Hukum Seputar Qurban

http://anatomidakwah.blogspot.com/2012/10/hukum-seputar-qurban.html
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pengertian Qurban
Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari
kata : qaruba (fi’il madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa
qurbânan (mashdar). Artinya, mendekati atau menghampiri (Matdawam,
1984).
Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang
digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan
sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972). Dalam bahasa
Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau
adh-dhahiyah, dengan bentuk jamaknya al-adhâhi. Kata ini diambil dari
kata dhuhâ, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk
melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 – 10.00 (Ash
Shan’ani, Subulus Salam, IV/89).
Udh-hiyah adalah hewan kurban
(unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan
hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah
(Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, XIII/155; Al Ja’bari, 1994).
Hukum Qurban
Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu
Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya
berkata,”Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan
wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam
perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)
Sebagian mujtahidin –seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al Auza’i, dan
sebagian pengikut Imam Malik– mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi
pendapat ini dhaif (lemah) (Matdawam, 1984).
Ukuran “mampu”
berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu
mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok
(al hajat al asasiyah) –yaitu sandang, pangan, dan papan– dan kebutuhan
penyempurna (al hajat al kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika
seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban (Al Ja’bari,
1994) .
Dasar kesunnahan qurban antara lain, firman Allah SWT :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” (TQS Al Kautsar : 2).
أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ
“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah.”(HR.At-Tirmidzi)
كُتِبَ عَلَيَّ النَّحْرُ وَ لَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَيْكُمْ
“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian.” (HR. Ad Daruquthni)
Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban
adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi “wanhar” (dan berqurbanlah
kamu) dalam surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan
qurban (thalabul fi’li). Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi an nahri
wa huwa sunnatun lakum” (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban,
sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni
“kutiba ‘alayya an nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan
atasku qurban dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa
thalabul fi’li yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi
bersifat ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak
wajib. Namun benar, qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah
salah satu khususiyat beliau (lihat Rifa’i et.al., Terjemah Khulashah
Kifayatul Akhyar, hal. 422).
Orang yang mampu berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلا نا
“Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka
janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR. Ahmad,
Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim,
hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)
Perkataan Nabi
“fa laa yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri
tempat shalat kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya
seseorang -yang tak berqurban padahal mampu– untuk mendekati tempat
sholat Idul Adh-ha. Namun ini bukan celaan yang sangat/berat (dzamm
syanii’) seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min ‘amalisy
syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan jaahiliyatan (mati
jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat Idul Adh-ha
tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan
tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram (lihat ‘Atha` ibn Khalil,
Taysir Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).
Namun
hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab
memenuhi nadzar adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW :
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلا يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan kepada Allah, maka hendaklah
ia melaksanakannya. Barangsiapa yang bernadzar untuk kemaksiatan kepada
Allah, maka janganlah ia tidak melaksanakannya.” (HR al-Bukhari, Abu
Dawud, al-Tirmidzi).
Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang
(ketika membeli kambing, misalnya) berkata,”Ini milik Allah,” atau “Ini
binatang qurban.” (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).
Keutamaan Qurban
Berqurban merupakan amal yang paling dicintai Allah SWT pada saat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW
مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلًا أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ
“Tidak ada suatu amal anak Adam pada hari raya Qurban yang lebih
dicintai Allah selain menyembelih qurban.” (HR. At Tirmidzi)
(Abdurrahman, 1990)
Berdasarkan hadits itu Imam Ahmad bin
Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah berpendapat,”Menyembelih hewan
pada hari raya Qurban, aqiqah (setelah mendapat anak), dan hadyu (ketika
haji), lebih utama daripada shadaqah yang nilainya sama.” (Al Jabari,
1994).
Tetesan darah hewan qurban akan memintakan ampun bagi setiap dosa orang yang berqurban. Sabda Nabi SAW :
يا فاطمة قومي فاشهدي اضحيتك فانه يغفر لك باول قطرة تقطر من من دمها كل ذنب عملته
“Hai Fathimah, bangunlah dan saksikanlah qurbanmu. Karena setiap tetes
darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kaulakukan…”
(HR al-Baihaqi, lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/165)
Waktu dan Tempat Qurban
a.Waktu
Qurban dilaksanakan setelah sholat Idul Adh-ha tanggal 10 Zulhijjah,
hingga akhir hari Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah.
Qurban tidak sah bila disembelih sebelum sholat Idul Adh-ha. Sabda Nabi
SAW:
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا
ذَبَحَ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ
وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ
“Barangsiapa
menyembelih qurban sebelum sholat Idul Adh-ha (10 Zulhijjah) maka
sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa
menyembelih qurban sesudah sholat Idul Adh-ha, maka sesungguhnya ia
telah menyempurnakan ibadahnya (berqurban) dan telah sesuai dengan
sunnah (ketentuan) Islam.” (HR. Bukhari)
Sabda Nabi SAW :
كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ
“Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih qurban.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Menyembelih qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari pada
tanggal-tanggal yang telah ditentukan itu. Menyembelih pada malam hari
hukumnya sah, tetapi makruh. Demikianlah pendapat para imam seperti Imam
Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan jumhur ulama (Matdawam,
1984).
Perlu dipahami, bahwa penentuan tanggal 10 Zulhijjah
adalah berdasarkan ru`yat yang dilakukan oleh Amir (penguasa) Makkah,
sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Husain bin Harits Al Jadali RA (HR.
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud hadits no.1991). Jadi, penetapan 10 Zulhijjah
tidak menurut hisab yang bersifat lokal (Indonesia saja misalnya),
tetapi mengikuti ketentuan dari Makkah. Patokannya, adalah waktu para
jamaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah (9 Zulhijjah), maka
keesokan harinya berarti 10 Zulhijjah bagi kaum muslimin di seluruh
dunia.
b.Tempat
Diutamakan, tempat penyembelihan
qurban adalah di dekat tempat sholat Idul Adh-ha dimana kita sholat
(misalnya lapangan atau masjid), sebab Rasulullah SAW berbuat demikian
(HR. Bukhari). Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah juga
mengizinkan penyembelihan di rumah sendiri (HR. Muslim). Sahabat
Abdullah bin Umar RA menyembelih qurban di manhar, yaitu pejagalan atau
rumah pemotongan hewan (Abdurrahman, 1990).
Hewan Qurban
a.Jenis Hewan
Hewan yang boleh dijadikan qurban adalah : unta, sapi, dan kambing
(atau domba). Selain tiga hewan tersebut, misalnya ayam, itik, dan ikan,
tidak boleh dijadikan qurban (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).
Allah SWT berfirman:
لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
“…supaya mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak (bahimatul
an’am) yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (TQS Al Hajj : 34)
Dalam bahasa Arab, kata bahimatul an’aam (binatang ternak) hanya
mencakup unta, sapi, dan kambing, bukan yang lain (Al Jabari, 1994).
Prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya Al Fiqh Al Wadhih III/3 membolehkan
berkurban dengan kerbau (jamus), sebab disamakan dengan sapi.
b.Jenis Kelamin
Dalam berqurban boleh menyembelih hewan jantan atau betina, tidak ada
perbedaan, sesuai hadits-hadits Nabi SAW yang bersifat umum mencakup
kebolehan berqurban dengan jenis jantan dan betina, dan tidak melarang
salah satu jenis kelamin (Sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman, 1990)
c.Umur
Sesuai hadits-hadits Nabi SAW, dianggap mencukupi, berqurban dengan
kambing/domba berumur satu tahun masuk tahun kedua, sapi (atau kerbau)
berumur dua tahun masuk tahun ketiga, dan unta berumur lima tahun
(Sayyid Sabiq, 1987; Mahmud Yunus, 1936).
d.Kondisi
Hewan
yang dikurbankan haruslah mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada cacat
atau cedera pada tubuhnya. Sudah dimaklumi, qurban adalah taqarrub
kepada Allah. Maka usahakan hewannya berkualitas prima dan top, bukan
kualitas sembarangan (Rifa’i et.al, 1978)
Berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW, tidak dibenarkan berkurban dengan hewan :
yang nyata-nyata buta sebelah,
yang nyata-nyata menderita penyakit (dalam keadaan sakit),
yang nyata-nyata pincang jalannya,
yang nyata-nyata lemah kakinya serta kurus,
yang tidak ada sebagian tanduknya,
yang tidak ada sebagian kupingnya,
yang terpotong hidungnya,
yang pendek ekornya (karena terpotong/putus),
yang rabun matanya. (Abdurrahman, 1990; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq. 1987).
Hewan yang dikebiri boleh dijadikan qurban. Sebab Rasulullah pernah
berkurban dengan dua ekor kibasy yang gemuk, bertanduk, dan telah
dikebiri (al maujuu’ain) (HR. Ahmad dan Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)
Qurban Sendiri dan Patungan
Seekor kambing berlaku untuk satu orang. Tak ada qurban patungan
(berserikat) untuk satu ekor kambing. Sedangkan seekor unta atau sapi,
boleh patungan untuk tujuh orang (HR. Muslim). Lebih utama, satu orang
berqurban satu ekor unta atau sapi.
Jika murid-murid
sebuah sekolah, atau para anggota sebuah jamaah pengajian iuran uang
lalu dibelikan kambing, dapatkah dianggap telah berqurban ? Menurut
pemahaman kami, belum dapat dikategorikan qurban, tapi hanya latihan
qurban. Sembelihannya sah, jika memenuhi syarat-syarat penyembelihan,
namun tidak mendapat pahala qurban. Wallahu a’lam. Lebih baik, pihak
sekolah atau pimpinan pengajian mencari siapa yang kaya dan mampu
berqurban, lalu dari merekalah hewan qurban berasal, bukan berasal dari
iuran semua murid tanpa memandang kaya dan miskin. Islam sangat adil,
sebab orang yang tidak mampu memang tidak dipaksa untuk berqurban.
Perlu ditambahkan, bahwa dalam satu keluarga (rumah), bagaimana pun
besarnya keluarga itu, dianjurkan ada seorang yang berkurban dengan
seekor kambing. Itu sudah memadai dan syiar Islam telah ditegakkan,
meskipun yang mendapat pahala hanya satu orang, yaitu yang berkurban itu
sendiri. Hadits Nabi SAW:
إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةً
“Dianjurkan bagi setiap keluarga dalam setiap tahun menyembelih
qurban.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa`i, dan Ibnu Majah)
Teknis Penyembelihan
Teknis penyembelihan adalah sebagai berikut :
Hewan yang akan dikurbankan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri
dengan posisi mukanya menghadap ke arah kiblat, diiringi dengan membaca
doa “Robbanaa taqabbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliim.” (Artinya :
Ya Tuhan kami, terimalah kiranya qurban kami ini, sesungguhnya Engkau
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.)
Penyembelih meletakkan
kakinya yang sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu tidak
menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta.
Penyembelih
melakukan penyembelihan, sambil membaca : “Bismillaahi Allaahu akbar.”
(Artinya : Dengan nama Allah, Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah
bacaan shalawat atas Nabi SAW. Para penonton pun dapat turut memeriahkan
dengan gema takbir “Allahu akbar!”)
Kemudian
penyembelih membaca doa kabul (doa supaya qurban diterima Allah) yaitu :
“Allahumma minka wa ilayka. Allahumma taqabbal min …” (sebut nama orang
yang berkurban). (Artinya : Ya Allah, ini adalah dari-Mu dan akan
kembali kepada-Mu. Ya Allah, terimalah dari…. ) (Ad Dimasyqi, 1993;
Matdawam, 1984; Rifa’i et.al., 1978; Rasjid, 1990)
Penyembelihan, yang afdhol dilakukan oleh yang berqurban itu sendiri,
sekali pun dia seorang perempuan. Namun boleh diwakilkan kepada orang
lain, dan sunnah yang berqurban menyaksikan penyembelihan itu (Matdawam,
1984; Al Jabari, 1994).
Dalam penyembelihan, wajib terdapat 4 (empat) rukun penyembelihan, yaitu :
Pertama, Adz Dzaabih (penyembelih), yaitu setiap muslim, meskipun
anak-anak, tapi harus yang mumayyiz (sekitar 7 tahun). Boleh memakan
sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani), menurut mazhab Syafi’i.
Menurut mazhab Hanafi, makruh, dan menurut mazhab Maliki, tidak
sempurna, tapi dagingnya halal. Jadi, sebaiknya penyembelihnya muslim.
(Al Jabari, 1994).
Kedua, Adz Dzabiih, yaitu hewan yang disembelih.Telah diterangkan sebelumnya.
Ketiga, Al Aalah, yaitu setiap alat yang dengan ketajamannya dapat
digunakan menyembelih hewan, seperti pisau besi, tembaga, dan lainnya.
Tidak boleh menyembelih dengan gigi, kuku, dan tulang hewan (HR. Bukhari
dan Muslim).
Keempat, Adz Dzabh, yaitu penyembelihannya itu
sendiri. Penyembelihan wajib memutuskan hulqum (saluran nafas) dan mari`
(saluran makanan). (Mahmud Yunus, 1936)
Pemanfaatan Daging Qurban
Sesudah hewan disembelih, sebaiknya penanganan hewan qurban (pengulitan
dan pemotongan) baru dilakukan setelah hewan diyakini telah mati.
Hukumnya makruh menguliti hewan sebelum nafasnya habis dan aliran
darahnya berhenti (Al Jabari, 1994). Dari segi fakta, hewan yang sudah
disembelih tapi belum mati, otot-ototnya sedang berkontraksi karena
stress. Jika dalam kondisi demikian dilakukan pengulitan dan pemotongan,
dagingnya akan alot alias tidak empuk. Sedang hewan yang sudah mati
otot-ototnya akan mengalami relaksasi sehingga dagingnya akan empuk.
Setelah penanganan hewan qurban selesai, bagaimana pemanfaatan daging
hewan qurban tersebut ? Ketentuannya, disunnahkan bagi orang yang
berqurban, untuk memakan daging qurban, dan menyedekahkannya kepada
orang-orang fakir, dan menghadiahkan kepada karib kerabat. Nabi SAW
bersabda :
فَكُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُو
“Makanlah daging qurban itu, dan berikanlah kepada fakir-miskin, dan simpanlah.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, hadits shahih)
Berdasarkan hadits itu, pemanfaatan daging qurban dilakukan menjadi
tiga bagian/cara, yaitu : makanlah, berikanlah kepada fakir miskin, dan
simpanlah. Namun pembagian ini sifatnya tidak wajib, tapi mubah (lihat
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq,
1987).
Orang yang berqurban, disunnahkan turut memakan daging
qurbannya sesuai hadits di atas. Boleh pula mengambil seluruhnya untuk
dirinya sendiri. Jika diberikan semua kepada fakir-miskin, menurut Imam
Al Ghazali, lebih baik. Dianjurkan pula untuk menyimpan untuk diri
sendiri, atau untuk keluarga, tetangga, dan teman karib (Al Jabari,
1994; Rifa’i et.al, 1978).
Akan tetapi jika daging qurban
sebagai nadzar, maka wajib diberikan semua kepada fakir-miskin dan yang
berqurban diharamkan memakannya, atau menjualnya (Ad Dimasyqi, 1993;
Matdawam, 1984)
Pembagian daging qurban kepada fakir dan
miskin, boleh dilakukan hingga di luar desa/ tempat dari tempat
penyembelihan (Al Jabari, 1994).
Bolehkah memberikan daging
qurban kepada non-muslim ? Ibnu Qudamah (mazhab Hambali) dan yang
lainnya (Al Hasan dan Abu Tsaur, dan segolongan ulama Hanafiyah)
mengatakan boleh. Namun menurut Imam Malik dan Al Laits, lebih utama
diberikan kepada muslim (Al Jabari, 1994).
Penyembelih (jagal),
tidak boleh diberi upah dari qurban. Kalau mau memberi upah, hendaklah
berasal dari orang yang berqurban dan bukan dari qurban (Abdurrahman,
1990). Hal itu sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Ali bin Abi Thalib RA
:
وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَازِرَ مِنْهَا شَيْئًا
“…(Rasulullah memerintahkan kepadaku) untuk tidak memberikan kepada
penyembelih sesuatu daripadanya (hewan qurban).” (HR. Bukhari dan
Muslim) (Al Jabari, 1994)
Tapi jika jagal termasuk orang fakir
atau miskin, dia berhak diberi daging qurban. Namun pemberian ini bukan
upah karena dia jagal, melainkan sedekah karena dia miskin atau fakir
(Al Jabari, 19984).
Menjual kulit hewan adalah haram,
demikianlah pendapat jumhur ulama (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid
I/352). Dalilnya sabda Nabi SAW:
وَلَا تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْيِ وَالْأَضَاحِيِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلَا تَبِيعُوهَا
“Dan janganlah kalian menjual daging hadyu (qurban orang haji) dan
daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah dagingnya itu, ambillah
manfaat kulitnya, dan jangan kamu menjualnya…”(HR. Ahmad) (Matdawam,
1984).
Sebagian ulama seperti segolongan penganut mazhab
Hanafi, Al Hasan, dan Al Auza’i membolehkannya. Tapi pendapat yang lebih
kuat, dan berhati-hati (ihtiyath), adalah janganlah orang yang
berqurban menjual kulit hewan qurban. Imam Ahmad bin Hambal sampai
berkata,”Subhanallah ! Bagaimana harus menjual kulit hewan qurban,
padahal ia telah dijadikan sebagai milik Allah ?” (Al Jabari, 1994).
Kulit hewan dapat dihibahkan atau disedekahkan kepada orang fakir dan
miskin. Jika kemudian orang fakir dan miskin itu menjualnya, hukumnya
boleh. Sebab -menurut pemahaman kami– larangan menjual kulit hewan
qurban tertuju kepada orang yang berqurban saja, tidak mencakup orang
fakir atau miskin yang diberi sedekah kulit hewan oleh orang yang
berqurban. Dapat juga kulit hewan itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan
bersama, misalnya dibuat alas duduk dan sajadah di masjid, kaligrafi
Islami, dan sebagainya.Penutup
Kami ingin menutup risalah
sederhana ini, dengan sebuah amanah penting : hendaklah orang yang
berqurban melaksanakan qurban karena Allah semata. Jadi niatnya haruslah
ikhlas lillahi ta’ala, yang lahir dari ketaqwaan yang mendalam dalam
dada kita. Bukan berqurban karena riya` agar dipuji-puji sebagai orang
kaya, orang dermawan, atau politisi yang peduli rakyat, dan sebagainya.
Sesungguhnya yang sampai kepada Allah SWT adalah taqwa kita, bukan
daging dan darah qurban kita. Allah SWT berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang mencapainya.”
(TQS Al Hajj : 37) [ ]
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1990. Hukum Qurban, ‘Aqiqah, dan Sembelihan. Cetakan Pertama. Bandung : Sinar Baru. 52 hal.
Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i. 1993. Rohmatul Ummah
(Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur
dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.
Al Jabari, Abdul Muta’al. 1994. Cara Berkurban (Al Udh-hiyah Ahkamuha
wa Falsafatuha At Tarbawiyah). Terjemahan oleh Ainul Haris. Cetakan
Pertama. Jakarta : Gema Insani Press. 83 hal.
Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al Mu’jam Al Wasith. Kairo : Tanpa Penerbit. 547 hal.
Ash Shan’ani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz IV. Bandung : Maktabah Dahlan.
Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taysir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal.
Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Beirut : Daarul Fikr. 404 hal.
Matdawam, M. Noor. 1984. Pelaksanaan Qurban dalam Hukum Islam. Cetakan Pertama. Yogyakarta : Yayasan Bina Karier. 41 hal.
Rasjid, H.Sulaiman. 1990. Fiqh Islam. Cetakan Keduapuluhtiga. Bandung : Sinar Baru. 468 hal.
Rifa’i, Moh. et.al. 1978. Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar. Semarang : Toha Putra 468 hal.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 13. Cetakan
Kedelapan. Terjemahan oleh Kamaluddin A. Marzuki. Bandung : Al Ma’arif.
229 hal
Yunus, Mahmud. 1936. Al Fiqh Al Wadhih. Juz III. Jakarta : Maktabah Sa’adiyah Putera. 48 hal.
Diposting oleh
Unknown