Kepribadian yang Sesungguhnya.

http://anatomidakwah.blogspot.com/2012/04/kepribadian-yang-sesungguhnya.html

Karekter dari setiap individu itu dicerminkan dari penampilan fisik dan prilaku.Esensinya sulûk-tingkah laku- seseorang merupakan akumulasi dari perbuatannya; sementara perbuatan seseorang pada dasarnya merupakan wujud pemenuhan orang tersebut terhadap dorongan yang lahir dari kebutuhan jasmani (al-hâjat al-udhuwiyyah)dan naluri (gharîzah)-nya.Karena tidak ada satu pun perbuatan manusia yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan lain, selain kebutuhan jasmani dan naluri.(Muhammad Hissayn, Mafahim). Karekter dari pemuda muslim seharusnya baik dari kedua aspek tersebut yaitu secara fisik baik, artinya adalah memiliki badan yang sehat dan kuat karena muslim yang kuat itu lebih Allah cintai sesuai sabda Rosulullah :
“ Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yanglemah dalam setiap amal kebaikan “ (Diriwayatkan oleh Muslim didalam Kitab al-Qadar, bab. Iman lil-Qadari wal-Idz’aan lahu).
Kemudian secara perilaku juga harus memiliki kepribadian yang baik. Syaksiyah atau keperibadian yang oleh Syaikh Taquyuddin an Nabhani dibedakan atas pola fikir atau aqliyah yaitu Kekuatan yang dapat digunakan untuk menghukumi sesuatu. Atau dengan ungkapan yang lebih tegas: Akal adalah kemampuan untuk menghukumi realitas (fakta) tertentu, baik yang berkaitan dengan perbuatan maupun benda yang dibangun berdasarkan pandangan hidup tertentu.((Samid, Thariq). Sesuai sabda Rosulullah maka stantar akal adalah :
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu, sehingga menjadikan saya sebagai (standar) akalnya, yang digunakan untuk berfikir.”
Kemudian yang kedua adalah pola laku atau nafsiyah artinya adalah cara (metode)yang digunakan oleh seseorang untuk memenuhi dorongan (dawâfi’) yang lahir dari kebutuhan jasmani dan naluri berdasarkan standar tertentu.(an Nabhani, Syakhsiyyah) . Nafsiyah timbul karena dorongan (dawâfi’) untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri tersebut ada pada manusia dan hewan, sementara kecenderungan (al-muyûl) hanya dimiliki oleh manusia, dan tidak ada pada hewan. Karena muyûl merupakan dorongan yang lahir dari kebutuhan jasmani dan naluri yang telah diikat dengan mafhûm tertentu. Hewan tidak mempunyai mafhûm, karena tidak mempunyai akal. Karena itu, hewan tidak mempunyai muyûl.Jika dawâfi’ seseorang yang lahir dari kebutuhan nalurinya tidak diikat dengan mafhûm tertentu, berarti dawâfi’ -nya tidak dipenuhi dengan mafhûm-nya, tetapi dipenuhi dengan hawa nafsunya. Karena itu harus ada standar, baik yang berkaitan dengan perbuatan maupun benda yang digunakan untuk mengendalikan dawâfi’ tersebut.(Hafidz Abdurrahman)
Karakter Menurut Syaikh Hasan Al-Banna, kepribadian Islam meliputi 10 aspek, yaitu :
Pertama Salim Al-Aqidah (bersihnya akidah).
Akidah inilah yang menjadi kaidah berfikir seorang muslim, sehingga dapat mengasosiasikan antara informasi awal dengan realitas yang dihadapinya, kemudian dengan standar tersebut dia mampu membuat keputusan terhadap realitas tersebut. Standar ini tidak lain adalah hukum syara’, seperti wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Dengan demikian, akidahlah yang menjadi landasan muyûl seseorang, sehingga muyûl-nya dapat dikendalikan dengan mafhûm yang lahir dari akidahnya.Setelah membangun landasan (akidah Islam) tersebut, cara berikutnya adalah mengikatkan diri pada hukum syara’ sebagai konsekuensi dari tuntutan akidah ini. Setelah itu harus terus-menerus menjaga akidah dan pemahaman Islam dengan meningkatkan kualitas berfikirnya dengan landasan tsaqâfah Islâm88agar bisa menghukumi perbuatan dan benda yang ada dalam hidupnya dengan landasan tersebut. Tsaqâfah ini ada yang bersifat aqliyyah (rasional), seperti Tawhîd dan ilmu kalam, dan ada yang bersifat syar’iyyah, seperti Fiqh dan Tafsîr; ada juga yang bersifat kebahasaan, seperti Nahw dan Balâghah.Dalam konteks ini, kadar penguasaan tsaqâfah satu orang dengan orang lain pasti berbeda. Bergantun pada kemampuan intelektual, daya ingat dan kesungguhannya.
Kedua Shahih Al-Ibadah (lurusnya ibadah)
Ibadah adalah masalah manusia dengan Allah SWT.Merupakan masalah yang muncul dari gharîzah at-tadayyun (naluri beragama) yang dimiliki oleh masing-masing orang.Naluri inilah yang mendorong orang tersebut melakukan kultus, pengagungan atau penghormatan pada zat yang dipandang agung.Naluri inilah yang mendorong perasaan (wijdân)manusia untuk melakukan pemenuhan. Jika wijdân tersebut dibiarkan tanpa kontrol akal, manusia akan kehilangan arah dalam menentukan siapakah zat yang layak diagungkan. Karena itu, banyak orang yang mengagungkan al-Qur’an; dicium, dipeluk, bahkan diletakkan di tempat tinggi, tetapi isinya diinjak-injak.Ini adalah bentuk taqdîs (kultus) yang salah, yang seharusnya mensucikan isinya berubah mensucikan benda.Karena naluri beragama inilah, manusia memerlukan ibadah.Maka, masalahnya sekarang adalah bukan semua manusia memerlukan ibadah ataukah tidak?Sebab, masalah tersebut merupakan masalah fitrah, yang pasti dimiliki semua manusia.Namun yang menjadi masalah sekarang adalah siapakah yang layak disembah dan bagaimana caranya? Inilah yang menjadi masalah manusia yang harus diselesaikan.(Hafidz Abdurrahman)
Kemudian dijelaskan masalah yang berkenaan dengan ibadah,
- Ibadah bersifat tawqîfiyyah (mutlak urusan Allah).
- Ibadah tidak didasasrkan pada illat (alasan hukum) tertentu, sehingga tidak ada satu illat pun dalam pelaksanaan ibadah.
- Ibadah juga tidak dapat diterima, kecuali dengan niat yang ikhlas untuk Allah SWT
Ustadz Hafidz Abdurrahman menjelaskan akhlak diri aspek ciri khasnya: Ada beberapa ciri khas yang ditetapkan oleh Allah SWT. dalam masalah akhlak ini, antara lain:
1. Akhlak tidak bisa dipisahkan dari hukum syara’, termasuk semua bentuk ketentuan hukum syara’ yang lain. Seperti khusyû’ adalah sifat perbuatan orang yang sedang mengerjakan shalat, yang tidak ada pada orang di luar shalat. Jujur, amanah dan menunaikan janji adalah sifat perbuatan orang yang melakukan mu’amalah (berhubungan dengan orang lain).
2. Akhlak juga tidak didasarkan kepada ‘illat, sehingga tidak ada satu ‘illat pun dalam masalah akhlak. Jujur, amanah dan menunaikan janji diperintahkan semata-mata karena hukumnya wajib menurut syara’, yang kewajibannya telah ditentukan oleh nas, bukan disebabkan adanya illat tertentu. Maka, kejujuran, amanah dan menunaikan janji tersebut tidak bisa dilaksanakan oleh seorang muslim karena keuntungan material, atau mengharapkan pujian orang, dan sebagainya.
3. Akhlak juga tidak tunduk pada manfaat tertentu. Sebab, orang yang melakukan hukum akhlak kadang-kadang malah mendapat kerugian, bukan keuntungan.Contoh, sifat berani dan menantang ketika mengingatkan penguasa yang zalim adalah sifat pengembang dakwah yang mulia.Sesuatu yang bisa mengakibatkan orang tersebut menemui ajalnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
“Penghulu para syahid adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib, serta orang yang yang berdiri di depan penguasa zalim, lalu memerintahkan (kemakrufan) dan mencegah (kemungkaran) atasnya, kemudian dia pun membunuhnya.” (THR Hâkim dari Jâbir).
4. Akhlak sama seperti akidah. Akhlak merupakan tuntutan fitrah manusia.Memuliakan tamu dan membantu orang yang memerlukan adalah sangat selaras dengan tuntutan fitrah manusia, yaitu gharîzah al-baqâ’. Khusyû’ dan tawâdhu’ juga selaras dengan tuntutan fitrah manusia, yaitu gharîzah at-tadayyun. Kasih sayang dan keta’atan juga sesuai dengan tuntutan fitrah manusia, yaitu gharîzah an-naw’.
“Sesungguhnya orang yang lebih aku cintai di antara kalian, dan lebih dekat kepadaku tempatnya pada hari kiamat, adalah siapa saja di antara kalian yang paling baik akhlaknya.”(THR Bukhâri).
KeempatQadir ‘ala Al-Kasb (mampu mencari penghidupan).
Seseorang telah berkata kepada Rosulullah saw: "Wahai Rosulullah, demi Allah sesungguhnya saya sangat mencintai anda". Maka Beliau bersabda, "Perhatikanlah apa yg kamu ucapkan".dia mengulang sampai tiga kali. Maka Beliau bersabda, "Jika kamu benar-benar mencintaiku maka persiapkanlah tijfaf untuk menghadapi kefakiran, karena kefakiran itu lebih cepat mengenai orang yg mencintaiku daripada laju air bah menuju muaranya". (THR Tirmidzi)
Tijfaf adalah sejenis baju perang yg kuat dan keras.ini adalah bahasa pinjaman karena Rosulullah saw menyerupakan kefakiran itu ibarat anak panah yg menghujam, pedang yg menebas, dan tombak yg menembus. (Riyadus Shalihin, 2009)
KelimaMutsaqaf Al-Fikr (luas wawasan berpikirnya).
Penyebab kegagalan yang ada hingga saat ini dalam memahami fakta mengenai proses berpikir dan juga fakta metode berpikir dikarenakan para pengkaji telah lebih dulu mengkaji proses berpikir sebelum mengkaji akal itu sendiri. Padahal, fakta tentang proses berpikir itu tidak akan dapat dipahami kecuali setelah diketahui terlebih dulu fakta mengenai akal secara meyakinkan dan pasti (jazim). Ini karena proses berpikir (tafkir) adalah buah dari akal, sementara berbagai ilmu pengetahuan, seni dan seluruh aspek ilmu budaya (tsaqafah) merupakan buah dari proses berpikir. Wajar saja jika pertama kali yang harus diketahui adalah fakta tentang akal secara meyakinkan dan pasti. Setelah itu, bisa diketahui fakta mengenai proses berpikir, dan selanjutnya metode berpikir yang lurus. Selanjutnya, setelah itu dan atas dasar petunjuknya, suatu pengetahuan (ma’rifah) akan bisa dinilai, apakah termasuk sains (‘ilm) ataukah bukan. Dengan kata lain, akan dapat ditentukan bahwa kimia adalah sains, sementara psikologi dan sosiologi bukanlah sains. Akan dapat ditentukan pula apakah suatu pengetahuan termasuk kebudayaan (tsaqâfah) atau bukan. Artinya, akan dapat ditentukan bahwa perundang-undangan adalah termasuk tsaqâfah dan tashwîr (seni menggambar) bukanlah termasuk tsaqâfah. Walhasil, pokok masalahnya secara keseluruhan bermuara pada pengetahuan tentang fakta akal itu sendiri secara meyakinkan dan pasti. Setelah itu dan atas petunjuk pengetahuan tersebut, barulah bisa dibahas fakta mengenai proses berpikir dan metode berpikir. Berdasarkan petunjuk metode berpikir tersebut baru akan bisa dihasilkan secara benar berbagai teknik (uslûb) berpikir. (an Nabhani, at Tafkir)
KeenamQawiy Al-Jism (kuat fisiknya).
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yanglemah dalam setiap amal kebaikan “ (Diriwayatkan oleh Muslim didalam Kitab al-Qadar, bab. Iman lil-Qadari wal-Idz’aan lahu).
KetujuhMujahid linafsih (pejuang diri sendiri).
Seorang muslim harus hidup mandiri sehingga tidak menyulitkan orang lain tetapi justru seharusnya mampu membantu orang lain, mampu melaksanakan kewajiban jihad dan dakwahnya.
Kedelapan Munazham fi syu’unih (teratur urusannya).
"Sesungguhnya Allah Menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh."(TQS.ash-Shaf : 4)
Kesembilan Haris ‘ala Waqtih (memperhatikan waktunya).
Seorang muslim seharusnya memperhatikan waktunya sehingga tak termasuk golongan yang merugi, karena demi masa sesungguhnya manusia kerugian kecuali yang beriman dan beramal soleh seta yang menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.(TQS 103 :3)
Kesepuluh Nafi’ li Ghairih (bermanfaat bagi orang lain).
Salah satu ciri mukmin adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat dan sebaik-baik manusia adalah yang banyak manfaatnya. Namun, perlu ditegaskan bahwa manfaat bukan menjadi landasan perbuatan kita karena dalam kaidah fiqh hukum perbuatan terikan dengan syar’i. Kemudian dengan penerapan syariat maka kemaslahatan akan tercapai. “Jika hukum syara’ diterapkan, maka pasti akan ada kemaslahatan.”(Muhammad Ismail, al Fikr)
Demikianlah gambaran karakter remaja Islami yang akan membawa perubahan terhadap umat sehingga umat Islam akan menjadi umat terdepan dalam peradaban dunia.Wallahu a'lam bishawab.[]MFS