Keadilan Sosial dalam Pandangan Islam

http://anatomidakwah.blogspot.com/2012/10/keadilan-sosial-dalam-pandangan-islam.html

Secara ekonomi, keadilan mesti
ditegakkan dalam dua ranah sekaligus: Keadilan secara umum (Adl ’am)
bermakna perwujudan sistem dan struktur politik maupun ekonomi yang
adil. Ranah ini merupakan tanggungjawab penguasa dan pemerintah.
Keadilan secara khusus (Adl khas) bermakna pelaksanaan keadilan dalam
kehidupan muamalah antar kaum muslim dan sesama manusia. Adl khas
meliputi bidang yang luas seperti larangan melanggar hak orang lain.
Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang
dengan yang lainnya. Oleh karenanya salah satu keistimewaan penting
dalam sistem ekonomi Islam adalah pengaturan perilaku rakyat dan
pemerintahan yang meliputi dua dimensi materi dan spiritual sekaligus.
Sebab dalam Islam, tujuan utama adalah mengantarkan manusia kepada
kesempurnaan ruhani dan spiritual. Karena itu dalam sistem ekonomi Islam
mekanisme yang dijalankan adalah untuk mendukung terwujudnya tujuan
itu. Dua dimensi materi dan spiritual itu nampak jelas dalam ajaran
Islam yang melarang monopoli, penimbunan harta (Al Ihtikar) dan perintah
mengeluarkan zakat dan sedekah. Larangan demikian ditemukan dalam
al-Qur’an. Allah SWT berfirman: Apa saja harta rampasan (fay’) yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota
maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta
itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian
saja. (QS.59: 7). Nabi Muhammad Saw juga bersabda: Tidak menimbun barang
kecuali orang-orang yang berdosa. (HR. Muslim). Orang yang bekerja itu
diberi rizki, sedang orang yang menimbun itu diberi laknat. (HR. Ibnu
Majah). Siapa saja yang menyembunyikan/al ihtikar (gandum atau
barang-barang keperluan lainnya dengan mengurangi takaran dan menaikkan
harganya), maka dia termasuk orang- orang yang zalim.
Prinsip-prinsip Keadilan Sosial dalam Ekonomi Islam
Berbasis Tauhid
Keadilan sosial dalam Islam merupakan
implikasi dari prinsip fundamental yang mendasari seluruh ajaran Islam,
yakni tauhid. Tauhid bukanlah ajaran abstrak dan ‘melangit’ semata, akan
tetapi berhubungan langsung dengan persoalan kehidupan individual dan
sosial, serta mengilhami rasa tanggung jawab sosial terhadap orang-orang
yang membutuhkan atau berkekurangan. Jika Allah sebagai satu-satunya
pencipta, maka seluruh ciptaannya adalah sama (egaliter) memiliki hak
karunia-Nya. Semua pernyataan tadi diperkuat dengan keharusan mengimani
akan Hari Pengadilan (yaumul hisab) sebagai pertanggungjawaban setiap
individu terhadap-Nya. Sebab implikasi penolakan terhadap Hari kiamat
adalah melemah bahkan hilangnya rasa tanggung jawab dan tidak peduli
terhadap seruan berbuat baik kepada kaum yang lemah (dhu’afa). Oleh
karenanya, sejak awal sekali al-Quran menuduh politeisme (syirk)
masyarakat Mekkah yang menjadi gejala segmentasi masyarakat dan
ketimpangan sosial adalah sebab utama kebangkrutan sosial dan hilangnya
rasa solidaritas antar sesama. Karenanya keprihatinan Islam di Mekkah
pada masa awalnya adalah politeisme dan kezaliman sistem ekonominya.
Perilaku syirk (politeisme) dipandang sebagai dosa tak terampuni (QS
4:48,116) dan sebagai kejahatan manusia terbesar terhadap dirinya
sendiri (QS.31:13). Implikasi politeisme, tidak adanya iman Hari kepada
Hari Kiamat ini bukan saja menimbulkan kepincangan sosial tetapi juga
menumpuk sikap individualistis dan menimbun kekayaan sebanyak mungkin,
penindasan terhadap kaum lemah, bahkan berakibat terhadap pandangan
bahwa dengan kekayaan seseorang dapat hidup secara abadi tanpa sangsi
keagamaan apa pun, “Dan mereka berkata: ‘kami lebih banyak mempunyai
harta dan anak-anak dan sekali-kali kami tidak akan diazab” (QS. 34:35).
Distribusi kesejahteraan yang merata (Justified Distribution of Welfare)
Di antara masalah terpenting yang
mendapat perhatian Islam adalah pembagian kekayaan secara adil di tengah
masyarakat. Al-Qur’an dengan tegas mengatakan, “ Supaya harta itu tidak
beredar di kalangan orang kaya saja di antara kamu” (QS.59: 7), “Di
antara harta mereka terdapat hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun
orang yang tak meminta-minta” (QS. 70: 24). Pembagian kekayaan ini
dilakukan dalam tiga tahap, pra produksi, saat produksi dan pasca
produksi. Dalam hal pembagian kekayaan ini ada keniscayaan untuk
menerapkan keadilan, penyusunan kebijakan dan campur tangan pemerintahan
Islam dalam aktivitas ekonomi. Karena itu, dalam sistem ekonomi Islam
selain kepemilikan pribadi ada juga kepemilikan negara dan kepemilikan
umum. Tentunya, apa saja yang dimiliki oleh negara akan dimanfaatkan
untuk kepentingan umum dan pembiayaan pengelolaan negara. Ada pula
kekayaan milik umum seperti hutan, laut, danau, gunung dan lainnya yang
menurut Islam adalah milik umum. Hal-hal tadi tidak berada dalam
kepemilikan negara. Negara hanya berfungsi sebagai pengawas dan pengatur
pemanfaatannya, yang hasilnya digunakan untuk kepentingan umum. Dengan
demikian, kekayaan ini tidak jatuh dalam monopoli segelintir orang
tertentu
Dalam praktiknya, seringkali timbul
konflik pengertian antara prinsip keadilan distributif ini dengan konsep
“charity”. Konsep “charity” menyangkut ide “bagi semua sesuai
kebutuhannya” (to each according to his needs), sedangkan dalam prinsip
distributive justice, ideanya adalah “bagi semua sesuai dengan
kontribusinya” (to each according to his contribution). Kesalahpahaman
mengenai kedua pengertian ini sering menimbulkan dua cara pandangan
ekstrim pada masing-masing posisi, sehingga menimbulkan perdebatan dan
bahkan konflik yang tidak berkesudahan. Yang satu terlalu menekankan
doktrin kesucian hak milik dan kesucian kontrak (the sanctity of
property and the sanctity of contract), sedangkan yang lain menekankan
pentingnya intervensi pemerintahan Negara untuk mempertahankan atau
memaksakan tegaknya tata sosial yang berkeadilan.
Perlu diketahui, pada tataran konsep
distribusi kekayaan inilah, salah satu prinsip yang menempatkan sistem
ekonomi Islam berada ditengah antara sistim kapitalisme dan sistim
sosialisme. Ekonomi Islam memfokuskan perhatiannya pada distribusi
sebelum membahas sektor produksi. Siapakah yang memilikinya? Dengan cara
bagaimana produk distribusikan, dan apa saja kewajibannya? Karenanya
dalam rangka sistem distribusi kekayaan yang berkeadilan, Ekonomi Islam
menganggap perlunya harmonitas antara tiga ranah kekuasaan ekonomi,
yaitu negara (state), kekuatan masyarakat (civil society), dan kekuatan
pasar (market) sekaligus. Bagaimana pun, dalam mekanismenya hubungan
sinergis di antara ketiga cabang kekuasaan negara, pasar, dan masyarakat
selalu diperlukan peran pengendali utama, yang berfungsi sebagai
“dirigent” atau supervise. Peran demikian tidak lain harus dan hanya
dapat dimainkan oleh negara yang mendapat mandat dari seluruh rakyat
untuk memegang dan menyelenggarakan kekuasaan secara umum.
Prinsip Jaminan sosial (Social Security)
Dalam sistim ekonomi Islam, keadilan
sosial dipandang tidak akan mungkin tercapai tanpa adanya prinsip ini.
Prinsip Jaminan sosial atau at Takaful ijtima’i yang dimaksud dalam hal
ini adalah keadaan dimana setiap orang dalam masyarakat saling menjamin
dan menanggung beban kemaslahatan sesama. Prinsip ini banyak disebutkan
dalam al Qur’an maupun Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
diantaranya, “Tidakkah Kamu melihat orang yang mendustakan agama? Mereka
adalah orang-orang yang membiarkan anak yatim dan mereka juga tidak
member makan orang-orang miskin” (QS. Al-Ma’un:1-3). Rasulullah juga
bersabda, “perumpamaan orang-orang beriman itu dalam kasih sayang,
sebagaimana batang tubuh, jika salah satu anggota tubuh itu sakit, maka
anggota tubuh yang lain juga merasakan demam” (HR.Bukhori dan Muslim).
Namun begitu, Menurut Chapra (2001) mengutip pendapat Imam Ghazali,
sekalipun ilmu ekonomi Islam tetap berkonsentrasi pada aspek alokasi dan
distribusi sumber-sumber daya, seperti halnya pada ilmu ekonomi
konvensional, namun tujuan utama ekonomi Islam adalah harus tetap
merealisasikan maqashid, sebab tujuan utama syari’ah adalah mendorong
kesejahteraan manusia, yang terletak dalam perlindungan terhadap agama
mereka (diin), diri (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), harta benda
(maal). Apa saja yang menjamin terlindungnya lima perkara tersebut
berarti melindungi kepentingan dan kemaslahatan umum. Tentang kaitan
antara hukum-hukum syariah dengan kemaslahatan manusia banyak dibahas
oleh para ulama diantaranya Imam Al-Izz bin Abdul Salam, dalam kitab
beliau Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Sebagai kesimpulan,
setidaknya ada empat nilai utama yang bisa ditarik dari sistem ekonomi
Islam dalam membentuk keadilan sosial yaitu:
- Tauhid dan Maslahah Syari’yyah sebagai landasan pemikiran dan tujuan aplikasi dari ekonomi Islam untuk mewujudkan keadilan sosial dari semua aspek kehidupan.
- Moralitas menjadi pembatas atas kebebasan yang dimiliki, sehingga setiap individu dalam melakukan aktivitasnya selalu mempertimbangkan dampaknya bagi orang lain.
- Kesetaraan (equality) kewajiban dan hak, hal ini mampu menyeimbangkan antara hak yang diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan.
- Peranan positif dari negara, sebagai regulator yang mampu memastikan kegiatan ekonomi berjalan dengan baik sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain.
- Berusaha untuk selalu bermusyawarah , bekerja sama, dan saling menyokong sebab hal ini menjadi salah satu fokus utama dalam ekonomi Islam.
Terakhir hal yang tak boleh dilupakan
dalam membangun sistim ekonomi yang berkeadilan sosial, adalah bahwa
ekonomi Islam atau ekonomi syariah tidak boleh direduksi hanya dengan
memusatkan pada upaya membangun bank-bank syariah an sich, tetapi yang
lebih penting dari itu ekonomi Islam harus dapat menangkal sistem
ekonomi yang exploitatory secara luas, yang memelihara dan menumbuhkan
kesenjangan ekonomi, yang membiarkan terjadinya trade off secara
sistemik, yang subordinatif dan diskriminatori, yang membiarkan
berkembangnya laissez faire dalam arti luas melalui usaha dan ekonomi
yang real dan menyentuh hajat hidup seluruh lapisan dan strata ekonomi
dalam masyarakat kita. Sehingga pada gilirannya ekonomi Islam tidak lagi
hanya bersifat “langitan” sebagaimana yang disindir oleh Hassan Hanafi
(penulis buku Minal Aqidah Ila Al-Tsaurah) bahwa keagamaan kita
terkadang lebih berorientasi kepada Tuhan daripada berorientasi kepada
makhluk (tidak seimbang). Lebih senang melongok ke langit daripada
menekuri bumi. Sehingga keadilan di bumi tak kunjung menjadi kesadaran
keagamaan. Akibatnya, keadilan pun tak kunjung muncul dalam putaran arus
kehidupan.
Oleh : Bayu Taufiq Possumah
Oleh : Bayu Taufiq Possumah