Seri #6: Perjuangan Politik Raja’ ibn Haiwah dan ‘Politisasi’ Penikmat demokrasi.

Seri #6: Perjuangan Politik Raja’ ibn Haiwah dan ‘Politisasi’ Penikmat demokrasi.


“Maka sampaikanlah olehmu apa yang telah diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Sesungguhnya Kami telah membalaskan bagimu kepada orang-orang yang suka memperolok-olok. Yaitu orang-orang yang menjadikan tuhan lain menyertai Allah. Maka nanti mereka akan mengetahuinya.“ (TQS. Al-Hijr [15]:94-96)

Setelah turun ayat tersebut, Rasul segera menyampaikan perintah Allah dan  menampakkan keberadaan kutlah ini(kelompok sahabat) kepada seluruh masyarakat secara terang-terangan,uslub (cara) yang digunakan Rasul untuk menampakkan keberadaan kutlah , adalah dengan keluar bersama- sama para sahabat dalam dua kelompok. Pemimpin kelompok pertama adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muththallib dan untuk kelompok kedua adalah ‘Umar bin al-Khaththab. Rasul pergi bersama mereka ke Ka’bah dengan (barisan yang) rapi, yang sebelumnya tidak diketahui oleh bangsa Arab. Beliau melakukan tawaf di sekitar Ka’bah bersama-sama mereka. Ini berarti Rasul saw bersama para sahabatnya melakukan dakwah secara terang-terangan (daur al-i’lan) menyeru seluruh masyarakat. Sejak saat itu mulai terjadi benturan antara keimanan dengan kekufuran di tengah-tengah masyarakat, dan terjadi gesekan antara pemikiran-pemikiran yang benar dengan yang rusak. Ini berarti dakwah interaksi dan perjuangan (marhalah al-tafa’ul wa al-kifah) .

Raja’ adalah politis dimasa Bani Umayyah, tepatnya pada masa Sulaiman bin Abdul Malik(96-99 H). Dengan kecerdasan diplomasi maka ia mampu menyakinkan Bani Umayyah untuk memasukan Umar bin Abdul Aziz sebagai pengganti Sulaiman bin Malik. Betapa gigih upayanya memasukkan nama ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz sebagai pengganti Sulaiman ibn ‘Abdul Malik, konspirasinya agar Bani ‘Umayyah mau menerima, dan siasatnya agar ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz bersedia bisa kita simak dalam karya Imam ‘Abdullah ibn ‘Abdil Hakam, Al Khalifatul ‘Adil ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, Khamisu Khulafaair Raasyidiin, 43-47; Ibn Al Jauzi, Sirah ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz; Khalid Muhammad Khalid, Khulafaaur Rasuul, 673-681.

Kemudian muncullah sinar surya begitu banyak tentang keadilan yang kemudian tergelar, tentang kemakmuran hingga tak seorangpun bersedia menerima zakat, tentang kesejukan yang kemudian dirasakan setiap jiwa, tentang ketenteraman hingga serigalapun enggan memangsa domba, tentang kezhaliman dan bid’ah-bid’ah yang terhapus. Namun, setelah ‘Umar wafat, kembalilah kekuasaan diwariskan turun-temurun, Baitul Maa kembali melayani penguasa, foya-foya istana berjaya, dan kezhaliman merebak di mana-mana. Raja’ dan ‘Umar tidak mampu mengubah sistem itu, tapi mereka telah berbuat apa yang mereka mampu. Dan hingga kini ummat mengenang mereka penuh cinta.

Yang menjadi perbandingan adalah sistem ‘demokrasi/kedaulatan rakyat’ dan ‘mulk/kerajaan’ yang sama-sama bukan dicita-citakan Islam. Penggambaran pemerintahan Islam dibawah Bani Umayyah memang sangat menyesakkan jika kita ingat, yang paling teragis adalah apa yang dilakukan Al Hajjaj kepada Ubdullah bin Zubair, anak Asma binti Abu Bakar. Kemudian pada masa Yazid cucu Rosulullah Husain terbunuh. Kalaupun kita menerima riwayat bahwa Yazid tak punya niat membunuh Al Husain dan menyesali kejadian itu, kita masih bertanya; mengapa dia tak bertindak sedikitpun terhadap para pelakunya? Dan, kejadian paling memilukan di masa Yazid terjadi di tahun 73 H; penyerbuan Madinah, kota yang dijamin Sang Nabi dengan sabdanya dalam riwayat Al Bukhari, Muslim, Ahmad, dan An Nasa’i, “Tak seorangpun memperlakukan Madinah dengan kejahatan melainkan Allah pasti akan lumerkan di dalam neraka seperti lumernya timah hitam.”

Berdasar riwayat Az Zuhri; atas tuduhan pemberontakan yang dipimpin walinya, ‘Abdullah ibn Hanzhalah, kota Madinah ditaklukkan dan para pasukan diizinkan melakukan apapun sesukanya selama tiga hari hingga tiap sudutnya dirampok habis-habisan. Tujuh ribu orang asyraf dari kalangan keluarga Nabi, sahabat dan putra-putranya terbunuh. Ibnu Katsir bahkanmenulis bahwa seribu wanita hamil tanpa pernikahan dari kejadian di hari-hari itu. Rincian kejadian ini bisa kita periksa dalam; Ath Thabari, At Tarikh 4/372-379; Ibn Al Atsir, Al Kamil 3/310-313; dan Ibn Katsir, Al Bidayah 8/219-221, dan 372.

‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz sendiri berkata, “Andai ummat-ummat dan bangsa datang dengan segala kejahatan mereka; dan kita Bani ‘Umayyah datang dengan Al Hajjaj seorang, demi Allah takkan ada yang bisa mengalahkan kita.”

Para penulis riwayat menghitung, Al Hajjaj bertanggungjawab atas pembunuhan sekitar 120.000 orang yang kebanyakan adalah ‘ulama dan orang-orang shalih. Belum lagi ketika dia meninggal, masih ada sekitar 80.000 jasad yang ditemukan di penjaranya, mati tanpa peradilan yang hak.

Di antara mereka yang dibunuh Al Hajjaj, terdapat sahabat-sahabat utama Rasulullah seperti ‘Abdullah ibn Az Zubair ibn Al ‘Awwam, putra Asma’ binti Abi Bakr Ash Shiddiq, An Nu’man ibn Basyir, ‘Abdullah ibn Shafwan, dan ‘Imarah ibn Hazm. Kepala mulia ‘Abdullah yang pernah diciumi Rasulullah itu dipenggal dan dikelilingkan ke berbagai kota; Makkah, Madinah, hingga Damaskus. Jasad-jasad mereka disalibkan di kota Makkah, dijadikan tontonan hingga berbulan lamanya.

Selain itu, patut dicatat nama Sa’id ibn Jubair, tabi’in agung, murid kesayangan ‘Abdullah ibn ‘Abbas yang dikuliti dan disayati dagingnya oleh Al Hajjaj. Juga tindakan dan cercaannya yang mengancami ‘Abdullah ibn ‘Umar, ‘Abdullah ibn Mas’ud, Anas ibn Malik, dan Sahl ibn Sa’d As Sa’idi, Radhiyallaahu ‘Anhum. Di masa ini pula para penguasa melaksanakan khuthbah pertama Jum’at sambil duduk, menjadikan caci-maki terhadap ‘Ali ibn Abi Thalib dan keluarganya sebagai rukun khuthbah, dan melangsungkan khuthbah hari raya sebelum shalatnya. Bid’ah-bid’ah yang dahsyat ini bisa kita telusuri dalam anggitan Ibn Al Atsir, Al Kamil 4/119, 300; Ath Thabari, At Tarikh 6/26; dan Ibn Katsir, Al Bidayah 8/258, 10/30-31.

Namun, kita harus mengetahui bahwa sejarah bukan sumber hukum Islam, hal ini dijelaskan oleh syeikh Taqiyudin an-Nabhani dalam kitab Nizhamul Islam,”tidak dibenarkan meletakkan sejarah sebagai rujukan (sumber) bagi peraturan Islam, baik dilihat dari segi pengetahuan tentang peraturan maupun dari segi pengambilan dalil-dalilnya. Dengan demikian tidak dibenarkan menjadikan sejarah Umar bin Khaththab, Umar bin Abdul Azis, Harun al-Rasyid, dan lain-lain sebagai sumber hukum, baik dilihat dari berbagai peristiwa sejarah yang menuturkan mereka maupun buku-buku yang dikarang tentang biografi mereka. Apabila ada pendapat Umar dalam suatu perkara diikuti, tidak lain karena itu merupakan hukum syara yang di-istinbath-kan dan diterapkan oleh Umar.”

Kemudian dijelaskan tentang menghukumi apakah itu dianggap sebagai negara Islam atau bukan dapat dibuktikan dengan keadaan masyarakat secara menyeluruh,”Tatkala kita mempelajari masyarakat Islam dengan pandangan seperti ini, yaitu mempelajarinya secara kritis dan teliti dari seluruh aspek, tentu akan kita dapati bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat terbaik dari masyarakat lain yang pernah ada di dunia. Karena memang demikianlah keadaannya pada abad pertama, kedua, ketiga, lalu ber lanjut pada abad-abad ber ikutnya hingga pertengahan abad ke-12 Hijriyah. Akan kita jumpai bahwa masyarakat telah menerapkan Islam di sepanjang sejarahnya sampai berakhirnya masa Daulah Utsmaniyah yang merupakan Daulah Islam.”

Tinta hitam daulah Islam tentu bukan gambaran dari diterapkannya Islam namun keburukan para penguasanya. Dengan logika seperti ini maka untuk membangkitkan Islam yang paling penting adalah menciptakan “Umar bin Abdul Aziz abad ini” seperti perjuangan politik Raja’ ibn Haiwah sehingga tinta gelap itu terhapus oleh sinar keadilan, kesejahteraan, dan keamanan. Namun itu tidak berjalan dan kembali kepada keadannya semula.

Padahal tidak dibenarkan menjadikan sejarah sebagai sumber hukum, sejarah adalah pelajaran semata. Jika dilihat bagaimana buruknya saat itu namun Islam tetap menjalankan syariat Islam dan menyebarkan risahlahnya dengan dakwah dan jihad. Dan masyarakat yang ada dengan perasaan, pemikiran, dan peraturan masih menggambarkan sebuah masyarakat Islam. Hal ini berbeda dengan sistem demokrasi yang sama-sama menyengsarakan namun segala aturannya tidaklah mencerminkan Islam karena demokrasi adalah sesuatu (al-asyaa’) padahal mengambil selain Islam hukumnya adalah haram. Mekanisme pengambilan keputusan dalam demokrasi adalah suara terbanyak dan tidak dilihat apakah itu halal atau haram. Padahal Allah berfirman : “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah (TQS Yusuf [12]: 40)”

Dalil yang digunakan oleh penikmat demokrasi semisal : (1)Ad-dharara tuhbihu al-mahdzurat(Keadaan darurat memperbolehkan maksiat) padahal dharurat adalah kondisi dimana seseorang sampai pada batas bilamana ia tidak melakukannya, ia akan binasa atau mendekati kebinasaan (Imam Zarkasyi) kondisi ini berbeda dengan demokrasi.(2) Ma laa yudraku kulluhu la yutraku jallahu(Apa yang tidak bisa diambil semuanya jangan ditinggalkan semuanya) padahal itu bukan untuk sesuatu hukum halal dan haram namun untuk sesuatu yang sunnah.(3) Irtikabu akhaffu ad-dharraraini(Mengambil bahaya yang lebih ringan diantara dua bahaya) sanggahan bahwa Rosulullah tidak menggunakan jalan demokrasi namun thalabun nusrah walau lebih sulit dan thalabun nusrah adalah wajib. Yang paling sering adalah mengatakan : “Demokrasi sama dengan syura/musyawarah” telah dibahas di catatan sebelumnya.



Islam tidak meletakan pada kepemimpin/qiyadah seorang individu dalam menegak syariat Islam dimana Rosulullahpun membentuk kutlah/kelompok sahabat. Islam tidak menjadikan kharisma pemimpin untuk menjadikan Islam tegak namun menjadikan sebuah ‘qiyadah fikriyah/kepemimpinan berfikir’ untuk menjalankan syariat dan menyebarkannya kepenjuru dunia hingga Islam menyinari dunia dengan syariatnya bukan yang syariat yang lain. Islam tidak disampaikan secara ‘lip service’ untuk menyenangkan dan ‘menarik perhatian’. Namun harus dengan kejelasan tentang hukum-hukumnya, tuntutan-tuntutannya, serta pelaksanaannya. Sehingga dari situ akan tumbuh sebuah kesadaran masyarakat untuk menerima Islam saja bukan yang lainnya.

Kesimpulannya tidak dibolehkan menjadikan sejarah sebagai sumber fiqh, tidak boleh menjadikan syariat tertumpu pada qiyadah. Wajib menjalankan syariah secara keseluruhan, mengopinikan Islam sebagai solusi problema yang ada ditengah masyarakat sehingga masyarakat/umat siap menerima Islam sebagai syariat dan negara.

Wallahu a’lam bishawab.

Muhammad asy Syabab
22 Muharam 1434 H

Related

pemikiran 3424708768055531595

Posting Komentar

emo-but-icon
:noprob:
:smile:
:shy:
:trope:
:sneered:
:happy:
:escort:
:rapt:
:love:
:heart:
:angry:
:hate:
:sad:
:sigh:
:disappointed:
:cry:
:fear:
:surprise:
:unbelieve:
:shit:
:like:
:dislike:
:clap:
:cuff:
:fist:
:ok:
:file:
:link:
:place:
:contact:

Follow Us

TranslateStatistik

Translate

Statistik

5475

Iklan

Silahkan hubungi kami untuk memasang iklan

Tentang

Nama : Muhammad Isnan, seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor, jurusan Agronomi dan Holtikultura Fakultas Pertanian.

Aktif di lembaga dakwah kampus, LDK BKIM IPB. Menyusuri setiap jejak langkah pejuang untuk mengembalikan kehidupan Islam dengan menerapkan syariah secara kaffah dalam naungan Khilafah.
item