negara khilafah islamiyah)


Tentang Hadits Ahad dan Siksa Kubur.

Sesungguhnya para ‘ulama-‘ulama masyhur telah berbeda pendapat mengenai hadits ahad; apakah ia harus diimani atau tidak. Jumhur ‘ulama dan mayoritas para fuqaha berpendapat bahwa hadits ahad tidak menghasilkan faedah iman. Dengan kata lain, isi yang terkandung di dalam hadits ahad tidak boleh dijadikan dasar untuk membangun keimanan.
Salah seorang pakar tafsir Syaikh Mohammad Jamaluddin al-Qasimi dalam kitab tafsirnya, Mahasinu Ta’wil, telah menyatakan bahwa mengkritik hadits ahad sudah biasa terjadi dan popular sejak periode shahabat. Selanjutnya beliau menyebutkan penegasan al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, dan al-Fanari, bahwa yang mengkritik dan menolak hadits ahad tidak dapat dianggap kafir atau fasik dan sesat. Sebab, hal ini pernah terjadi dan dilakukan oleh para shahabat dan para ulama seperti penolakan ‘Aisyah ra terhadap hadits yang menyebutkan bahwa seorang mayit akan disiksa karena ditangisi oleh keluarganya, juga penolakan ‘Umar atas riwayat dari Hafshah1.
Sayyid Qutub, salah seorang tokoh gerakan Ikhwanul Muslimin, dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menyatakan, bahwa, hadits ahad tidak bisa dijadikan sandaran (hujjah) dalam menerima masalah ‘aqidah. Al-Quranlah rujukan yang benar, dan kemutawatirannya adalah syarat dalam menerima pokok-pokok ‘aqidah.
Imam Syaukani menyatakan, “Khabar ahad adalah berita yang dari dirinya sendiri tidak menghasilkan keyakinan. Ia tidak menghasilkan keyakinan baik secara asal, maupun dengan adanya qarinah dari luar…Ini adalah pendapat
jumhur ‘ulama. Imam Ahmad menyatakan bahwa, khabar ahad dengan dirinyasendiri menghasilkan keyakinan. Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Hazm dari Dawud al-Dzahiriy, Husain bin ‘Ali al-Karaabisiy dan al-Harits al-Muhasbiy.’
Prof Mahmud Syaltut menyatakan, ‘Adapun jika sebuah berita diriwayatkan oleh seorang, maupun sejumlah orang pada sebagian thabaqat –namun tidak memenuhi syarat mutawatir [pentj]—maka khabar itu tidak menjadi khabar mutawatir secara pasti jika dinisbahkan kepada Rasulullah saw. Ia hanya menjadi khabar ahad. Sebab, hubungan mata rantai sanad yang sambung hingga Rasulullah saw masih mengandung syubhat (kesamaran). Khabar semacam ini tidak menghasilkan keyakinan (ilmu).” Beliau melanjutkan lagi, Sebagian ahli ilmu, diantaranya adalah imam empat (madzhab) , Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’iy dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan.”
Imam Bazdawiy menyatakan, “Adapun yang mendakwakan ilmu yaqin – maksudnya adalah hadits hadits--, maka itu adalah dakwaan bathil tanpa ada keraguan lagi. Sebab, setiap orang pasti menolaknya. Semua ini disebabkan karena, khabar ahad masih mengandung syubhat. Tidak ada keyakinan bila masih mengandung syubhat (kesamaran). Siapa saja yang menolak hal ini, sungguh ia telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya.”
Al-Ghazali berkata, ‘Khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan. Masalah ini –khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan—merupakan perkara yang sudah dimaklumi. Apa yang dinyatakan sebagian ahli hadits bahwa ia menghasilkan ilmu, barangkali yang mereka maksud dengan menghasilkan ilmu adalah kewajiban untuk mengamalkan hadits ahad. Sebab, dzan kadangkadang disebut dengan ilmu.”
Imam Asnawiy menyatakan, “Sedangkan sunnah, maka hadits ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali dzan”
Imam Bazdawiy menambahkan lagi, ‘Khabar ahad selama tidak menghasilkan ilmu tidak boleh digunakan hujah dalam masalah i’tiqad (keyakinan). Sebab, keyakinan harus didasarkan kepada keyakinan. Khabar ahad hanya menjadi hujjah dalam masalah amal.
Imam Asnawiy menyatakan, “Riwayat ahad hanya menghasilkan dzan.Namun, Allah swt membolehkan dalam masalah-masalah amal didasarkan pada dzan….”
Al-Kasaaiy menyatakan, “Jumhur fuqaha’ sepakat, bahwa hadits ahad yang tsiqah bisa digunakan dalil dalam masalah ‘amal (hukum syara’), namun tidak dalam masalah keyakinan…”
Walhasil, pendapat HT dalam masalah hadits ahad adalah pendapat terkuat yang dipilih oleh para ‘ulama-‘ulama terkenal, bahkan imam empat madzhab. Lantas, mengapa pendapat ini dikesankan sebagai pendapat yang sesat dan ngawur? Mengapa serangan mereka hanya ditujukan kepada HT saja, tidak ditujukan juga kepada jumhur ‘ulama?
Tentang Siksa Kubur
Untuk menyikapi masalah siksa kubur dengan penyikapan yang benar, maka kita harus mengembalikan masalah ini kepada prinsip-prinsip dasarnya (kaedah ushulnya). Ushul al-hadits menyatakan dengan jelas bahwa hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah untuk membangun keimanan atau ‘aqidah seorang muslim. Jika dalam penelitian hadits ternyata terbukti bahwa riwayatriwayat yang berbicara tentang siksa kubur adalah ahad, maka ia tidak bisa digunakan hujjah dalam masalah keimanan. Dengan kata lain, ia tidak boleh diyakini, akan tetapi cukup dibenarkan saja. Jika penelitian hadits membuktikan bahwa riwayat-riwayat yang berbicara tentang siksa kubur adalah mutawatir, maka ia mutlak untuk diimani dan diyakini. Menurut tahqiq kami, riwayat-riwayat mutawatir (al-Quran) yang berbicara tentang siksa kubur dilalahnya tidak qath’iy. Sedangkan hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur semuanya adalah ahad. Padahal, syarat suatu dalil bisa digunakan hujjah dalam perkara aqidah adalah dilalahnya pasti dan sumbernya pasti (hadits mutawatir dan al-Quran).
Perhatikan perkataan Prof. Mahmud Syaltut, mantan rektor al-Azhar,” Perkara-perkara yang sumbernya tidak qath’iy, atau sumbernya qath’iy akan tetapi maknanya (dalalahnya) samar dan masih diperdebatkan oleh para ‘ulama, maka perkara-perkara tersebut tidak termasuk bagian dari perkara ‘aqidah yang membawa implikasi kekufuran atau keimanan.”
Perkara-perkara semacam ini jumlahnya sangat banyak, dan terus diperselisihkan di kalangan ‘ulama. Misalnya, masalah “melihat Allah swt dengan mata”, “Sifat-sifat tambahan yang dilekatkan pada Dzat Allah, pelaku dosa besar, kehadiran Imam Mahdiy, Dajjal, turunnya Nabi Isa as, siksa kubur, letak surga yang dihuni Nabi Adam as, dan lain sebagainya.
Penelitian atas hadits membuka peluang sangat lebar bagi adanya perbedaan. Sebab, kriteria untuk menilai suatu hadits, apakah hadits tersebut mutawatir ada perbedaaan pendapat juga. Ada yang menyatakan bahwa suatu hadits disebut hadits mutawatir jika perawinya (thabaqat shahabat) minimal 5 orang, 10 orang, 100 orang dan sebagainya. Akibatnya, ada hadits yang menurut sebagian ‘ulama mutawatir, sedangkan menurut yang lain ahad. Dalam kondisi semacam ini tentu kita tidak boleh menyesatkan apalagi memberi stigma buruk bagi orang yang menyatakan bahwa hadits ini tidak mutawatir, sedangkan menurut anda mutawatir. Sebab, bisa jadi kriteria untuk menetapkan kemutawatiran suatu hadits berbeda dan berseberangan.( koreksi ilmiah atas buku WAMY)

Hizbut Tahrir Mengabaikan Akidah dan Akhlak
Konsep akhlak dalam pandangan Hizbut Tahrir.
Akhlak adalah bagian dari rincian hukum-hukum. Bahlan porsinya paling sedikit dibandingkan rincian lainnya. Dalam fiqih tidak dibuat satu bab pun yang khusus membahas akhlak. Karena itu, dalam buku-buku fiqih yang mencakup hukum-hukum syara’ tidak ditemukan satu bab khusus dengan sebutan bab akhlak. Para fuqaha dan mujtahidin tidak menitikberatkan pembahasan dan pengambilan hukum dalam perkara akhlak.
                Akhlak tidak mempengaruhi secara langsung tegaknya suatu masyarakat. Masyarakat tegak dengan peraturan- peraturan hidup, dan dipengaruhi oleh perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran. Akhlak tidak mempengaruh tegaknya suatu masyarakat, baik kebangkitan maupun kejatuhannya. Yang mempengaruhinya adalah opini (kesepakatan) umum yang lahir dari persepsi tentang hidup. Disamping itu yang menggerakkan masyarakat bukanlah akhlak, melainkan peraturan-peraturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat itu, pemikiran-pemikiran, dan perasaan yang melekat pada masyarakat tersebut. Akhlak sendiri adalah produk berbagai pemikiran, perasaan, dan hasil penerapan peraturan.
Atas dasar inilah, maka tidak doperbolehkan dakwah hanya diarahkan pada pembentukan akhlak dalam masyarakat. Sebab akhlak merupakan hasil dari pelaksanaan perintah- perintah Allah SWT, yang dapat dibentuk dengan cara mengajak masyarakat kepada akidah dan melaksanakan Islam secara sempurna. Disamping itu, mengajak masyarakat pada akhlak semata, dapat memutar balikkan persepsi Islam tentang kehidupan dan dapat menjauhkan manusia dari pemahaman yang benar tentang hakekat dan bentuk masyarakat. Bahkan dapat membius manusia dengan hanya mengerjakan keutamaan amal-amal yang bersifat individual. Hal ini mengakibatkan kellalaian terhadap langkah-langkah yang benar menuju kemajuan hidup.
Dengan demikian sangat berbahaya mengarahkan dakwah Islamiyah hanya pada pembentukan akhlak saja. Hal itu memunculkan anggapan bahwa dakwah Islam adalah
dakwah untuk akhlak saja. Cara seperti ini dapat mengaburkan gambaran utuh tentang Islam dan menghalangi pemahaman manusia terhadap Islam. Lebih dari itu dapat menjauhkan masyarakat dari satu-satunya metode dakwah yang dapat menghasilkan penerapan Islam, yaitu tegaknya Daulah Islamiyah……..
Akhlak adalah bagian dari syariat Islam. Bagian dari perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Akhlak harus ada serta nampak pada diri setiap muslim, agar sempurna
seluruh amal perbuatannya dengan Islam, dan sempurna pula dalam melaksanakan perintah-perintah Allah. Namun untuk merealisasikannya di tengah-tengah masyarakat secara utuh, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mewujudkan perasaan- perasaan Islami dan pemikiran-pemikiran Islam. Setelah ini terwujud di tengah-tengah masyarakat, maka pasti akan terbentuk pula dalam diri individu-individu. Untuk merealisirnya tidak dilakukan dengan jalan dakwah kepada akhlak, melainkan dengan metoda mewujudkan perasaan dan pemikiran Islam di tengah-tengah masyarakat.(Nizhamul Islam)
                Yang menjadi fokus Hizbut Tahrir bukan membentuk sekedar kader berakhlak Islami semata karena ini terlalu rendah namun kader bersyakhsiyah Islam. Kitab Muqawimat an Nafsiyah al Islamiyah WAJIB DIKAJI TUNTAS OLEH DARIS/PELAJAR sebelum menjadi ANGGOTA HIZBUT TAHRIR.
Maksud syakhiyah/kepribadian Islam.
Kepribadian setiap manusia terdiri dari aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap). Kepribadian tidak ada kaitannya dengan bentuk tubuh, asesori dan sejenisnya. Semua itu hanya (penampakan) kulit luar belaka. Merupakan kedangkalan berpikir bagi orang yang mengira bahwa asesoris merupakan salah satu faktor penunjang kepribadian atau mempengaruhi kepribadian. Manusia memiliki keistimewaan disebabkan akalnya, dan perilaku seseorang adalah yang menunjukkan tinggi rendahnya akal seseorang. Perilaku seseorang di dalam kehidupan tergantung pada mafahim (persepsi)nya. Jadi, dengan sendirinya tingkah lakunya terkait erat dengan mafahimnya dan tidak bisa dipisahkan. Suluk (tingkah laku) adalah aktifitas yang dilakukan dalam rangka memenuhi gharizah (naluri) atau kebutuhan jasmaninya. Suluk berjalan secara pasti sesuai dengan muyul (kecenderungan) yang ada pada diri manusia untuk mencapai kebutuhan tersebut. Dengan demikian mafahim dan muyulnya merupakan tonggak atau dasar dari kepribadian.(Syakhsiyah Islamiyyah jilid I)

Hizbut Tahrir mengabaikan akidah dalam menegakan syariah.
Sungguh suatu kedangkalan berpikir apabila kita ingin mengganti sistem peraturan kita dengan peraturan lain. Adalah pemikiran bodoh apabila umat ini hanya menerapkan peraturan saja tanpa memperhatikan akidah, yang dapat menyelamatkannya. Yang harus dilakukan umat adalah memeluk akidah dahulu, baru kemudian menerapkan peraturan
yang terpancar dari akidah ini. Pada saat itulah umat dapat diselamatkan setelah menerima akidah dan menerapkan peraturan (Islam). Inilah jalan yang harus ditempuh oleh umat yang terikat dengan mabda tertentu. Yang menjadikan mabda tersebut sebagai landasan bagi negaranya. Adapun umat dan bangsa-bangsa lain tidak perlu menganut satu mabda hingga sebuah mabda diterapkan atas mereka. Yang diharuskan adalah umat yang telah menganut akidah dan mengembannya, kemudian menerapkannya kepada bangsa atau umat mana saja, sekalipun mereka tidak menganut mabda tersebut. Karena, hal ini akan membawa kebangkitan juga bagi bangsa tersebut, malah akan menarik perhatian untuk memeluk mabda itu.

Memeluk mabda bukanlah syarat bagi umat yang akan dikenai/diterapkan kepadanya mabda. Mabda wajib dianut dan menjadi syarat mutlak bagi pihak yang akan menerapkannya.(Nizhamul Islam – Taqiyudin an Nabhani)

Hizbut Tahrir Mengunggulkan Akal dari Dalil
AL HAKIM - Pembahasan yang paling penting yang berkaitan dengan hukum, yang pertama, yang paling mendesak untuk dijelaskan adalah pengetahuan tentang siapa yang menjadi rujukan sumber hukum, maksudnya siapa al-hakim itu, karena pengetahuan atas hukum dan kategorisasinya tergantung pada pengetahuan tentang al-hakim tersebut. Dan yang dimaksud dengan al-hakim disini bukanlah pemegang kekuasaan yang menerapkan semua hal yang dia memiliki kekuasaan atas hal tersebut, tapi yang dimaksud dengan al-hakim disini adalah yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan sesuatu. Sebab apa saja yang ada  yang bersifat indrawi tidak akan kaluar dari kategori sebagai perbuatan manusia atau sesuatu yang tidak termasuk perbuatan manusia. Ketika  manusia dengan sifatnya sebagai manusia yang hidup di dalam alam semesta ini menjadi obyek bahasan, maka pengeluaran hukum adalah karena manusia dan berkaitan dengannya. Karenanya adalah merupakan keharusan adanya hukum atas perbuatan manusia dan sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan manusia tersebut. (Pertanyaannya) adalah siapa satu-satunya yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan hukum atas hal diata, apakah Allah atau manusia itu sendiri? Atau dengan ungkapan lain apakah syara' atau akal? Karena yang menjadikan kita tahu bahwa ini hukum Allah adalah syara', sedangkan yang menjadikan manusia dapat menghukumi adalah akal. Maka (pertanyaannya) adalah siapa yang yang menghukumi, syara' ataukah akal? ………………
Oleh karena itu maka hukum dalam hal ini adalah wewenang syara' saja, bukan akal. Maka al-hakim yang sebenarnya atas perbuatan-perbuatan dan atas segala sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan, serta perkara-perkara dan akad-akad adalah syara' saja dan hukum yang ditetapkan oleh akal  sama sekali tidak berlaku.(asy Syakhisyah al Islamiyah jilid III, Taqiyudin an Nabhani)

Hizbut Tahrir Mutazilah dan Khawarij.
Mutazilah dan Bantahannya(catatan : Pahami bab Thariqul Iman kitab Nizhamul Islam dahulu)
Masalah qadla dan qadar telah memainkan peranan penting dalam mazhab-mazhab Islam (firqah theologi terdahulu, pent.). Ahli Sunnah memiliki pendapat, yang pada intinya mengatakan bahwa manusia itu memiliki apa yang disebut dengan kasb ikhtiari di dalam perbuatan-perbuatannya (tatkala manusia hendak berbuat sesuatu, Allah menentukan/menciptakan amal perbuatan tersebut, pent.). Jadi, manusia dihisab berdasarkan kasb ikhtiari ini. Sedangkan Mu’tazilah memiliki pendapat yang ringkasnya adalah bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya. Sebab, ia sendirilah yang menciptakannya. Adapun Jabariyah memiliki pendapat tersendiri, yang ringkasnya bahwa Allah menciptakan hamba beserta perbuatannya. Ia “dipaksa” melakukan perbuatannya dan tidak bebas memilih. Ibaratnya seper ti bulu yang diterbangkan angin kemana saja.
Apabila kita meneliti masalah qadla dan qadar, akan kita dapati bahwa ketelitian pembahasannya menuntut kita untuk mengetahui terlebih dahulu dasar pembahasan masalah ini. Ternyata, inti masalahnya bukan menyangkut perbuatan manusia, dilihat dari apakah diciptaan Allah atau oleh dirinya sendiri. Juga tidak menyangkut Ilmu Allah, dilihat dari kenyataan bahwa Allah SWT mengetahui apa yang akan dilakukan oleh hamba-Nya, dan Ilmu Allah itu meliputi segala perbuatan hamba. Tidak terkait pula dengan Iradah Allah –sementara Iradah Allah dianggap berhubungan dengan perbuatan hamba-sehingga suatu perbuatan harus terjadi karena adanya Iradah tadi. Tidak juga berhubungan dengan status perbuatan hamba yang sudah tertulis dalam Lauhul Mahfudz -yang tidak boleh tidak ia harus melakukannya sesuai dengan apa yang tertulis di dalamnya-. Memang benar, perkara-perkara tadi bukan menjadi dasar pembahasan qadla dan qadar. Sebab, tidak ada hubungannya dilihat dari segi pahala dan siksa. Hubungan yang ada hanya dengan ‘penciptaan’,-yaitu bahwa- Ilmu (Allah) yang meliputi segala sesuatu, Iradah-Nya yang berkaitan dengan segala kemungkinan-kemungkinan, dan hubungannya dengan Lauhul Mahfudz yang mencakup segala sesuatu. Seluruh perkara yang dihubung-hubungkan ini merupakan pembahasan lain, yang terpisah dari topik pahala dan siksa atas perbuatan
manusia. Dengan kata lain, tidak berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan:

‘Apakah manusia dipaksa melakukan perbuatan baik dan buruk, ataukah diberi kebebasan memilih?’
Begitu pula dengan:
‘Apakah manusia diberi pilihan melakukan suatu pekerjaan atau meninggalkannya, atau sama sekali tidak diberi hak untuk memilih (ikhtiyar)?’
Apabila kita mengamati seluruh perbuatan manusia, akan kita jumpai bahwa manusia itu hidup di dalam dua area. Area pertama adalah ‘’area yang dikuasainya’’. Area ini berada di bawah kekuasaan manusia dan semua perbuatan/kejadian yang muncul berada dalam lingkup pilihannya sendiri. Sedangkan area kedua adalah ‘’area yang menguasainya’’, yaitu area yang menguasai manusia. Pada area ini terjadi perbuatan/kejadian yang tidak ada campur tangan manusia sedikitpun, baik perbuatan/kejadian itu berasal dari dirinya atau yang menimpanya.
Perbuatan manusia yang terjadi pada area yang kedua ini, tidak ada andil dan urusan sedikitpun dengan manusia atas kejadiannya. Kejadian-kejadian di dalam area ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama, kejadian yang ditentukan oleh nizhamul wujud (Sunnatullah). Kedua, kejadian yang tidak ditentukan oleh nizhamul wujud, namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, yang tidak akan mampu dihindari dan tidak terikat dengan nizhamul wujud. Mengenai kejadian yang ditentukan oleh nizhamul wujud, maka hal ini telah memaksa manusia untuk tunduk kepadanya. Manusia harus berjalan sesuai dengan ketentuannya. Sebab, manusia berjalan bersama alam semesta dan kehidupan, sesuai dengan mekanisme tertentu yang tidak kuasa dilanggarnya. Bahkan semua kejadian yang ada pada bagian ini muncul tanpa kehendaknya. Di sini manusia terpaksa diatur dan tidak bebas memilih. Misalnya, manusia datang dan meninggalkan dunia ini tanpa kemauannya. Ia tidak dapat terbang di udara, tidak bisa berjalan di atas air hanya dengan tubuhnya. Ia tidak dapat menciptakan warna biji matanya, bentuk kepala dan tubuhnya. Akan tetapi semua itu diciptakan Allah SWT, tanpa ada pengaruh atau hubungan sedikitpun dari hamba (makhluk)-Nya. Hanya Allah-lah yang menciptakan nizhamul wujud yang berfungsi sebagai pengatur alam ini. Alam diperintah untuk berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan-Nya tanpa kuasa untuk melanggarnya.
Akan halnya kejadian yang tidak ditentukan oleh nizhamul wujud namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, adalah kejadian atau perbuatan yang berasal dari manusia atau yang menimpanya, yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolak. Misalnya, seseorang terjatuh dari atas tembok lalu menimpa orang lain hingga mati. Atau, orang yang menembak burung tetapi secara tidak sengaja mengenai seseorang hingga mati. Atau, kecelakaan pesawat, kereta api, atau mobil, karena kerusakan mendadak yang tidak bisa dihindari, sehingga menyebabkan tewasnya para penumpang, dan sebagainya. Semua kejadian yang berasal dari manusia atau yang menimpanya ini, walaupun di luar kemampuannya dan tidak terikat dengan nizhamul wujud, tetapi tetap terjadi tanpa kehendak manusia dan berada di luar kekuasaannya. Karena itu, dapat digolongkan ke dalam area kedua, yakni daerah yang menguasai manusia. Segala kejadian yang terjadi pada area yang menguasai manusia inilah yang dinamakan qadla (keputusan Allah). Sebab Allah-lah yang memutuskannya. Karena itu, seorang hamba tidak dimintai pertanggungjawaban atas kejadian ini, betapapun besar manfa’at atau kerugiannya; disukai atau dibenci oleh manusia; meski kejadian tersebut mengandung kebaikan dan keburukan menurut tafsiran manusia —sekalipun hanya Allah yang mengetahui hakekat baik dan buruknya kejadian itu. Ini karena manusia tidak ikut andil dalam kejadian tersebut, serta
tidak tahu-menahu tentang hakekat dan asal-muasal kejadiannya. Bahkan ia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolak atau mendatangkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk beriman akan adanya qadla, dan bahwasanya qadla itu hanya berasal dari Allah SWT.
Sedangkan qadar, uraiannya adalah sebagai berikut. Bahwa semua perbuatan, baik yang berada di area yang menguasai manusia ataupun di daerah yang dikuasai manusia, semuanya terjadi dari benda menimpa benda, baik benda itu berupa unsur alam semesta, manusia, maupun kehidupan. Allah SWT telah menciptakan khasiat (sifat dan ciri khas) tertentu pada benda-benda. Misalnya, api diciptakan dengan khasiat membakar. Sedangkan pada kayu terdapat khasiat terbakar. Pada pisau terdapat khasiat memotong, demikian seterusnya. Allah SWT telah menjadikan khasiat-khasiat bersifat baku sesuai dengan nizhamul wujud yang tidak bisa dilanggar lagi. Apabila suatu waktu khasiat ini melanggar nizhamul wujud, maka itu karena Allah SWT telah menarik khasiatnya. Tetapi hal ini adalah sesuatu yang berada di luar kebiasaan dan hanya terjadi bagi para Nabi yang menjadi mukjizat bagi mereka. Seperti halnya pada benda-benda yang telah diciptakan khasiat-khasiatnya, maka pada diri manusia telah diciptakan pula berbagai gharizah (naluri) serta kebutuhan jasmani. Pada naluri dan kebutuhan jasmani ini juga telah ditetapkan khasiat-khasiat seperti halnya pada benda-benda. Misalnya, pada gharizah mempertahankan dan melestarikan keturunan (gharizatun nau’) telah diciptakan khasiat dorongan seksual. Dalam kebutuhan jasmani diciptakan pula khasiat-khasiat seperti lapar, haus, dan sebagainya.
                Semua khasiat ini dijadikan Allah SWT bersifat baku sesuai dengan sunnatul wujud (peraturan alam yang ditetapkan Allah). Seluruh khasiat yang diciptakan Allah SWT, baik yang terdapat pada benda maupun naluri serta kebutuhan jasmani manusia, dinamakan qadar (ketetapan). Sebab, Allah-lah yang menciptakan benda, naluri, serta kebutuhan jasmani; kemudian menetapkan khasiat-khasiat tertentu di dalamnya. Khasiat- khasiat ini tidak datang dengan sendirinya dari unsur-unsur tersebut. Dan manusia sama sekali tidak memiliki andil atau pengaruh apapun. Karena itu, manusia wajib mengimani bahwa yang menetapkan khasiat-khasiat di dalam unsur-unsur tersebut hanyalah Allah SWT. Khasiat-khasiat ini memiliki qabiliyah (potensi) yang dapat digunakan manusia dalam bentuk amal kebaikan apabila sesuai dengan perintah Allah. Bisa juga digunakan untuk berbuat kejahatan apabila melanggar perintah Allah dan larangan-Nya. Baik itu dilakukannya dengan menggunakan khasiat-khasiat yang ada pada benda, atau dengan memenuhi dorongan naluri dan kebutuhan jasmaninya. Perbuatannya itu menjadi baik apabila sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya, dan sebaliknya menjadi jahat apabila melanggar perintah dan larangan-Nya.
Dengan demikian, semua peristiwa yang terjadi pada area yang menguasai manusia itu datangnya dari Allah, apakah itu baik ataupun buruk. Begitu pula khasiat pada benda-benda, naluri serta kebutuhan jasmani datangnya dari Allah, baik hal itu akan menghasilkan kebaikan ataupun keburukan. Karena itu, wajib bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadla, baik dan buruknya dari Allah SWT. Dengan kata lain, ia wajib meyakini bahwa semua kejadian yang berada di luar kekuasaannya datangnya dari Allah SWT. Wajib pula bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadar, baik dan buruknya dari Allah SWT, baik khasiat-khasiat tersebut akan menghasilkan kebaikan ataupun keburukan. Manusia sebagai makhluk tidak mempunyai pengaruh apapun dalam hal ini. Ia tidak punya andil dalam masalah ajal, rizki, dan dirinya. Semua itu dari Allah SWT. Jadi, kecenderungan seksualnya yang terdapat pada gharizatun nau’, kecenderungan memiliki sesuatu yang terdapat pada naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa’), rasa lapar dan haus yang ada pada kebutuhan jasmaninya, semua itu datangnya dari Allah SWT.
Penjelasan di atas tadi adalah pembahasan yang berkaitan dengan kejadian-kejadian pada area yang menguasai manusia, dan pada khasiat-khasiat seluruh benda yang ada. Adapun area yang dikuasai oleh manusia, adalah area dimana manusia berjalan secara sukarela di atas nizham (peraturan) yang dipilihnya, apakah itu syariat Allah atau syariat lainnya. Dalam area ini, terjadi peristiwa dan perbuatan yang berasal dari manusia atau menimpanya karena kehendaknya sendiri. Misalnya ia berjalan, makan, minum, dan bepergian, kapan saja sesuka hatinya dan kapan saja boleh ditinggalkannya. Ia membakar dengan api dan memotong dengan pisau, sesuai dengan kehendaknya. Begitu pula ia memuaskan keinginan seksualnya, keinginan memiliki barang, atau keinginan memenuhi perutnya sesuai dengan kemauannya. Ia bisa melakukannya atau tidak melakukannya dengan sukarela. Karena itu, seluruh perbuatan manusia yang dilakukan didalam area ini akan ditanya dan diminta pertanggungjawaban. Meskipun khasiat-khasiat yang ada pada benda mati, naluri, serta kebutuhan jasmani yang telah ditakdirkan oleh Allah dan dijadikannya bersifat baku, mempunyai efek/pengaruh yang menghasilkan suatu perbuatan, akan tetapi bukan khasiat-khasiat ini yang melakukan perbuatan, melainkan manusialah yang melakukannya pada saat ia menggunakan khasiat-khasiat tersebut.(Nizhamul Islam Taqiyudin an-Nabhani)




[1] Lihat: Hizb at-Tahrir, hlm. 25; Manhaj Hizb at-Tahrir fi at-Taghyir, hlm. 48; at-Takattul al-Hizbi, hlm. 54; Mafahim Hizb at-Tahrir, hlm. 75; Ta’mim, Rajab 1382 H./Desember 1962 M.; dan Wujub al-‘Amal li Iqamah ad-Daulah al-Islamiyah, hlm. 20, 22.
[2] Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Hadits ini dikeluarkan oleh Hakim, Abu Nu’aim dan Baihaki dalam ad-Dala’il dengan sanad hasan dari Ibnu Abbas telah bercerita kepada Ali bin Abi Thalib. Lihat: Faht al-Bari, vol. ke-7, hlm. 220.
[3] Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah, vol. ke-3, hlm. 140.
[4] Lihat: Sirah Ibnu Hisyam, vol. ke-2, hlm. 272; dan al-Bidayah wa an-Nihayah, vol. ke-3, hlm. 139, 140.
[5] Lihat: Manhaj Hizb at-Tahrir fi at-Taghyir, hlm. 49, 51; Ta’mim, Rajab 1382 H./Desember 1962 M.; Nasrah tidak berjudul, 11 Dzul Hijjah 1391 H./27 Januari 1972 M.; Jawab Sual, 5 Rabi’uts Tsani 1389 H./20 Juni 1969 M.; dan Wujub al-Amal li Iqamah ad-Daulah al-Islamiyah, hlm. 23. 
[6] Lihat: Hizb at-Tahrir, hlm. 26; Manhaj Hizb at-Tahrir fi at-Taghyir, hlm. 51; dan Ta’mim, Rajab 1382 H./Desember 1962 M..
[7] Lihat: Ta’mim, Rajab 1382 H./Desember 1962 M..
[8] Lihat: Hizb at-Tahrir, hlm. 26; dan Manhaj Hizb at-Tahrir fi at-Taghyir, hlm. 51. 
[9] Lihat: Nasyrah tanpa judul, 11 Dzul Hijjah 1391 H./ 27 Januari 1972 M..
[10] Lihat: Jawab Sual, 5 Rabi’uts Tsani 1389 H./20 April 1965 M..
[11] Lihat: Wawancara dengan Azzam Abdullah; Jawab Sual, 2 Dzul Hijjah 1388 H./19 Pebruari 1969 M.; Nasyrah tanpa judul, 11Dzul Hijjah 1391 H./27 Januari 1972 M.; Ta’mim, Rajab 1382 H./Desember 1962 M.; dan lihat: Sirah Ibnu Hisyam, vol. ke-2, hlm. 265-277; dan al-Bidayah wa an-Nihayah, vol. ke-3, hlm. 135-150.    
[12] Lihat: Wujubul ‘Amal li Iqamah ad-Daulah al-Islamiyah, hlm. 22.
[13] HR. al-Imam Ahmad. Syu’aib al-Arnauth berkata: Hadits ini shahih. Lihat: Musnad Ahmad bin Hanbal, vol. ke-3, hlm. 339; Sirah Ibnu Hisyam, vol. ke-2, hlm. 791; dan al-Bidayah wa an-Nihayah, vol. ke-3, hlm. 159. 
[14] HR. al-Imam Ahmad. Lihat: Musnad Ahmad bin Hanbal, vol. ke-3, hlm. 460.
[15] Lihat: Sirah Ibnu Hisyam, vol. ke-2, hlm. 297; dan al-Bidayah wa an-Nihayah, vol. ke-3, hlm. 164.
[16] Lihat: Jawab Sual, 25 Shafar 1390 H./1 Mei 1970 M.
[17] Lihat: ad-Da’wah al-Islamiyah, hlm. 100; Hizb at-Tahrir (Munaqasyah ‘Ilmiyah li Ahammi Mabadi’ al-Hizb), hlm. 32; al-Jama’at al-Islamiyat, hlm. 320; ath-Thariq ila Jama’ah al-Muslimin (Tesis Majister), hlm. 313; al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-Adyan wa al-Madzahib al-Mu’ashirah, hlm. 139; dan Atsar al-Jama’at al-Islamiyah, 252-253. 
[18] Lihat: Ta’mim (surat edaran), Rajab 1382 H./Desember 1962 M..
[19] Lihat: Tesis ini halaman …. 
[20] Dan demi menjaga amanahnya, maka sesungguhnya penulis, Auni Judu’ tidak pernah terjerumus kedalam kesalahan-kesalahan ini dengan melakukan paralogisme (pemutar balikan perkataan) seperti oknum penulis yang lainnya. Dia berkata: “Periode nushrah dan penyerahan kendali kekuasaan adalah periode yang harus ditempuh oleh Hizbut Tahrir, yaitu setelah dakwahnya tersebar di tengah-tengah masyarakat, dan setelah membina masyarakat dengan tsaqafah islamiyah (wawasan keislaman), maka Hizbut Tahrir meminta nushrah dari orang-orang yang mencerminkan pusat-pusat kekuatan dalam masyarakat, dan dari ahlul halli wal aqdi di antara kaum muslimin hingga berdiri Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi”. Lihat: Hizb at-Tahrir al-Islami, hlm. 117.     
[21] QS. An-Nisa’ [4] : 141.
[22] QS. Hud [11] : 113.
[23] Lihat: at-Taghyir Hatmiyah ad-Daulah al-Islamiyah, Muhammad Abdul Karim, cet. pertama, 1421 H./2000 M., hlm. 61-63.
[24] Lihat: Sirah Ibnu Hisyam, vol. ke-2, hlm. 297; dan al-Bidayah wa an-Nihayah, vol. ke-3, hlm. 164.
[25] QS. An-Nisa’ [4] : 77.
[26] QS. Al-Baqarah [2] : 249.
[27] Lihat: at-Taghyir Hatmiyah ad-Daulah al-Islamiyah, hlm. 63-65.
[28] Lihat: at-Taghyir Hatmiyah ad-Daulah al-Islamiyah, hlm. 65-67.

Related

pemikiran 9074397039188434405

Posting Komentar

emo-but-icon
:noprob:
:smile:
:shy:
:trope:
:sneered:
:happy:
:escort:
:rapt:
:love:
:heart:
:angry:
:hate:
:sad:
:sigh:
:disappointed:
:cry:
:fear:
:surprise:
:unbelieve:
:shit:
:like:
:dislike:
:clap:
:cuff:
:fist:
:ok:
:file:
:link:
:place:
:contact:

Follow Us

TranslateStatistik

Translate

Statistik

5475

Iklan

Silahkan hubungi kami untuk memasang iklan

Tentang

Nama : Muhammad Isnan, seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor, jurusan Agronomi dan Holtikultura Fakultas Pertanian.

Aktif di lembaga dakwah kampus, LDK BKIM IPB. Menyusuri setiap jejak langkah pejuang untuk mengembalikan kehidupan Islam dengan menerapkan syariah secara kaffah dalam naungan Khilafah.
item