Ironi Pendidikan Tinggi

http://anatomidakwah.blogspot.com/2012/10/ironi-pendidikan-tinggi.html
Mengenyam pendidikan hingga mencapai level pendidikan tinggi sudah menjadi standar kebanyakan masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Wajarlah bila persaingan untuk menempati setiap kursi di perguruan tinggi terutama perguruan tinggi negeri favorit sangat menarik antusiasme masyarakat. Orang tua rela mengeluarkan uang yang begitu banyak demi melihat anaknya menyandang predikat Sarjana. Namun di tengah-tengah hiruk pikuk persaingan tersebut, kita tak pernah sadar bahwa output dari pendidikan tinggi belum kita rasakan cukup berarti. Negeri ini masih terpuruk dengan beragam masalahnya Padahal setiap tahun pula kita menghasilkan Sarjana-Sarjana di berbagai bidang. Belum lagi temuan-temuan dari para ahli. Indonesia cukup diperhitungkan untuk hal itu. Ironi, di tengah-tengah gencar-gencarnya pendidikan karakter dibangun, seabrek masalah pendidikan terus pula menciderai pendidikan kita. Kasus demi kasus kerusakan moral yang menimpa peserta-peserta didik. Ujian nasional yang setiap tahunnya diwarnai kecurangan dan bahkan sudah menjadi kebiasaan. Dari sisi kapasitas pendidikan, kita juga masih merasakan bagaimana orang-orang miskin juga masih cukup banyak yang belum merasakan bagaimana pendidikan yang layak. Kalaupun layak, ia harus merogoh kocek yang tidak sedikit. Apalagi menyongsong RUU Perguruan Tinggi yang banyak kalangan menilai sarat dengan jalan menuju swastanisasi pendidikan. Tentu ini bisa memberikan dampak yang cukup signifikan untuk pendidikan kita sekarang. Dan ini merupakan masalah bagi pendidikan kita. Setali tiga uang dengan yang mampu mengenyam pendidikan. Mereka malah dicetak sebagai generasi-generasi bermasalah. Tragedi geng motor, tawuran antar pelajar dan mahasiswa serta tindakan anarkisme lainnya. Semuanya menodai sistem pendidikan kita hari ini. Lalu bagaimana bila generasi-generasi cacat moral seperti ini mengenyam pendidikan tinggi. Bukankah ini malah makin menciptakan situasi krisis calon penerus bangsa yang akan menggantikan tongkat estafet kepemimpinan. Sekarang saja, para pemimpin kita memperlihatkan kebejatan moral mereka. Kasus koruspsi yang hingga kalangan bawah pun juga tahu sudah menjadi bukti nyata krisis moral itu sudah akut. Belum lagi mahasiswa-mahasiswa yang sering terlibat dalam kasus-kasus kriminal dan tindakan premanisme. Lalu pendidikan tinggi yang seperti apa yang harus kita terapkan untuk menciptakan generasi yang mampu membangkitkan negeri ini dan mengeluarkannya dari masalah? Semua terus berusaha menciptakan beragam macam cara dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Namun terus-menerus mengalami kegagalan. Persoalannya ada pada cara dan bagaimana menerapkan cara tersebut. Model pendidikan kita yang berbasis pada asas sekulerisme adalah akar masalah dari semuanya. Contoh kongkritnya, kita bisa melihat bagaimana pendidikan Agama dipisahkan dengan pendidikan pada umumnya ditandai dengan hadirnya sekolah Agama dan sekolah umum. Di Universitas pun seperti itu, bahkan parahnya agama hanya diajarkan dalam tahap semester awal saja. Setelah itu, agama kembali ke pribadi masing-masing apakah mau dipelajari atau tidak. Ini yang tak disadari oleh para pemimpin dan kita sebagai masyarakat di negeri ini. Krisis generasi lahir dari induk masalah ideologis yang bercokol di Indonesia, tak lain adalah sekulerisme. Hal ini yang harus kita segera sadari lalu mencoba untuk melangkah keluar dari cengkeramannya. Indonesia dimana Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia mestinya mengambil kecenderungan ini. Karena bila mau konsisten dengan pola demokrasi, maka seharusnya Indonesia mau menerapkan sistem pendidikan yang berbasis Islam sebagai asasnya. Dan ini juga diikuti dengan penerapan Islam sebagai asas bernegara Negara. Survey membuktikan bahwa mayoritas penduduk negeri ini sepakat bila Syariat Islam yang menjadi dasar Negara. Tentu hal ini bukan berarti mengeliminir Agama selain Islam. Karena pada dasarnya Islam lahir untuk menciptakan situasi yang damai, seperti yang dikatakan kebanyakan orang bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ’alamin. Lalu mengapa mesti khawatir bila Islam menjadi asas pendidikan? Lagipula masalah-masalah yang lahir berkaitan tentang masalah pendidikan sekarang ataukah masalah-masalah lainnya disebabkan karena bercokolnya sekulerisme di Indonesia. Hingga kebebasan merajalela. Lalu menciptakan orang-orang yang merasa bahwa tidak ada Tuhan di tengah-tengah kehidupannya Orang sudah tidak merasa terikat lagi dengan Tuhannya ketika berada di kehidupan umum. Mencetak generasi terdidik bukan semata-mata membuat mereka paham terhadap apa yang mereka pelajari, namun membuat mereka paham apa tujuan mereka hadir di dunia ini lalu tahu apa misinya di dunia ini. Serta sadar bahwa mereka adalah insan yang memiliki Tuhan (baca: Allah) sebagai penciptanya serta menurunkan Islam sebagai pedoman kehidupannya. WaLlahu ’alam.[] Oleh : Muhammad Rahmani (Sekjen Gerakan Mahasiswa ”GEMA” Pembebasan Wilayah Sulselbar) |