Oleh KH. M. Shiddiq Al-Jawi
 Tak sedikit yang salah paham tentang pengertian taqarrub ilallah
(mendekatkan diri kepada Allah). Taqarrub ilallah hanya dianggap
sebatas ibadah ritual, seperti shalat, puasa, haji, dzikir, dan
sebagainya. Sedang pelaksanaan ajaran Islam dalam interaksi antar
manusia seperti perjuangan menegakkan syariah dan menjalankan roda
pemerintahan Islam, dianggap bukan taqarrub ilallah. Padahal sebenarnya
tidak demikian.
Reduksi pengertian taqarrub ilallah ini dapat terjadi setidaknya karena dua faktor. Pertama, dominasi paham sekularisme yang membatasi otoritas agama hanya pada hubungan privat antara manusia dan Tuhan. Kedua, adanya kesalahpahaman mengenai konsep taqarrub ilallah itu sendiri.
Pengertian dan Ruang Lingkup Taqarrub Ilallah
Istilah taqarrub ilallah berasal dari nash-nash
syara' yang membicarakan upaya pendekatan diri kepada Allah SAW. Antara
lain hadis qudsi dari Nabi SAW bahwa Allah berfirman,"Tidaklah hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada
melaksanakan apa yang Aku wajibkan kepadanya, dan tidaklah hamba-Ku
terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nafilah-nafilah (nawafil) hingga aku mencintainya." (HR Bukhari & Muslim, Fathul Bari, 18/342; Syarah Muslim, 9/35).
Dari frase "mendekatkan diri kepada-Ku" (yataqarrabu ilaiyya) inilah kemudian lahir istilah taqarrub ilallah. Kata "taqarrub" secara bahasa artinya adalah mencari kedekatan (thalab al-qurbi). Jadi taqarrub ilallah artinya secara bahasa adalah mencari kedekatan dengan Allah. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, 18/342).
Dari pengertian bahasa inilah para ulama berusaha
merumuskan pengertian taqarrub ilallah secara syar'i. Para ulama,
seperti Imam Nawawi dan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, menyatakan arti
kedekatan secara fisik antara manusia dan Allah dalam arti jarak (masafah)
jelas adalah mustahil. Jadi hadis Nabi SAW di atas tidak dapat
diartikan menurut arti hakikinya, melainkan harus dipahami dalam arti
majazinya (arti kiasan) yang telah masyhur dalam gaya bahasa orang Arab.
Maka dari itu, makna syar'i dari taqarrub ilallah adalah melaksanakan
ketaatan kepada Allah dengan menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT. (Fathul Bari, 21/132; Syarah Muslim, 9/35; Al-Muntaqa Syarah Al-Muwaththa`, 1/499; Syarah Bukhari li Ibn Bathal, 20/72).
Secara lebih rinci, Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitabnya Jami' Al-'Ulum wa Al-Hikam
(38/9-12) menerangkan ruang lingkup taqarrub ilallah. Menurut beliau,
orang yang melakukan taqarrub ilallah ada dua golongan/derajat. Pertama, orang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban (ada` al-faraidh), yang meliputi perbuatan melakukan yang wajib-wajib (fi'lul wajibat) dan meninggalkan yang haram-haram (tarkul muharramat), sebab semuanya termasuk yang diwajibkan Allah atas hamba-Nya. Contohnya, mengerjakan sholat lima waktu. Kedua, orang yang melaksanakan yang sunnah-sunnah (nawafil), misalnya sholat tahajjud dan tarawih.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa taqarrub ilallah bukan hanya berupa ibadah mahdhah semata, melainkan mencakup semua aktivitas untuk melakukan yang wajib-wajib dan yang sunnah-sunnah. Baik itu berupa ibadah mahdhah
maupun berupa aktivitas interaksi antar manusia. Termasuk juga taqarrub
ilallah adalah aktivitas meninggalkan segala macam yang haram-haram,
dan juga yang makruh-makruh. (Ibnu Rajab Al-Hanbali, Jami' Al-'Ulum wa Al-Hikam, 38/12).
Maka dari itu, berdakwah untuk memperjuangkan syariah
adalah taqarrub ilallah, sebagaimana sholat dan puasa. Sebab berdakwah
adalah suatu kewajiban. Demikian pula menuntut ilmu, berbakti kepada
orang tua, membayar utang, bekerja mencari nafkah juga taqarrub ilallah,
sebagaimana berhaji dan berzakat. Sebab semuanya adalah kewajiban yang
ditetapkan Allah SWT. Demikian pula bersedekah dan tersenyum kepada
sesama muslim adalah taqarrub ilallah, sebagaimana menyembelih kurban
dan puasa Senin Kamis, sebab semua itu adalah kesunnahan yang disukai
dalam Islam. Meninggalkan segala bentuk riba, zina, suap, dan khamr juga
merupakan taqarrub ilallah, karena meninggalkan yang haram-haram juga
merupakan taqarrub ilallah. Tidak makan makanan yang berbau tajam
sebelum pergi ke masjid juga taqarrub ilallah, sebagaimana tidak
berbicara dalam kamar mandi. Sebab keduanya adalah perbuatan yang makruh
hukumnya.
Menerapkan Syariah Islam Juga Taqarrub Ilallah
Para ulama juga menegaskan bahwa taqarrub ilallah
juga mencakup aktivitas politik, yaitu menerapkan sistem pemerintahan
Islam (Khilafah) dengan melaksanakan Syariah Islam dalam segala aspek
kehidupan.
Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al-Fatawa (6/410) berkata,"Adalah suatu kewajiban, menjadikan kepemimpinan [imarah]
sebagai bagian dari agama dan jalan mendekatkan diri kepada Allah.
Sebab mendekatkan diri kepada Allah dalam urusan kepemimpinan dengan
jalan mentaati Allah dan Rasul-Nya termasuk taqarrub yang paling utama [min afdhal al-qurubat].
Yang merusak kepemimpinan tiada lain karena kebanyakan manusia hanya
mencari jabatan dan harta benda dengan kepemimpinan itu."
Dalam kitabnya yang lain, As-Siyasah Asy-Syar'iyyah (1/174), Imam Ibnu Taimiyah menyatakan,"Syariah Islam telah datang untuk mengelola kekuasaan [sharfu as-sulthan]
dan harta benda di jalan Allah. Apabila kekuasaan dan harta benda
dimaksudkan untuk taqarrub ilallah dan infaq fi sabilillah, maka itu
akan menimbulkan kebaikan agama dan dunia. Namun jika kekuasaan terpisah
dari agama, atau agama terpisah dari kekuasaan, maka kondisi masyarakat
akan rusak."
Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami' Al-'Ulum wa Al-Hikam
(38/11) menerangkan,"Termasuk kewajiban yang merupakan taqarrub
ilallah, adalah mewujudkan keadilan, baik keadilan secara umum
sebagaimana kewajiban seorang penguasa atas rakyatnya, maupun keadilan
secara khusus sebagaimana kewajiban seorang kepala keluarga kepada
isteri dan anaknya."
Kemudian Ibnu Rajab Al-Hanbali menyebutkan beberapa
hadis yang mendasari pernyataannya itu. Kewajiban menegakkan keadilan
secara khusus, dalilnya adalah sabda Nabi SAW : "Setiap-tiap diri
kalian adalah bagaikan penggembala, dan setiap penggembala akan dimintai
pertanggung jawaban atas gembalaannya." (HR Bukhari & Muslim).
Adapun kewajiban menegakkan keadilan secara umum, yang menjadi kewajiban Imam (Khalifah) dalilnya antara lain sabda Nabi SAW : "Sesunguhnya
orang-orang yang berbuat adil berada di sisi Allah, berada di atas
mimbar-mimbar dari cahaya, dan di atas tangan Ar-Rahman (Yang Maha
Penyayang), dan kedua tangan-Nya adalah kanan semua. Mereka adalah
orang-orang yang berbuat adil dalam pemerintahan mereka dan di tengah
keluarga mereka, dan mereka tidak berpaling." (HR Muslim no 3406).
Rasulullah SAW juga bersabda : "Sesungguhnya hamba
yang paling dicintai Allah pada hari Kiamat dan yang paling dekat
majlisnya dengan-Nya, adalah Imam (Khalifah) yang adil." (HR Tirmidzi, no. 1250).
Berdasarkan hadis-hadis di atas, maka aktivitas
menerapkan Syariah secara adil yang dilakukan oleh Khalifah adalah
bagian dari taqarrub ilallah. Bahkan, seperti kata Ibnu Taimiyah di
atas, menjalankan pemerintahan Islam termasuk taqarrub ilallah yang
paling utama [min afdhal al-qurubat].
Pernyataan Ibnu Taimiyah itu tidaklah mengherankan,
sebab hanya dengan pemerintahan Islam sajalah umat Islam akan dapat
menerapkan hukum-hukum Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh). Sistem
pidana Islam, sistem pendidikan Islam, sistem ekonomi Islam, dan
sistem-sistem Islam yang lain tidak mungkin diterapkan tanpa adanya
sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Walhasil, eksistensi Khilafah
sangat vital, karena hanya dengan Khilafah taqarrub ilallah akan bisa
terlaksana sempurna. Khilafah adalah kunci taqarrub ilallah secara
kaffah.
Dengan kata lain, di tengah cengkeraman sekularisme
dan tanpa adanya Khilafah seperti kondisi saat ini, akan banyak
hukum-hukum Islam yang terbengkalai dan tidak bisa dijalankan. Padahal
menerapkan semua hukum Syariah Islam adalah suatu kewajiban (QS 2:208).
Maka kondisi ini sudah pasti tak akan mampu mewujudkan taqarrub ilallah
yang kaffah. Dan selanjutnya yang terjadi hanyalah kerusakan demi
kerusakan belaka, sebagaimana disinyalir oleh Ibnu Taimiyah,"Jika
kekuasaan terpisah dari agama, atau agama terpisah dari kekuasaan, maka
kondisi masyarakat akan rusak." (As-Siyasah Asy-Syar'iyyah, 1/174).
Urgensi Taqarrub Ilallah
Urgensi taqarrub ilallah adalah demi mencapai
kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Sabda Nabi SAW : "Dan tidaklah
hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan nafilah-nafilah (nawafil) hingga aku mencintainya." (HR Bukhari & Muslim).
Ibnu Rajab Al-Hanbali menerangkan, jika orang
mendekatkan diri kepada Allah, maka dia akan dicintai Allah. Dan orang
yang dicintai Allah, akan mendapatkan berbagai balasan yang baik dari
Allah, semisal keridhoan dan rahmat Allah, limpahan rizqi-Nya,
taufik-Nya, pertolongan-Nya, dan sebagainya. (Jami' Al-'Ulum wa Al-Hikam, 38/10-12; Syarah Muslim, 9/35).
Sebaliknya orang yang tidak mau mendekatkan diri
kepada Allah, maka dia tidak akan dicintai Allah, tak akan mendapat
berbagai balasan yang baik dari Allah, dan akan diganti Allah dengan
orang lain yang mencintai-Nya. Firman Allah SWT (artinya) : "Hai
orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang
kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan
orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi
Maha Mengetahui." (QS Al-Maidah [5] : 54)
Ibnu Rajab Al-Hanbali menafsirkan ayat di atas dengan
berkata,"Dalam ayat ini terdapat isyarat seakan Allah berkata orang
yang berpaling dari mencintai Kami, yang tidak mau mendekatkan diri
kepada Kami, maka Kami tak akan pedulikan dia, dan akan Kami ganti dia
dengan orang yang lebih layak mendapat karunia ini." (Jami' Al-'Ulum wa Al-Hikam, 38/12).
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
pengertian taqarrub ilallah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan
cara melaksanakan perintah-perintah Allah baik yang wajib maupun yang
sunnah (nafilah), dan dengan meninggalkan larangan-larangan Allah baik yang haram maupun yang makruh.
Taqarrub ilallah tidak hanya terbatas pada ibadah
mahdhah saja, seperti sholat dan puasa, melainkan meliputi pula segala
ketaatan dalam interaksi antara manusia, termasuk penerapan Syariah
Islam secara menyeluruh oleh seorang Khalifah dalam bingkai negara
Khilafah.
Keberadaan Khilafah merupakan kunci taqarrub ilallah,
karena hanya dengan Khilafah sajalah umat dapat melaksanakan berbagai
kewajiban lainnya, yaitu menerapkan hukum-hukum Syariah Islam secara
kaffah (menyeluruh). Sebaliknya, sistem Sekularisme sekarang telah
mereduksi taqarrub ilallah secara paksa, dan hanya menimbulkan kerusakan
di muka bumi karena telah memisahkan kekuasaan dari bimbingan agama.
Wallahu a'lam. [ ]
|