Bukan akhlak, Nasionalisme, dan Sosialisme.

http://anatomidakwah.blogspot.com/2012/12/bukan-akhlak-nasionalisme-dan-sosialisme.html
Bukan akhlak, Nasionalisme, dan Sosialisme.

Sesungguhnya dakwah bukan diarahkan dengan akhlak karena akhlak(hubungan kita dengan diri kita semisal pakaian, makanan,dll). Hal ini telah dibantah dalam banyak kajian bahwa akhlak bukan aspek yang akan membangkitkan manusia. Hal ini pula dapat kita lihat dalam kitab at-Takattul Hizb, kitab Ma’alim fi ath-thariq, dan Nidzam al-Islam. Jadi sebuah kemunduran jika Islam dianggap berdiri diatas akhlak. Tidak pernah dibahas dalam kitab-kitab fiqh berkenaan akhlak, karena akhlak hanya akan benar jika distandarkan dengan syariat Islam. Misalnya membunuh adalah akhlak yang buruk dalam keadaan damai namun dalam berjihad itu sebuah kewajiban.
Kemerosotan dalam berfikir dan rasa jumud manusia yang dikurung dalam sekat Nasionalisme membuat mereka memiliki sikap baqa’ untuk mempertahankan wilayahnya padahal sifat seperti ini serupa dengan hewan. Rosulullah tidak menjadikan semangat nasionalisme bangsa Arab untuk menyebarkan Islam. Dengan kedudukannya dikalangan bangsa Arab dan tingginya nasab Beliau akan mudah untuk menyatukan bangsa Arab menghadapi hegemoni Romawi dan Persia yang mengapit daerah jazirah Arab. Namun memang benar bahwa dakwah diarahkan kepada masyarakat yang dekat dengan kita lingkungan kita atau negeri-negeri muslim namun dengan semangat keIslaman bukan nasionalisme. Sehingga tidak dibenarkan membawa simbol-simbol nasionalisme dalam dakwah Islam. Seperti bendera, panji, atau lambang yang berupa hadharah(peradaban) bukan nama. Sehingga dakwah Islam wajib sebagai dakwah internasional tanpa melihat aspek nasionalisme dan semangat dalamnya.
Sosialisme muncul dari penguasaan atas segala materi oleh pemilik kekuasan atau kalangan borjuis atas masyarakat proletar. Sehingga sensitif atas kebebasan karena mereka menganggap adanya perbudakan membuat pemberontakan dengan slogan “Sama Rasa, Sama Rata”. Prinsip ini(Sama rasa, sama rata) membuat tidak ada dan tidak boleh sebuah agama mendominasi, bahkan semangat ini muncul dari ‘penggunaan’ agama sebagai alat untuk menjajah oleh kalangan nasrani dengan kedudukan gereja. Rosulullah tidak menjadikan ini manhaj walau hal serupa dirasakan di Mekkah dimana banyak budak dan sedikit sekali orang kaya. Orang dari bani-bani yang tinggi kedudukannya dimasyarakat pula menggunakan kekuasaan untuk memeras rakyat. Namun semangat sosialis tidak digunakan Rosulullah untuk mengajak para budak melawan tuannya. Sehingga ini bukanlah manhaj yang shahih.
Antara Lembaga Kemasyarakatan dan Partai Politik.

Yang menjadi persoalan pelik adalah memilih format gerakan dengan betuk lembaga kemasyarakatan seperti membangun madrasah-madrasah, pesantren-pesantren, rumah sakit, panti jompo, dan semisalnya. Atau melakukan aktivitas politik. Politik yang diambil adalah sudut pandang yang shahih yaitu politk yang dimaksud adalah siyasah yang berarti ri’ayah suunil ummah/mengatur kehidupan umat. Kedangkalan dalam memahami politik membuat manusia mengarahkan pikirannya untuk memperoleh kekuasaan yang tak jarang menerjang batas aturan Islam. Jika dilihat dari fakta bahwa tidak ada sekolah, rumah sakit, panti jompo, dan yang semisal yang dibangun Rosulullah untuk membangkitkan umat yang bermula di Mekkah. Sehingga itu bukan manhaj untuk membangkitkan umat, namun aktivitas individu diperkenankan karena itu sebuah sunnah dan amal yang baik, seperti Abu Bakar yang membebaskan budak termasuk Bilal bin Rabah, serta sikat dermawan yang tidak berubah setelah dan sebelum menerima Islam.
Aktivitas Politik disini adalah mengontrol penguasa dan mencari thalabun nusrah. Sehingga akan ada benturan pemikiran ditengah masyarakat, seperti yang dilakukan sahabat menentang penyembahan berhala, praktik riba, kecurangan timbangan, dan lainnya. Jadi mengarahkan pada sisi politik sekali lagi bukan untuk menguasai tapi mengatur urusan rakyat. Thabun nusrah atau meminta pertolongan, seperti yang Rosulullah lakukan dengan bani-bani sekitar Mekkah tanpa ada sikap mundur artinya dilakukan terus menerus walau ditimpa oleh penolakan yang keras, pelemparan, penyiksaan, penghinaan, dan yang lebih keras membuat aspek thalabun nusrah dalam pandangan fiqh adalah sebuah KEWAJIBAN dalam dakwah Islam.