Renungan Idul Adha : Korbankan “Ismail”-mu

http://anatomidakwah.blogspot.com/2012/10/renungan-idul-adha-korbankan-ismail-mu.html
Renungan Idul Adha Korbankan “Ismail”-mu
(Ketaatan dan Pengorbanan untuk Tegaknya Syariah dan Khilafah)
[Al-Islam 628] Hari ini kaum muslimin di seluruh dunia menggemakan
pujian atas kebesaran Allah Swt. Langit pun bergemuruh dengan suara
takbir, tahlil dan tahmid. Sementara itu lebih dari 2 juta saudara kita
kaum muslimin lainnya saat ini berada di tanah suci tengah menunaikan
ibadah haji.
Secara fitri, manusia dikaruniai Allah Swt
gharizah an-nau’. Diantara perwujudannya berupa kecintaan pada ibu,
bapak, anak dan istri. Dengan naluri itu, secara fitri manusia akan
terdorong untuk mencari pasangan dan melahirkan keturunan. Begitu pula
Nabiyullah Ibrahim as. Beliau juga menginginkan kehadiran seorang anak.
Meski usianya kian senja, Nabi Ibrahim as terus berdoa memohon diberikan
anak yang shalih. ‘Ya Rabb, anugrahkanlah kepadaku [seorang anak] yang
termasuk orang shaleh’. Maka Kami beri kabar dia kabar gembira dengan
seorang anak yang amat sabar. (TQS ash-Shaffat [37]: 100-101)
Bagi Ibrahim as, Ismail adalah buah hati, harapan dan kecintaannya, yang
telah sangat lama didambakan. Ismail mendatangkan kebahagiaan dalam
hidup Ibrahim. Ismail pun merasakan penuhnya kasih sayang dan cinta
ayahnya. Akan tetapi, di tengah rasa bahagia itu, turunlah perintah
Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih putera kesayangannya itu.
“Maka tatkala anak itu telah sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: hai anakku, sesungguhnya Aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa
pendapatmu” (TQS ash-Shaffat [37]: 102)
Ibrahim menghadapi dua
pilihan: mengikuti perasaan hatinya dengan ”menyelamatkan” Ismail atau
menaati perintah Allah dengan ”mengorbankan” putra kesayangannya.
Mengedepankan kecintaan yang tinggi (al-mahabbatul ulya), yakni
kecintaan kepada Allah atau lebih mengutamakan kecintaan yang rendah
(al-mahabbatul adna), yakni kecintaan kepada anak, harta, dan dunia.
Tetap menyadari anak yang dicintainya itu sebagai karunia Allah atau
malah menjadikannya sebagai andâdan, pesaing–pesaing Allah yang dicintai
sama atau bahkan melebihi kecintaan kepada Allah.
Sekarang,
bayangkan ada sesuatu yang kita cintai, yang deminya kita rela
mengorbankan apa saja. Itulah “Ismail”-mu. “Ismail”-mu adalah setiap
sesuatu yang dapat melemahkan imanmu dan dapat menghalangi dirimu menuju
taat kepada Allah. Setiap sesuatu yang dapat membuat dirimu tidak
mendengarkan perintah Allah dan menyatakan kebenaran. “Ismail”-mu adalah
setiap sesuatu menghalangimu untuk melaksanakan kewajiban-kewajibanmu.
Setiap sesuatu yang menyebabkan engkau mengajukan alasan-alasan untuk
menghindar dari perintah Allah SWT.
Di dalam hidup ini kita
harus mengidentifikasi dan menemukan apa atau siapakah “Ismail” kita
itu. Mungkin sekali “Ismail”-mu adalah seorang manusia; bisa anak,
istri, suami, orang tua atau siapa saja. Bisa pula harta benda, pangkat,
jabatan atau kedudukan. Bisa juga “Ismail”-mu berupa ideologi dan
pandangan hidup sekuler, seperti kapitalisme dan sosialisme atau
komunisme, dan ideologi lain yang tidak bersumber dari nilai-nilai
tauhid.
“Ismail”-nya Ibrahim as adalah Ismail as, anaknya
sendiri, buah hatinya. Dan saat Ibrahim dihadapkan pilihan sulit itu,
setan dengan cepat memanfaatkan kesempatan. Dalam rupa seorang lelaki
tua –seperti riwayat Ibn Katsir dalam Tafsirnya dari Abu Hurairah ra-
setan berusaha menggoda Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail agar
mengabaikan perintah Allah itu. Ibrahim yang tahu bahwa lelaki tua itu
adalah setan, segera mengusirnya.
Ketegasan Ibrahim mengusir
setan yang terus menggoda itulah spirit yang semestinya diresapi oleh
para jamaah haji saat melempar jumrah di Mina yang melambangkan
kebencian dan perlawanan terhadap pengaruh setan. Di Mina jutaan jamaah
haji telah menegaskan pendirian: menolak dominasi setan.
Sayangnya perlawanan terhadap setan itu seolah hanya terjadi di Mina
saja. Buktinya adalah fakta di Indonesia, negara yang paling banyak
jumlah jamaah hajinya, hingga kini tetap tegak ideologi dan sistem
sekuler kapitalisme, paling banyak korupsi dan bentuk kejahatan lain,
yang itu sebagiannya dilakukan oleh mereka yang sudah pernah berhaji.
Sepulang dari haji bukan hanya tidak meneruskan perlawanan terhadap
setan, tapi telah menjadi kawan atau malah hamba setan.
Perintah amat berat itu pun disambut Ismail as dengan penuh kesabaran.
Dia pun mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan mengatakan:
“Wahai ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya’a
Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (TQS
ash-Shaffat [37]: 102)
Dan tepat ketika pisau tajam itu menyentuh kulit leher Ismail, Allah dengan kekuasaan-Nya menggantinya dengan seekor domba.
”Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya
atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggil dia,
hai Ibrahim sesungguhnya engkau telah membenarkan mimpi itu,
sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan
Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (TQS ash-
Shaffat [37]: 103 – 107)
Inilah teladan yang diberikan oleh
Ibrahim yang membawa semangat tauhid. Inilah teladan seorang anak
manusia yang menyadari posisinya sebagai makhluq di hadapan Sang Khaliq,
sebagai hamba dihadapan al-Ma’bûd, Allah SWT. Inilah teladan dari
manusia yang dengan semangat tauhid berhasil merealisasi kecintaan yang
tinggi (al-mahabbatul ulya) yaitu kecintaan kepada Allah, dan saat yang
sama menghindarkan diri dari kecintaan yang rendah (al-mahabbatul adna)
terhadap setiap sesuatu yang bisa menghalanginya untuk taat kepada Allah
SWT. Teladan seorang manusia yang berhasil membuktikan keteguhan dalam
menjalankan perintah Allah dan ketegasan menepis segala bujuk rayu setan
yang terkutuk.
Semangat tauhid yang telah ditunjukkan kepada
kita oleh Nabiyullah Ibrahim as itu, sangatlah relevan dan amat kita
perlukan dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan saat ini.
Kehidupan modern yang serba bendawi, amat mudah membawa kita terjerumus
kepada pragmatisme sekuler yang menjadikan kenikmatan jasmani dan semua
yang serba material menjadi fokus dari capaian hidup tanpa lagi
mengindahkan tolok ukur halal dan haram.
Semangat tauhid itu
sangat kita perlukan agar kita berhasil mewujudkan kecintaan hakiki yang
tinggi yakni kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya yang mewujud dalam
sikap tunduk, patuh dan terikat kepada ketentuan syariah-Nya.
Ketundukan, kepatuhan dan keterikatan kita kepada syariah Allah itu
dipastikan akan membawa berkah bagi semua, berbuah cinta Allah kepada
kita dan ampunan dari-Nya atas dosa kita. Allah berfirman:
“Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosamu. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” (TQS Ali-Imran [3]: 31).
Wahai Kaum Muslimin
Dalam rangka menyerap teladan diatas sekaligus sebagai renungan di hari
Idul Adhha ini, ada beberapa hal pokok yang penting untuk ditegaskan:
Pertama, Kisah hidup Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan seluruh prosesi Haji
beserta perayaan Idul Adha sesungguhnya telah memberikan kepada kita
pelajaran yang sangat berharga tentang cinta, ketaatan dan pengorbanan
serta sikap yang harus diambil oleh seorang muslim dalam menjalani hidup
ini sesuai prinsip-prinsip tauhid, yakni keimanan yang penuh kepada
Allah SWT.
Dengan tauhid itu, marilah kita tetap teguh memegang
ketentuan halal dan haram, dan di saat yang sama tidak mudah terdorong
melakukan pelanggaran terhadap syariah-Nya. Bila prinsip ini dilanggar,
mungkin saja berbagai macam keinginan dalam hidup kita itu bisa diraih,
tapi pasti akan membawa keburukan, dan pasti juga akan menjauhkan kita
dari cinta dan ridha Allah SWT.
Kedua, Ketaatan pada Allah SWT
yang diwujudkan dengan melaksanakan syariah-Nya secara kaffah dalam
kehidupan pribadi, dan juga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dengan cara itulah akan terbentuk masyarakat tauhid dan negara yang
berbeda dengan masyarakat dan negara jahiliah. Negara itu adalah Daulah
Khilafah Islamiyyah yang diwajibkan Allah Swt untuk ditegakkan. Dan
ingatlah, bahwa hanya dalam Daulah Khilafah sajalah kerahmatan Islam
akan terwujud dan keridhaan Allah akan didapatkan.
Ketiga,
Salah satu buah dari tauhid adalah ukhuwah atau persaudaraan Islam,
yakni persaudaraan universal atas dasar keimanan kepada Allah SWT,
sebagaimana tampak dalam berkumpulnya jamaah haji dari seluruh dunia di
Tanah Suci tanpa membedakan ras, suku bangsa, bahasa dan pangkat
derajat. Semua hadir di sana atas dasar, motif, dan dorongan yang sama,
juga melakukan manasik haji dengan cara yang sama. Tapi sayang,
persaudaraan universal itu berhenti hanya sebatas di Tanah Suci. Usai
haji, kembali umat Islam terpecah belah ke dalam lebih dari 50 negara.
Persaudaran itu tidak tampak lagi. Umat Islam yang berjumlah lebih dari
1,5 miliar itu tetap lemah, tidak memiliki kekuatan sehingga mudah
dirusak oleh musuh-musuh Islam. Di sinilah pentingnya perjuangan untuk
tegaknya kembali al-Khilafah al-Islamiyah harus terus digelorakan,
karena hanya khilafah sajalah yang mampu menyatukan kembali umat Islam
sebagaimana pernah terjadi di masa lalu.
Keempat, Perjuangan
bagi tegaknya kembali al-Khilafah al-Islamiyah yang akan menerapkan
syariah secara kaffah dan mewujudkan kembali persatuan umat jelas
memerlukan pengorbanan karena tidak ada ketaatan tanpa pengorbanan.
Dengan pengorbanan itu, insya Allah perjuangan yang memang sekilas
tampak sulit itu akan menemukan hasilnya tidak lama lagi di masa
mendatang.
Semoga kita termasuk orang yang diberikan kekuatan
untuk istiqamah memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah di tengah
kehidupan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Diposting oleh
Unknown